Empat orang. Satu ranjang
23:02 — Vila Bayu. Malam. Udara Bau Lembab dan Parfum Mahal
Langkah mereka memasuki vila seperti masuk ke mulut binatang. Sunyi. Megah. Tapi terlalu banyak kaca untuk merasa aman.
Kamera kecil berdiri di sudut ruangan, tak menyala terang, tapi cukup memberi tahu bahwa malam ini bukan tentang cinta. Ini tentang pertunjukan.
Amplop cokelat di atas meja: 20 juta.
Empat orang. Satu ranjang. Empat jam. Rekaman untuk koleksi pribadi seorang klien lama: Bayu.
Mereka tak banyak bicara. Tapi tubuh mereka gelisah. Napas mulai berat bahkan sebelum disentuh. Bukan karena nafsu. Tapi karena takut ketagihan.
---
POV Rafael
> “Gue biasa tidur sama orang. Tapi malam ini, perasaan kayak mau direkam dari dalam kepala.”
Leo berdiri di dekat jendela, cahaya kuning menabrak punggungnya. Rafael berjalan mendekat, meletakkan telapak tangan di tengkuknya. Leo menoleh.
Lalu ciuman itu terjadi.
Bukan ciuman kerja. Tapi seperti ledakan sunyi. Jari Leo menarik pinggang Rafael, bibir mereka saling menggigit pelan.
Di belakang, Karina menarik ritsleting gaun Nadine. Mereka seperti penari yang tahu irama tubuh masing-masing. Saat payudara Nadine terbuka, Karina menyentuhnya seperti membaca huruf braille luka-luka lama.
> “Kita mulai?” tanya Nadine.
“Kita lepas semua,” jawab Karina.
---
23:15 — Semua Telanjang. Tapi Belum Sepi.
Leo mencium Karina. Lidahnya bermain, tapi tangannya mencari Nadine. Rafael mencium bahu Leo, tangannya mengusap paha Karina.
Nadine mencium Rafael. Kemudian Karina. Lalu Rafael kembali ke Leo.
Tubuh berpindah, rasa berpindah.
Ranjang jadi panggung. Empat tubuh, saling menjelajahi tanpa giliran. Tidak ada pasangan tetap malam ini. Tidak ada batas.
Nadine menunggangi Rafael, tapi matanya menatap Karina.
Leo mencium Karina, lalu menunduk ke arah Rafael yang membuka dirinya perlahan.
Suara erangan kecil seperti napas terakhir sebelum hujan. Bukan keras, tapi lirih dan lama.
> “Gue ngerasa kayak dimiliki. Bukan dipakai,” bisik Leo.
“Gue ngerasa ini bahaya,” jawab Rafael.
---
23:38 — Rasa Nikmat yang Berbahaya
Nadine sekarang berlutut di depan Leo. Karina di belakangnya, menjilat pelan punggungnya. Rafael mencium tengkuk Karina sambil menyentuh Nadine.
Peluh membasahi seprai. Gigi menggigit leher. Jari-jari menekan kulit. Semua terasa kabur antara kerja dan candu.
Tubuh mereka seolah lupa siapa mereka tadi pagi.
> “Gue pengen lo semua,” bisik Nadine. Suaranya pecah.
“Lo udah dapet,” sahut Rafael. “Tapi rasanya kayak... belum cukup.”
---
00:10 — Puncak Bukan Soal Orgasme. Tapi Kehancuran.
Keempatnya dalam satu posisi, saling sentuh, saling buka. Tidak ada yang diam. Tidak ada yang pura-pura. Semua seperti... melepaskan sesuatu yang terlalu lama disimpan.
> “Kalau kita mati malam ini, kayaknya nggak nyesel,” ucap Karina sambil mengelus rambut Nadine yang menggigil.
---
00:44 — Sunyi. Dan Ketakutan Baru
Mereka telanjang. Tapi yang terasa bukan lepas. Malah penuh. Kepalanya penuh. Dadanya sesak. Tubuhnya nyeri tapi hangat.
Leo menyentuh pipi Rafael pelan. Karina mencium perut Nadine. Tak ada lagi suara. Hanya napas dan kamera yang terus merekam.
> “Gue tahu siapa yang order malam ini,” kata Rafael akhirnya.
Semua menoleh. Kamera menyala, lampu merah kecil berkedip.
> “Bayu.”
“Lu yakin?” tanya Leo.
“Gue kenal suaranya. Dan bekas luka di tangannya.”
Sunyi. Hanya suara detak jantung di kepala masing-masing.
> “Tapi kenapa lo nggak bilang dari awal?” tanya Nadine.
“Karena gue takut...” Rafael menatap Leo. “Takut pengen disentuh lagi. Sama siapa pun.”
---
Pertemuan yang Tidak Dibayar
01:33 – Sebuah Hotel Tua di Tengah Kota
Nadine berdiri di depan cermin hotel, menatap bayangannya sendiri seperti orang asing. Lipstik merah di bibir, rambut setengah basah, dan leher masih menyimpan bekas gigitan dari Rafael… atau Karina. Entahlah, ia tak menghitung siapa mencium duluan malam itu.
Telepon berdering. Satu nada. Lalu diam.
Pintu diketuk. Dua kali. Lalu terbuka.
Bayu masuk.
Bukan dengan jaket kulit dan kamera seperti di vila, tapi dengan kemeja rapi dan senyum yang sulit ditebak artinya. Wajahnya lebih tua dari ingatan Nadine, tapi matanya tetap sama: haus, bukan hanya akan tubuh, tapi akan rasa berkuasa.
> “Kamu makin cantik sekarang,” ucap Bayu, menutup pintu pelan.
“Gue nggak datang buat dipuji,” jawab Nadine, datar.
Mereka saling diam sejenak. Lalu Bayu duduk di tepi ranjang.
> “Gue yang bayar malam itu.”
“Gue tahu. Rafael bilang.”
“Gimana rasanya?”
“Kayak mati tapi nggak sempat dikubur,” Nadine tersenyum pahit.
Bayu membuka jam tangannya, meletakkannya di meja. Lalu berdiri, mendekat. Tangannya menyentuh lengan Nadine — pelan, hampir sopan. Tapi Nadine tahu sentuhan itu bukan tentang rindu. Itu adalah bentuk lain dari kendali.
> “Gue nggak datang buat kerja malam ini,” ucap Nadine tiba-tiba.
“Terus?”
“Gue mau tahu kenapa lo masih nyari kita, setelah ninggalin Rafael kayak anjing dua tahun lalu.”
Bayu terdiam. Napasnya berubah pendek. Jari-jarinya berhenti di atas paha Nadine.
> “Karena gue nggak bisa lupa,” bisiknya. “Gue pikir, kalau gue bisa nonton kalian semua bercinta... gue bisa berhenti nyari.”
“Dan ternyata?”
“Gue makin pengen.”
---
01:52 – Di Ranjang, Tapi Bukan Transaksi
Mereka akhirnya berbaring, tapi tidak telanjang. Hanya bersandar.
Bayu membelai rambut Nadine seperti sedang menyuapi luka. Nadine memejamkan mata, bukan karena nyaman, tapi karena lelah.
> “Gue tahu lo bukan cuma jual badan,” kata Bayu pelan.
“Tapi yang laku cuma itu.”
Sunyi. Lalu suara hujan kembali turun di luar jendela.
> “Kalau besok lo mati, Nadine… lo pengen diingat sebagai apa?”
“Sebagai orang yang tahu rasanya disentuh dengan benar... walau cuma sekali.”
---
“Malam yang Tidak Akan Pernah Bisa Dicuci Bersih”
02:06 – Kamar Mandi Hotel
Karina menyalakan shower. Uap hangat langsung memenuhi kaca, menutup bayangan tubuhnya yang sudah telanjang dari dalam.
Rafael masuk lebih dulu. Tanpa suara. Menyusul Leo. Tidak ada yang bicara. Tapi semua mata saling tahu: mereka tidak datang untuk mandi biasa.
Tubuh Karina berdiri di bawah pancuran, rambutnya basah, lehernya panjang, matanya memejam. Rafael berdiri di belakang, dan Leo di depan.
Air mengalir. Tapi yang mengguyur bukan hanya tubuh — juga rasa takut, hasrat, dan dorongan aneh yang tidak bisa dibendung malam itu.
---
02:11 – Karina Tidak Menolak. Tapi Juga Tidak Siap.
Rafael menyentuh pinggangnya dari belakang. Tangan besar, hangat, dan bergetar. Leo menyentuh dagunya, mengangkat pelan wajahnya untuk bertemu bibir.
Karina membuka mata, dan tanpa berkata apa-apa, ia mencium Leo.
Panjang. Lembut. Dalam.
Tapi ketika Rafael mencium bahunya dari belakang dan tubuhnya mulai menempel… jantung Karina seperti loncat dari dadanya.
> “Lo yakin?” tanya Rafael di telinganya.\n> “Enggak,” jawab Karina. “Tapi gue juga nggak pengen ini berhenti.”
---
02:14 – Tubuhnya Diapit. Dibelah. Dipeluk.
Mereka seperti satu makhluk. Rafael perlahan menekan tubuhnya dari belakang, Leo mencium bibirnya lagi dari depan.
Tangan Rafael turun. Membuka dirinya. Dan Leo membantunya tetap berdiri.
Karina menggigil. Bukan karena air, tapi karena perasaan asing yang terlalu dalam, terlalu cepat.
Rasa nyeri. Rasa malu. Tapi juga rasa takjub: bahwa tubuhnya bisa diinginkan dua laki-laki sekaligus, dan tidak dimaki.
---
02:18 – Nafas Tercekat. Tapi Matanya Menangis
Karina tidak bersuara. Tapi air matanya menetes bersama air shower.
Rafael mendesah di belakangnya, Leo mencium dadanya, dan Karina hanya bisa menggenggam lengan Leo erat-erat. Seperti meminta ampun, tapi juga tidak ingin diselamatkan.
> “Gue… nggak tahu ini dosa atau keajaiban,” bisiknya.\n> “Nggak usah didefinisiin,” jawab Leo. “Lo cuma perlu ngerasain.”
Dan malam itu, tubuh Karina terbuka untuk dua lelaki yang sama rusaknya. Tapi justru dari situ… ia merasa paling hidup.
---
02:27 – Setelahnya: Tiga Nafas, Satu Luka Baru
Mereka bertiga duduk bersandar di dinding kamar mandi.
Rafael memeluk Karina dari samping. Leo menggenggam jari-jari kakinya. Tak ada tawa. Tak ada ciuman lagi. Hanya mata kosong dan dada sesak.
> “Pertama kali gue ngerasa diambil dari dua arah… bukan cuma tubuh gue yang dibuka,” ucap Karina pelan. “Tapi juga… harga diri gue.”
Leo memejamkan mata. Rafael mengecup pelipisnya.
> “Gue nggak bangga sama yang kita lakuin,” lanjut Karina. “Tapi untuk pertama kali… gue ngerasa cantik, meskipun telanjang.”
---
“Setelah Tubuh Diam, Pikiran Berteriak”
---
POV Leo – 02:38
Leo duduk di ujung ranjang, mengenakan hoodie tipis yang tak benar-benar menghangatkan tubuhnya. Rambutnya masih basah. Tangan gemetar, bukan karena dingin, tapi karena... kenyataan yang baru dia hadapi.
Tiga tubuh di kamar mandi tadi. Tiga napas yang saling membelit.
Tapi setelah orgasme lewat, yang tersisa cuma suara napasnya sendiri. Dan kekosongan.
> “Gue nikmatin itu semua. Tapi kenapa gue ngerasa makin jauh dari diri gue sendiri?”
Dia melirik ke arah Rafael, yang duduk membelakangi jendela, menyalakan rokok. Matanya tidak memandang Leo. Tapi diamnya lebih keras dari teriakan.
---
POV Rafael – 02:39
Rafael mengisap dalam. Batang rokoknya hampir habis hanya dalam tiga tarikan.
> “Tadi itu bukan cuma seks. Tapi juga semacam perpisahan.”
Dia memejamkan mata. Mencoba mengusir gambar Karina di antara dirinya dan Leo. Tapi percuma. Sentuhan tadi masih terasa di jemarinya.
> “Gue ngerasa kayak... kehilangan.”
“Siapa?” tanya Leo akhirnya.
“Entah. Mungkin... diri gue sendiri.”
---
02:41 – Kesadaran yang Terlambat
Karina keluar dari kamar mandi, mengenakan baju tidur longgar. Tanpa make-up. Tanpa senyum.
> “Nadine mana?” tanyanya pelan, sambil melirik sekitar.
Leo menoleh ke arah tas Nadine. Tidak ada. Ponsel Nadine hilang dari meja. Sandalnya pun tidak di ambang pintu.
Mereka saling pandang. Sunyi kembali jatuh.
> “Lo pikir dia lihat kita...?”
“Atau mungkin... dia kabur dari semuanya,” jawab Rafael pelan.
---
Sunyi yang Lebih Keras dari Teriakan
Mereka bertiga duduk dalam diam. Tubuh mereka sempat menyatu. Tapi hati mereka kini tercerai-berai.
Nadine menghilang.
Dan untuk pertama kalinya... mereka takut kehilangan satu sama lain bukan sebagai pekerja. Tapi sebagai sesama manusia yang mulai saling menggantungkan emosi.
---
