Merasa Bersalah
Sampai di rumah, keadaan gelap gulita membuat Alan semakin bingung. Ia melangkah masuk dengan hati gelisah. Rumah terasa begitu sepi.
"Kemana kamu, Aira? Apakah kamu minggat? Tapi nggak mungkin, kita kan nggak ada masalah apa-apa," gumam Alan dalam hati.
Alan segera menuju kamar, tangannya buru-buru menarik pintu lemari pakaian. Pandangannya menyapu isi lemari. Pakaian Aira dan Kenzo masih ada di sana.
"Masih ada pakaian mereka. Berarti mereka belum pergi jauh. Tapi kemana?"
Dengan tangan gemetar, Alan meraih ponselnya yang masih dalam keadaan mati. Begitu diaktifkan, seketika layar ponselnya dibanjiri notifikasi. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari Aira dan beberapa pesan masuk. Ia buru-buru membuka pesan-pesan tersebut.
[Mas, Kenzo dirawat di rumah sakit.] Jantung Alan serasa berhenti berdetak.
Pesan singkat itu cukup untuk membuat lututnya melemas. Ia terduduk di tepi tempat tidur, matanya mulai berkaca-kaca.
"Maafkan Ayah, Kenzo. Ayah tidak tahu," bisiknya dengan suara serak.
Kepalanya dipenuhi dengan pikiran buruk. Ia membayangkan Kenzo kecilnya, anak yang begitu ceria, kini terbaring di rumah sakit tanpa dirinya di sisi. Ia merasa sesak. Seharusnya ia ada di sana, bukan malah menghabiskan waktu dengan Firda. Rasa bersalah menghantamnya begitu kuat.
"Bodoh sekali aku!" Alan merutuk dirinya sendiri. Kedua tangannya mengepal.
"Seandainya aku tidak menonaktifkan ponselku. Seandainya aku pulang lebih awal. Kalau terjadi sesuatu dengan Kenzo, aku akan menyesal seumur hidup!"
Tanpa berpikir panjang, ia segera menekan nomor Aira. Jantungnya berdegup kencang. Tapi tidak ada jawaban.
"Aira, tolong angkat teleponnya. Jangan membuatku khawatir," kata Alan dengan suara bergetar.
Ia mencoba menelepon lagi, namun tetap tak ada respons. Alan mulai panik. Ia berdiri, mondar-mandir di kamar, berpikir harus bagaimana. Matanya menatap layar ponsel, jemarinya kembali mengetik pesan untuk Aira.
[Aira, Kenzo sakit apa? Aku akan segera ke sana. Tolong angkat telponku.]
Dengan napas memburu, Alan meraih kunci mobil dan bergegas keluar rumah. Hatinya dipenuhi penyesalan dan kecemasan. Yang ada di pikirannya sekarang hanya satu: ia harus segera sampai ke rumah sakit, ke sisi putranya dan istrinya.
Di rumah sakit, Aira tampak terlelap tidur setelah kecapekan menggendong Kenzo yang dari tadi rewel terus. Setelah Kenzo tertidur, Aira pun berusaha untuk tidur.
Drtt… Drtt… ponsel Aira bergetar di meja kecil di samping tempat tidur. Namun, tubuhnya sama sekali tidak bergerak. Lelah yang menguasai dirinya membuatnya tak sadar kalau seseorang sedang mencoba menghubunginya.
Tok… tok… Pintu kamar rawat Kenzo diketuk pelan. Aira mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya lampu ruangan.
"Maaf, Bu. Mau mengecek suhu tubuh Adik," kata seorang perawat sambil masuk ke kamar.
"Oh, iya, Mbak. Silakan," jawab Aira dengan suara serak.
Perawat itu mengambil termometer dan menempelkannya di ketiak Kenzo yang masih terlelap. Sesekali tubuh kecilnya bergetar. Aira langsung menggenggam tangan putranya, berharap kehangatannya bisa memberikan sedikit ketenangan.
"39,5," ucap perawat setelah memeriksa hasilnya. Suhu Kenzo sudah turun dari 40,4 saat pertama kali tiba di rumah sakit, tetapi masih di angka yang cukup mengkhawatirkan. Dokter memutuskan agar Kenzo tetap dirawat untuk observasi lebih lanjut.
"Agak turun ya, Mbak?" tanya Aira, berusaha mencari secercah harapan.
"Iya, Bu. Turunnya perlahan. Tetap dikompres ya, Bu," ujar perawat dengan senyum menenangkan.
Aira mengangguk lelah. "Baik, Mbak."
"Saya permisi. Kalau ada apa-apa, pencet bel ini," ucap perawat sambil menunjuk tombol di dinding.
Setelah perawat keluar, Aira segera mengambil kain kompres dan meletakkannya di dahi Kenzo. Tangannya bergerak dengan lembut, matanya menatap wajah kecil itu dengan penuh kasih sayang sekaligus kekhawatiran.
Drtt… Drtt… Ponsel Aira kembali bergetar. Kali ini, ia melihat nama yang muncul di layar: Alan. Tanpa pikir panjang, ia mengangkatnya.
"Di rumah sakit apa?" tanya Alan dengan suara yang terdengar panik.
"Rumah Sakit Ananda."
"Ya sudah, aku ke situ sekarang."
Panggilan langsung terputus. Aira menatap layar ponselnya yang gelap. Ada rasa lega karena akhirnya Alan tahu, tetapi juga sedikit perasaan lain yang sulit dijelaskan. Seharian tadi, ia merasa begitu sendirian dalam menghadapi situasi ini.
Sementara itu, di tempat lain, Alan melaju dengan kecepatan tinggi. Wajahnya tegang, pikirannya kalut. Ia menyesali kebodohannya, menonaktifkan ponsel, tidak tahu apa yang terjadi dengan Kenzo, dan yang lebih buruk lagi, ia baru saja menghabiskan waktu dengan Firda. Alan mencengkram kemudi lebih erat. Bau parfum Firda masih menempel di bajunya. Ia bahkan tidak sempat mandi atau mengganti pakaian. Dadanya sesak.
"Aira pasti akan curiga." Alan menelan ludah.
Entah kenapa, tiba-tiba ada perasaan takut yang menjalar di dadanya. Sampai di rumah sakit, Alan bergegas masuk ke kamar rawat Kenzo. Begitu pintu terbuka, tatapan pertama yang menyambutnya adalah wajah lelah Aira.
Tanpa berkata-kata, Aira berdiri dan langsung memeluk Alan. Alan terpaku. Seharusnya, ia merasa tenang dalam pelukan ini. Seharusnya, ia merasa nyaman. Tapi tidak, ada perasaan bersalah yang begitu besar menamparnya. Aira menghirup napas dalam-dalam. Seketika, keningnya mengerut.
Ia melepaskan pelukannya dan menatap Alan dengan curiga.
"Mas dari mana?" tanyanya, matanya menelisik wajah suaminya. "Berkeringat banget. Baunya juga aneh."
Alan terkesiap. "Tadi di kantor banyak kerjaan," jawabnya cepat. "Pas pulang, aku nggak sempat mandi. Langsung ganti baju aja, bahkan nggak sempat pakai parfum."
Aira diam. Sorot matanya tajam, seakan menembus kebohongan Alan. Tapi bukan saatnya membahas ini. Ia menghela napas dan kembali mengalihkan perhatian ke Kenzo.
Alan mengusap wajahnya. Untuk saat ini, ia berhasil menghindari pertanyaan Aira. Tapi sampai kapan?
"Bagaimana kondisi Kenzo? Kenapa ia sampai ke rumah sakit?" tanya Alan mengalihkan pembicaraan untuk menghindari kecurigaan Aira.
"Dari pagi sudah demam, pas Mas berangkat tadi. Sudah dikasih obat belum turun juga. Siang tadi menelpon Mas, nggak diangkat. Di telpon lagi malah dimatikan. Akhirnya ku bawa Kenzo kesini." Aira berkata dengan suara yang bergetar.
"Maaf, tadi sedang meeting. Nggak lihat ponsel lagi, pas sampai rumah ternyata ponselnya mati." Alan lancar sekali berbohongnya.
Aira terdiam, ia memandangi Kenzo yang terlelap tidur. Ia kesal, kalau teringat betapa paniknya ia tadi siang. Andai ia tahu ketika ia panik, Alan malah sedang bergelut, berbagi peluh dengan wanita lain, pasti ia akan sangat kecewa.
"Mas, andai Mas tahu bagaimana paniknya aku tadi. Semua aku putuskan sendiri, aku bingung sekali. Bahkan tas yang kubawa tertinggal di taksi. Untung saja pengemudinya baik, mengantarkan kesini." Aira menarik nafas panjang.
"Apalagi waktu Kenzo diambil darahnya tadi. Ia menangis, membuatku ikut menangis juga," kata Aira dengan mata berkaca-kaca.
"Maafkan aku, ya? Hari ini benar-benar banyak sekali pekerjaan yang harus aku lakukan. Tenang saja, besok aku akan disini menunggu Kenzo. Aku akan minta izin nggak masuk kerja."
Alan berkata dengan penuh penyesalan. Ia berusaha menebus rasa bersalahnya. Kemudian memeluk Aira lagi.
"Apa diagnosa dokter?" tanya Alan lagi.
"Gejala tipes, Mas."
Krucuk…krucuk, terdengar suara dari perut Aira.
"Mas, aku lapar. Dari siang belum sempat makan. Kenzo rewel terus, terpaksa aku harus menggendongnya. Baru sore tadi ia bisa tidur. Kalau aku cari makan, aku nggak tega meninggalkan Kenzo sendirian. Mau menitipkan pada perawat pun aku nggak tega," kata Aira dengan wajah yang tampak memelas.
Alan tertegun mendengar penuturan istrinya, Aira memang tampak pucat dengan wajah yang terlihat kusut. Rasa bersalah itu semakin membesar.
"Kamu mau makan apa? Nanti biar aku belikan."
"Apa saja Mas. Yang penting bisa untuk mengisi perut, dari tadi isinya cuma air saja. Jangan lupa beli air mineral, juga cemilan."
"Oke."
Alan melangkah cepat keluar dari kamar rawat Kenzo. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Aira hampir saja menyadari sesuatu.
Alan mengeluarkan ponselnya, menatap layarnya dengan gelisah. Tadi sebelum berangkat, ia masih sempat membaca pesan dari Firda.
"Aku nggak bisa berhenti mikirin tadi siang."
Alan menggigit bibirnya. Bodoh. Bodoh sekali aku! Ia segera menghapus pesan itu. Tidak boleh ada bukti. Tidak boleh ada jejak. Lalu, ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku dan bergegas menuju kantin rumah sakit untuk membeli makanan.
Sementara itu, di kamar rawat, Aira masih berbaring di samping Kenzo yang sesekali menggigil.
"Mas Alan tampak aneh hari ini…" gumamnya dalam hati.
Ada sesuatu yang terasa janggal. Cara Alan berbicara, bagaimana ia buru-buru pergi saat ia baru saja mencium keningnya, dan… bau parfum di bajunya. Aira memejamkan mata, mencoba mengabaikan pikirannya yang mulai liar. Mungkin Alan benar-benar sibuk. Mungkin dia benar-benar kelelahan. Tapi… kenapa perasaannya tidak tenang?
"Ibu…" panggilnya dengan suara kecil.
"Iya, Sayang?" Aira langsung menggenggam tangan Kenzo yang masih lemah.
"Lepas…" rintihnya sambil berusaha menarik infus dari tangannya.
"Jangan, Sayang. Ini obatnya, biar Kenzo cepat sembuh. Kalau sudah sembuh, kita bisa pulang ke rumah."
Kenzo mengangguk pelan, tapi wajahnya masih meringis kesakitan. Aira segera menyelimuti tubuh kecil itu dengan lebih rapat.
"Kepala Kenzo sakit?" tanyanya penuh iba.
Kenzo kembali mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca.
"Bobok lagi ya, Nak? Biar cepat sembuh."
"Kelonin…" pintanya lemah.
Tanpa ragu, Aira berbaring lebih dekat, mendekap Kenzo dengan penuh kasih sayang.
Perutnya mulai terasa perih. Sudah lebih dari setengah jam sejak Alan pergi.
"Kenapa lama sekali?" Aira melirik ke arah pintu.
Seharusnya membeli makanan tidak butuh waktu selama ini. Perasaan tidak enak kembali menyergap hatinya.
Di luar sana, Alan justru berdiri di dekat minimarket rumah sakit, menatap layar ponselnya. Nama Firda muncul di panggilan masuk. Tangannya gemetar. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya menekan tombol reject. Tidak. Ia tidak boleh membuat kesalahan lagi malam ini. Tapi satu hal yang Alan lupa… Aira sudah mulai mencium sesuatu. Dan ia tidak akan tinggal diam.
