Merindukan Goyanganmu
Aira menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Jangan sampai asam lambung naik," gumamnya dalam hati. Ia memejamkan mata, mendekap Kenzo yang sudah terlelap lebih dulu di sisinya.
“Pergi kemana Mas Alan? Beli makan kok nggak pulang-pulang.”
Akhirnya Aira tertidur juga, sambil menahan lapar.
Ceklek!
Alan membuka pintu kamar Kenzo perlahan. Matanya langsung tertuju pada Aira dan anak mereka yang tertidur pulas. Sebuah pemandangan yang seharusnya menenangkan hatinya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang lain.
Ia melirik jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Wajar jika Aira tertidur, pikirnya. Lagi pula, tadi ia sempat mengobrol lama dengan temannya saat membeli makan. Waktu berlalu tanpa ia sadari, apalagi setelah Firda meneleponnya. Jika sudah berbicara dengan Firda, dunia seolah mengecil. Semua yang lain tak lagi penting.
"Dek, bangun. Ayo makan dulu," kata Alan, menggoyang pelan bahu istrinya.
Aira menggeliat, lalu membuka matanya perlahan. Ia bangkit dari tempat tidur, meregangkan tubuhnya sejenak sebelum membuka bungkusan yang dibawa Alan. Aroma sate ayam langsung menyergap hidungnya.
"Ayo makan, Mas," ajaknya.
"Kamu saja. Aku tadi sudah makan sambil nunggu sate ini."
Aira tersenyum kecil, lalu mulai menyantap makanan itu. Sebenarnya, perutnya sudah terasa perih, tapi ia paksakan. Alan sudah repot-repot membelikannya, tak enak rasanya jika menolak. Setiap suapan terasa makin berat. Rasa mual mulai menyerang.
Tiba-tiba, ia meletakkan sendoknya. Wajahnya berubah pucat.
"Kenapa, Dek?" Alan memperhatikan gelagat aneh istrinya.
"Nggak apa-apa, Mas," jawab Aira cepat. Ia mencoba melanjutkan makannya, tapi tubuhnya menolak. Rasa mual makin kuat, sampai akhirnya ia berlari menuju kamar mandi.
Sudah bisa dipastikan apa yang terjadi di dalam kamar mandi. Semua yang masuk ke dalam perutnya langsung keluar semua. Sampai keluar rasa pahitnya.
Alan terkesiap saat mendengar suara muntah dari dalam. Wajahnya menegang. Ia mengetuk pintu kamar mandi. "Dek, kamu kenapa?"
Aira keluar dengan langkah gontai. Wajahnya semakin pucat. Perutnya masih terasa sakit, walaupun sudah muntah.
"Cuma asam lambung naik, Mas. Nggak apa-apa," katanya lirih.
Alan segera mengambil roti dan menyodorkannya. "Makan roti dulu, biar perutmu ada isinya."
Aira menggeleng lemah. "Mas, ambilkan fresh care di tasku."
Alan bergegas mengambilnya dan menyerahkannya pada Aira. Ia mengoleskan minyak itu ke perutnya, berharap rasa hangatnya bisa meredakan perih.
"Aku tiduran dulu, ya, Mas? Tolong jagain Kenzo. Kalau nanti enakan, gantian aku yang jagain," ucapnya dengan suara pelan. Aira pun berbaring di sofa panjang yang ada di kamar itu.
"Aku mintakan obat sama perawat ya?" Alan menawarkan diri untuk minta obat.
"Nggak usah, Mas. Bentar lagi juga enakan." Aira memejamkan matanya, mencoba menahan sakit yang makin menjadi.
Alan menghela nafas panjang, duduk di tepi sofa. Ia menatap wajah istrinya yang tampak kelelahan. Rasa bersalah mulai merayapi hatinya. Ia tahu Aira pasti sudah berusaha menelponnya tadi. Namun, saat itu ia sedang bersama Firda. Dan saat bersama Firda, semuanya jadi tak berarti.
Matanya kembali ke wajah Aira. Istrinya memang cantik, tapi tidak seperti Firda yang selalu tampil menarik. Aira tidak suka berdandan. Ia hanya seorang ibu rumah tangga yang sibuk mengurus anak dan berjualan online. Seseorang yang hidupnya berputar di dalam rumah, mengurus keluarga, tanpa pernah meminta lebih.
Alan menghela napas. Ia merasakan tubuhnya lelah, bukan hanya karena kegiatannya hari ini, tapi juga karena perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya.
Ia merebahkan diri di lantai yang ada karpetnya dan perlahan matanya terpejam. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu ada sesuatu yang harus ia hadapi. Sesuatu yang mungkin tak bisa ia hindari lebih lama lagi.
Aira terbangun dengan perasaan gelisah. Rasa ingin buang air kecil memaksanya beranjak dari tempat ia tidur. Sebelum melangkah ke kamar mandi, tangannya menyentuh dahi Kenzo yang kini tidak panas lagi. Nafasnya sedikit lega.
Pandangannya kemudian tertuju pada Alan yang tertidur di lantai dengan posisi telentang. Wajah suaminya tampak tenang, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Selesai dari kamar mandi, Aira berdiri memandangi Alan. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan aneh yang sulit dijelaskan. Sejak tadi sore, Alan bersikap sedikit berbeda. Tatapannya, ucapannya, bahkan cara ia menghindari kontak mata terasa tidak biasa.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Apakah ada yang kamu sembunyikan dariku?" gumamnya dalam hati.
Aira melangkah mendekat, memperhatikan wajah Alan lebih lama. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sesuatu di leher dan dada suaminya. Sebuah tanda merah samar-samar terlihat di sana. Seketika jantungnya berdebar kencang. Aira menelan ludah, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Dari mana tanda itu? Kami tidak melakukan apa pun tadi malam..." pikirnya.
Demi memastikan apa yang dilihatnya bukan ilusi, Aira mengambil ponselnya dan diam-diam memotret Alan yang tertidur. Ia memperbesar gambar dan memperhatikan lebih saksama. Detak jantungnya semakin liar. Tangan gemetar saat perlahan membuka kancing baju bagian atas Alan. Kini, tanda itu terlihat lebih jelas.
Sebuah firasat buruk mulai menghantuinya. Pikirannya melayang ke berbagai kemungkinan buruk. Jangan-jangan... Alan memiliki wanita lain? Mungkinkah tadi mereka melakukannya? Pantas saja tadi aroma tubuh Mas Alan jauh berbeda dan ia tampak gugup.
Aira mencoba mengusir pikiran itu, tetapi bayangan-bayangan buruk terus berdatangan. Wajahnya memucat, hatinya seperti diremas kuat-kuat. Jika benar Alan berselingkuh, apa yang harus ia lakukan? Bagaimana dengan Kenzo? Bagaimana dengan hidupnya? Ia tidak punya penghasilan tetap, dan tabungannya pun tidak seberapa.
Belum habis pikirannya mencerna semuanya, tiba-tiba ponsel Alan berdering. Aira buru-buru merebahkan diri, berpura-pura tidur. Dengan gerakan cepat, Alan terbangun, meraih ponsel, dan melihat nama di layar. Ekspresinya berubah seketika.
Aira memperhatikan dari balik kelopak matanya yang sedikit terbuka. Alan tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menerima panggilan itu. Tanpa sadar, tubuhnya sedikit menegang, lalu ia bangkit perlahan dan berjalan keluar kamar.
Pintu kamar Kenzo tidak tertutup rapat. Hati Aira berdebar kencang saat mendengar suara Alan berbicara dengan seseorang di telepon.
"Aira dan Kenzo sedang tidur. Kenapa, kangen lagi? Tadi kan sudah beberapa kali."
Deg!
Dada Aira bergemuruh. Jari-jarinya mencengkeram erat selimut, berusaha menahan gemuruh emosinya.
"Iya, besok aku ke tempatmu lagi. Pakai gaya yang berbeda ya? Kamu memang pandai dalam segala gaya, membuatku selalu merindukanmu."
Aira menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak tangis yang hampir pecah. Ia tidak menyangka kalau Alan sudah bertindak terlalu jauh.
"Iya, merindukan goyanganmu."
Tawa Alan terdengar jelas di telinganya. Tawa yang dulu begitu ia cintai, kini berubah menjadi pisau tajam yang menghujam dadanya.
Setetes air mata jatuh di pipinya. Aira tidak tahan lagi. Ingin rasanya ia langsung menemui Alan dan meminta penjelasan. Tapi ia ingat kalau sekarang sedang di rumah sakit. Ia menunggu Alan kembali ke kamar, tangannya terkepal kuat. Ia akan menghadapi ini. Apapun yang terjadi, ia tidak akan diam saja.
Saat pintu kamar terbuka, Alan terkejut melihat Aira duduk di tempat tidur dengan tatapan dingin. Tidak ada air mata yang meleleh, hanya sorot mata tajam yang penuh dengan kemarahan dan luka yang dalam.
"Siapa wanita itu, Mas?" suara Aira terdengar lirih, tetapi tegas. Alan terdiam, wajahnya mendadak pucat.
Malam itu, segalanya berubah. Alan tidak menduga kalau Aira bangun dari tidurnya.
