Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6

"Arif! Sabar, Arif! Jangan seperti orang yang kesetanan seperti itu!" bentak Seno. Lelaki itu mencoba menghalau tangan Arif yang membawa sebuah pisau. Kemudian dipeganginya tangan keponakannya tersebut agar berhenti bergerak. Seno merasa sangat khawatir kalau Arif akan benar-benar melakukan sesuatu di luar akal sehatnya. Yang rugi bukan hanya Arif yang akan masuk penjara, melainkan Seno juga gagal melindungi calon menantu sendiri.

"Jangan halangi aku, Paklek! Biar aku bunuh dia. Lelaki yang tak bisa dipegang kata-katanya dan berani mengkhianati adikku, tak pantas diberi maaf. Dasar pecundang kamu, Fikri!" Arif kalap, matanya merah melotot sembari mengacungkan sebuah pisau ke arah Fikri.

"Arif! Jangan begitu, Nak. Tak baik kamu menuruti kehendak setan seperti itu. Lihat Abahmu, Arif. Pasti sedang menangis melihat anak yang dibanggakannya bersikap seperti itu. Lepaskan pisaunya, Nak. Emak juga tidak pernah mengajarkan kamu untuk memiliki dendam dengan orang lain," ucap Mak Salamah sambil terisak. Tak mampu menjangkau Arif karena terasa tubuhnya yang lemas. Beliau lebih memilih menangis saja. Namun, sepertinya halauannya tidak berhasil.

Disaat suaminya akan bersiap-siap untuk bertemu dengan penciptanya, anak lelakinya justru kalap dengan membuat ulah yang lebih mengutamakan dendam dan bisikan setan.

Annisa yang berada di samping Mak Salamah juga diam terisak. Rasa malu juga sakit hati karena ulah Fikri tadi pagi belum juga reda, ditambah lagi dengan meninggalnya ayah tercinta. Kini malah melihat lelaki yang sedang tidak ingin dilihatnya datang tanpa diundang di hari kematian sang ayah.

Kedatangan Fikri kali ini bukannya menjadi obat, malah menambah luka di hati Annisa. Bagai luka yang sedang perih berdarah menganga, Fikri justru sengaja menyiram garam di atasnya. Rasanya menjadi semakin perih tiada tara.

Betapa kejamnya lelaki yang bernama Fikri bagi Annisa. Maka dari itu Annisa enggan menanggapi lelaki tersebut walau calon suaminya yang gagal itu berniat baik ingin berbela sungkawa untuk Haji Maimun. Kalau waktu bisa diputar kembali, mungkin Annisa tidak mau kenal dengan pemuda yang bernama Fikri.

"Aku ke sini cuma mau turut berbela sungkawa, Mas Arif," pinta Fikri memohon. Wajahnya nampak memelas.

"Bela sungkawa kamu bilang?! Kamu sudah lupa telah berbuat kesalahan besar, hah?! Sekalipun kamu minta maaf, tak cukup untuk mengganti luka dan malu yang kamu ciptakan. Enteng sekali ucapanmu, Fikri! Seperti tak punya rasa bersalah. Dasar tidak tahu malu! Orang tuamu bilang kalau Annisa pembawa sial bagi keluargamu. Tapi nyatanya kamulah yang membawa petaka bagi keluarga kami, Fikri. Apa salah adikku padamu?! Hingga kamu sangat tega memporak-porandakan hatinya!" Arif marah berapi-api menumpahkan kekesalannya pada Fikri. Ingin sekali Arif berkoar-koar lagi, tapi percuma. Ucapan kasar dari mulutnya bahkan tidak akan mampu mengubah keadaan menjadi utuh kembali.

Fikri hanya diam membisu, tak berani menjawab. Dia melihat semua orang yang ada di samping Arif. Agak merasa kaget dengan kehadiran keluarga Najwa di sana. Mengapa keluarga Annisa tidak membenci keluarga Najwa? Padahal biang kerok masalah dari semua ini adalah karena insiden yang Fikri alami dengan Najwa.

Perkataan yang baru saja Fikri dengar dari Arif, sungguh sangat membuat dirinya bingung. Mengapa Arif bisa berkata demikian? Fikri belum bisa mencari jawabannya. Kini tatapan matanya hanya terpaku pada jenazah Haji Maimun yang masih terbaring. Ingin sekali ia meminta maaf atas kesalahannya. Ingin sekali berlutut sujud di kakinya. Namun, apalah daya semua sudah terlambat.

"Ingat baik-baik, Fikri! Selamanya kamu akan menjadi orang yang sangat bersalah dalam masalah ini. Sudah mencampakkan adikku, juga telah membuat Abah meninggal. Itu semua gara-gara kamu! Semoga hidupmu tidak akan pernah bahagia, Fikri!" umpat Arif kasar dengan sedikit ancaman. Hati yang tadinya sudah sedikit tenang, kini telah dikuasai hawa iblis kembali. Bisikan setan sangat mendukung Arif apabila ia bisa menumpahkan kekesalannya lewat benda yang ada di tangannya.

Seno yang tadi memegangi tangan Arif karena keponakannya itu hendak menancapkan pisau ke tubuh Fikri, kini telah lepas karena melihat Arif sudah agak sadar dan tenang. Namun, belum lama Seno tenang, tiba-tiba Arif maju di hadapan Fikri. Dia siap menghujamkan pisau tersebut ke tubuh lelaki yang sedang menangis terisak menyesali kesalahannya.

Hiyaaakkk ...!!!

Arif berusaha menghujamkan Pisau ke tubuh Fikri, sayangnya hujaman itu melesat.

"Aaaa ...!!!" Fikri menjerit sembari menghalangi hujaman pisau itu dengan kedua tangannya yang menyilang. Begitu juga dengan semua tamu yang hadir dan melihat kejadian tersebut, mereka semua ikut menjerit ketakutan. Tak ketinggalan semua keluarga Annisa dan Najwa yang juga ikut menjerit.

Untungnya pisau tersebut tidak mengenai tubuh Fikri, melainkan mengenai tangannya. Darah mengucur deras dari tangan Fikri yang terkena hujaman pisau, sepertinya tangannya robek.

"Kang Fikri!" Najwa mendekati Fikri. Tapi Fikri seakan menghindar. Matanya menyiratkan kalau dia tak ingin didekati Najwa. Karena itu Najwa berhenti melangkah mendekatinya, meskipun wajahnya terlihat sangat khawatir terhadap calon suaminya itu.

"Arif! Apa yang kamu lakukan?!" bentak Seno marah. Kemudian dia mengambil pisau tersebut dari tangan Arif dan melemparnya ke lantai dengan gusar hingga Seno pun terkena goresan kecil.

Sedang dalam keadaan panas, tiba-tiba Darso dan Romlah datang menghampiri kerumunan. Entah mengapa kedatangannya tidak disadari oleh semua orang.

"Fikri! Kamu kenapa, Nak? Mengapa tanganmu berdarah?!" Romlah panik melihat ceceran darah di lantai, begitupun dengan Darso.

"Siapa yang mencoba melukai anakku?!" Mata Darso berkilat mencari-cari siapa yang patut dicurigai. Kedatangannya yang terlambat menjadikan lelaki itu tidak tahu kejadian yang sebenarnya.

"Aku! Anakmu memang pantas mati!" jawab Arif lantang tanpa sedikitpun rasa takut dalam dirinya.

Kedua manusia tersebut saling menatap dengan benci, tidak ada yang mau mengalah. Arif kalap dengan kebenciannya, sedangkan Darso tak terima putranya terluka. Bayangkan saja, keluarga mana yang mau diinjak harga dirinya sesuka hati. Bahkan semut yang diganggu pun pasti akan menggigit.

"Akan aku laporkan kamu ke pihak desa, Arif! Biar nanti diproses ke kepolisian," tuding Darso dengan kemarahan yang luar biasa.

"Silahkan saja. Itu tidak akan sebanding dengan apa yang anakmu lakukan pada Annisa. Kalau kamu akan melaporkan ke pihak desa, aku juga akan menuntut atas malu yang sudah anakmu torehkan. Dan denda itu lebih besar dari pada hanya sekedar mengobati luka anakmu! Ingat itu, Pak Darso yang terhormat!" Arif merasa menang dengan diamnya Darso yang tak bisa menyangkal. Sepertinya Darso kalah telak karena apa yang akan Arif tuntut itu lebih berat.

Seno dan Najwa tak berani bersuara. Lebih-lebih Darsih yang hanya bisa diam dan menangis. Mungkin wanita itu sedang meratapi nasib keluarganya. Kalau Arif tahu yang sebenarnya, bukan tak mungkin kalau Arif juga akan mengejar keluarganya. Bahkan bisa membunuh putri satu-satunya mereka, Najwa.

Saran dari Mak Salamah tidak digubris oleh Arif. Lelaki keras kepala berhati batu tersebut lebih mementingkan egonya sendiri. Putra pertamanya itu tak melihat betapa Mak Salamah dan Annisa sangat tertekan atas perilakunya saat ini. Indah yang sebagai istrinya saja tidak berani melerai, karena percuma saja. Pasti nanti juga akan kalah darinya. Maka dari itu mereka semua lebih baik diam dan pasrah.

"Ayo, Fikri, kita tinggalkan tempat ini. Kita pergi ke Rumah Sakit untuk menjahit lukamu," ajak Darso dan Romlah dengan menuntun Fikri. Namun, pandangan Fikri masih saja tertuju pada jasad Haji Maimun dan Annisa.

"Silahkan pergi! Tidak ada yang menginginkan seorang pecundang di sini. Kami juga tidak mengundang kalian ke sini, bukan?" seru Arif sinis menatap ketiga orang tersebut yang hendak hengkang dari rumahnya.

Rasa malu campur aduk menghiasi wajah Darso dan Romlah karena ucapan Arif. Mereka berdua merasa sangat tidak dihargai sebagai tamu. Namun, tidak begitu dengan Fikri. Pemuda itu masih saja merasa sangat bersalah meskipun tangannya sudah terluka. Tentunya luka yang ia rasakan tak sebanding dengan luka yang Annisa rasa karena ulah dirinya. Memang benar apa yang Arif katakan perihal dirinya.

"Ayo, Fikri! Cepat pergi dari sini," ajak Romlah dan Darso lagi. Mereka berdua segera menuntun putranya meskipun pandangan Fikri masih tetap pada gadis pujaan hatinya, Annisa.

Selepas kepergian Fikri dan orang tuanya, semuanya kembali fokus pada jenazah Haji Maimun. Pak Modin yang sudah menunggu sejak tadi, tidak mau terlalu ikut campur dalam urusan keluarga Arif. Beliau lebih baik menunggu semuanya selesai dari pada harus melerai. Itu semua demi kebaikan kelurga juga jenazah.

"Ayo, monggo silahkan kita mandikan jenazahnya. Bukankah lebih cepat lebih baik?" ajak Pak Modin ke tempat pemandian.

Ajakan Pak Modin menuntun keluarga Sohibul musibah turut serta ikut dalam proses pemandian sampai selesai. Setelah dikafani, kemudian jenazah Haji Maimun siap untuk diantarkan ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Gundukan tanah merah bertabur bunga dengan batu nisan bertuliskan Haji Maimun bin Makhrus, membuat dada Arif kian sesak. Dia belum juga beranjak dari tanah yang ia pijak. Serasa berat meninggalkan seorang ayah yang berperilaku sangat bijaksana bagi anak-anaknya semasa masih hidup. Tidak pernah pilih kasih, serta selalu menanamkan budi pekerti yang luhur.

"Sekali lagi, maafkan putramu yang tak berguna ini, Abah. Maafkan pula anakmu yang selalu gegabah dan bersikap egois," ucap Arif bicara sendiri menyesali segala tindakan yang membuat Abah dan Emaknya kerap menangis.

"Sudahlah, Arif. Tak usah kau sesali apa yang sudah terjadi. Ini semua sudah kehendakNya. Jadilah manusia yang lebih baik lagi. Ayo kita pulang, Arif," ajak Seno pada keponakannya itu.

"Tapi, Paklek."

"Kasian Emak, pasti sudah menunggumu. Mari kita pulang," ajak Seno lagi.

"Abah, aku pulang dulu. Aku janji akan menjaga Annisa dan Emak sebaik-baiknya." Arif berdiri, kemudian berjalan meninggalkan pusara ayahnya yang penuh dengan taburan bunga.

Ada rasa yang hilang setelah Arif menjauh dari pusara Haji Maimun. Seperti meninggalkan seseorang di suatu tempat yang sangat jauh dan tak dapat dijangkau. Apabila rindu, hanya bisa bertemu dalam mimpi.

Sepulang dari pemakaman, suasana rumah serasa lengang. Beberapa tamu yang masih berseliweran melayat, tidak bisa menemui yang punya rumah karena Annisa dan Mak Salamah masing-masing tidak mau ditemui oleh siapapun. Karena itu hanya Darsih dan Najwa serta Indah yang bisa mewakili. Arif juga terlihat sangat lelah hari itu.

Hingga waktu sore, Seno dan Darsih pamit untuk kembali ke rumahnya.

"Mbakyu, aku pulang dulu, ya," pamit Darsih pada Mak Salamah yang masih berada di kamarnya.

"Iya, terimakasih sudah membantu sejak tadi," jawab Mak Salamah lemas. Wanita yang hampir memasuki usia senja itu berpikir kalau rumahnya akan semakin sepi tanpa adanya suami yang sangat disayanginya itu. Tak akan ada lagi canda tawa, hanya ada sebuah keheningan yang selalu menyapa. Pun dengan Annisa, tak mungkin gadis itu akan ceria seperti dulu lagi.

Setelah berpamitan, Darsih dan Seno serta Najwa segera meninggalkan rumah Mak Salamah. Begitupun para tetangga. Sehingga membuat rumah Mak Salamah semakin sepi.

"Tok tok!" Arif mengetuk pintu kamar ibunya.

"Masuk saja," ucap Mak Salamah.

"Mak, bolehkah aku bicara?" tanya Arif hati-hati.

"Silahkan, Nak. Kemarilah," pinta Mak Salamah masih lemas.

Arif mendekati ibunya yang ternyata belum tertidur. Air mata sudah tak nampak di wajahnya yang keriput, tapi aura wajah yang sendu, mata yang cekung, terlihat sekali kalau di dalam hatinya sedang memendam kesedihan yang luar biasa.

Seharusnya hari ini adalah malam pengantin bagi Annisa yang penuh dengan kebahagiaan dan tawa, bukannya malam yang sangat menyedihkan karena satu nama telah meninggalkan.

"Mak, maafkan segala kejadian yang terjadi hari ini," ucap Arif mengawali percakapan.

"Kamu tidak salah, Nak. Semuanya sudah takdir. Tidak ada yang bisa mengubahnya."

"Tadi aku sangat kalap, Mak, hingga melukai Fikri." Ada rasa menyesal dari nada yang Arif ucapkan.

"Sangat manusiawi, Nak, apabila kamu sangat membenci dia. Emak juga benci dia dan keluarganya karena telah mempermalukan kita, selepas itu juga dari kesalahan Emak sendiri." Mata Mak Salamah tidak menatap Arif, melainkan entah kemana. Seperti seorang melamun tapi bicara.

"Namun, jangan kau jadikan masalah ini sebagai alasan dendam, Arif. Itu tidak baik. Ambil saja hikmahnya. Karena seburuk-buruk keadaan, bisa jadi itu yang terbaik buat kita. Saat ini kita menangis karena hal ini, siapa tahu suatu saat nanti malah kita akan bersyukur karena kejadian ini. Allah maha membolak-balikkan hati manusia. Ingatlah, Nak, setiap susah pasti akan mengiringi kebahagiaan setelahnya. Kita berdoa saja, semoga setelah ini adikmu akan bahagia." Ucapan Mak Salamah yang dibalut dengan nasehat itu sungguh membuat Arif semakin sadar kalau perbuatannya tadi adalah salah. Karena itu ia bertekad untuk membuat dirinya lebih baik lagi.

"Mak, bolehkah aku bertanya?" tanya Arif lagi seraya tidur di pangkuan ibunya.

Mak Salamah mengelus rambut putranya dengan lembut. "Apa, Nak?"

"Perihal Annisa, Mak. Apa yang Emak rahasiakan tentang Annisa? Mengapa Emak diam saat Bu Romlah berkata demikian?"

Mendengar pertanyaan Arif, Mak Salamah menangis kembali. Rasa bersalah menguasai dirinya lagi. Belum sempat wanita itu mengatakan pada suaminya tentang rahasia yang dipendamnya, kini Haji Maimun mendahului tiada. Sungguh Mak Salamah tak tahu bagaimana cara menebusnya.

"Mak? Kenapa Emak menangis lagi? Benarkah apa yang Bu Romlah katakan?" Arif kembali bertanya. Ia sangat ingin tahu kebenarannya.

"Hanya Emak dan Bulek Darsih yang tahu, Nak. Karena waktu itu Emak hanya berunding dengannya. Malahan, Bulek Darsih menyuruh Emak untuk melupakannya dan jangan mempercayainya. Tapi sampai sekarang, pikiran itu terus mengganggu," ucap Mak Salamah seperti tertekan.

Arif mengangkat kepalanya dari pangkuan ibunya. "Apa itu, Mak? Katakanlah! Kita bisa mencari solusinya bersama," cecar Arif.

Mak Salamah masih saja menangis. Bukannya tidak mau mengatakan, tapi beliau terus mengingat rasa bersalahnya kepada suaminya hingga membuat dadanya sesak. Setelah berusaha meredam tangisnya, kemudian diusapnya dadanya yang masih sesak seraya membacakan kalimat istighfar.

"Astaghfirullohaladzim ... berikanlah hamba kekuatan, Ya Allah ...." Mak salamah berdoa sambil terus mengusap dadanya.

Setelah dirasa reda, Mak Salamah mengambil napas dalam kemudian membuangnya perlahan. Kemudian siap untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Pelan-pelan, Mak. Katakan dengan jelas," pinta Arif. Putra pertamanya itu tak mau lagi kalau ibunya akan tertekan kembali.

"Adikmu mempunyai tanda lahir merah di kemaluannya sejak ia lahir, Arif. Orang jawa bilang ... namanya adalah toh brahma." Akhirnya Mak Salamah merasa sangat lega karena telah mengatakannya.

"Toh brahma?! Apa itu, Mak?" tanya Arif tak mengerti.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel