Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

"Selamat pagi," jawab Darso dalam keadaan bingung. Bertatap muka pada wajah yang nampak penuh dengan amarah, serta mata yang menatap tajam yang terarah pada Fikri, membuat empat anggota keluarga mengerutkan dahi.

Dani pun penasaran, ingin tahu apa gerangan yang terjadi. Lelaki itu sudah mengendus bau pertengkaran yang akan terjadi pagi ini. Firasatnya sudah tak enak melihat sosok tamu yang tak dikenal tiba-tiba datang dengan wajah yang sangat murka.

"Maaf, dengan Bapak siapa? Apakah ada urusan dengan saya?" tanya Darso hati-hati.

Romlah dan Fikri yang di sampingnya juga merasa tak enak. Seperti ada hawa yang akan memberikan kabar buruk. Keduanya diam menunggu sang tamu berucap memberi jawaban.

"Perkenalkan, saya Seno. Dan ini istri saya, Darsih." Tanpa senyum sama sekali, Seno malah merogoh sesuatu yang ada di saku bajunya. Kemudian melemparkan sebuah amplop putih ke meja di hadapannya dengan tidak sopan.

Darso dan Romlah semakin tercengang dan semakin bingung. Berisi apa gerangan yang baru saja dilemparnya itu. Begitu juga Fikri dan Dani, tak kalah penasaran. Mereka berempat saling pandang, ingin segera tahu apa isi yang berada di amplop tersebut.

"Maaf, Pak Seno. Silahkan duduk. Kita bicara baik-baik. Sebenarnya apa yang ingin Njenengan sampaikan? Kami sungguh bingung dan benar-benar tidak tahu," ucap Darso sopan sekaligus dengan senyum. Namun, tetap saja hatinya dihinggapi kecemasan yang luar biasa.

Wajah Seno yang masih murka, menandakan emosi masih menyulut dada. Lelaki itu duduk diikuti oleh Darsih sang istri. Yang semakin membuat bingung pemilik rumah, mengapa Darsih hanya diam dan tertunduk sejak kedatangannya. Apa gerangan yang membuatnya seperti itu. Tidak seperti Seno yang sudah menampakkan kemarahan sejak kedatangannya.

"Silahkan buka amplop itu, Pak Darso!" perintah Seno dengan mengangkat kedua alisnya. Sepertinya sudah tak sabar melihat reaksi keluarga Darso.

Darso segera mengambil amplop yang Seno maksud. Hendak dibuka secepatnya benda persegi panjang tersebut, bola matanya seketika membulat melihat logo kesehatan yang tergambar jelas di bagian depan. Sekala itu detak jantungnya berdebar kencang, mengiringi hati yang semakin tidak karuan. Dengan pelan Darso membuka amplop tersebut. Matanya seketika membelalak kala melihat isi dari amplop itu.

Romlah yang melihat suaminya sudah terlihat pucat, langsung merebut amplop tersebut dengan keras. "Dua garis merah?" Wanita itu tak kalah kaget. Praduga dalam hati mengarahkan untuk menoleh pada putra tunggalnya, Fikri.

"Ini maksudnya apa, Fikri?! Jelaskan pada kami!" Tatapan tajam Romlah yang terarah pada Fikri, membuat Fikri seketika berkeringat dingin. Wajahnya pucat pasi, kemudian menunduk.

"Karena itu, kami minta batalkan pernikahanmu dengan Annisa, Fikri!" Suara lantang Seno yang menggema memantul di ruangan, membuat keluarga Darso seketika lemas terduduk lesu.

"Jelaskan pada kami, Nak. Dengan siapa kamu melakukan itu?! Bukankah kamu pulang dari pesantren baru sebulan lebih. Ibu lihat, kamu tidak pernah ke mana-mana?! Kenapa bisa terjadi hal seperti ini? Jangan diam saja, Fikri! Jelaskan pada kami!" Romlah menggoyang-goyangkan tubuh anaknya, meminta penjelasan.

Romlah seperti mau pingsan. Berharap kejadian ini hanyalah mimpi di pagi hari.

"Sabar, Yu. Biarkan Fikri tenang dulu, baru ia jelaskan," tutur Dani menenangkan kakak iparnya. Melihat wajah keponakannya yang seketika kalut, dia jadi kasihan. Mengapa di hari bahagianya malah menjadi hari penderitaannya.

Mata Romlah terpejam untuk menetralisir emosinya. Setelah terbuka kembali kemudian mengelus dadanya yang masih menderu. Wanita itu tidak lagi kalap seperti tadi, tapi kelihatan sekali kalau tubuhnya lemas lunglai tak ada daya. Berusaha tenang dengan mengelus dadanya kembali dengan mengucapkan istighfar berkali-kali. "Ya Allah ... cobaan apa lagi, ini?"

"Najwa ... benarkah, Najwa?" ucap Fikri lirih sambil menundukkan wajahnya. Karena hanya pada gadis itu Fikri melakukan kekhilafan.

"Ya. Najwa adalah anak kami, sepupu Annisa. Istri saya adalah adik kandung dari Haji Maimun," jelas Seno tanpa basa-basi lagi.

Jlegar!!!

Bagai tersambar petir di siang hari bagi Romlah dan Darso. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kabar jikalau anaknya telah menghamili seorang gadis saja, sudah membuat mereka malu bukan kepalang. Ditambah lagi ternyata Fikri menghamili Najwa yang masih mempunyai hubungan sepupu dengan Annisa. Mau ditaruh di mana muka mereka?

"Kamu harus bertanggung jawab atas kehamilan anak kami, Fikri!" ucap Seno penuh penekanan. Raut wajahnya terlihat mengancam.

"Benarkah semua ini, Fikri?! Benarkah kalau kamu telah menghamili Najwa?!" Romlah kembali kalap.

"Sabar, Mbakyu. Sabar!" Dani melerai kakak iparnya yang akan mencakar Fikri. Seperti tidak bisa menerima kalau apa yang didengar adalah sebuah kenyataan.

"Bukankah Fikri hanya diam saja, Bu Romlah. Itu tandanya memang benar kalau dia telah melakukan itu pada Najwa." ucap Seno lantang. Mencoba menyadarkan Romlah kalau Fikri memang telah mempunyai hubungan dengan anaknya.

"Karena semua sudah jelas, maka Fikri harus tanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Bukankah tidak ada asap kalau tidak ada api?Batalkan pernikahannya dengan Annisa pagi ini juga. Atau kami akan melapor ke pihak desa untuk dibawa ke persidangan!" Nada Seno terdengar mengancam.

"Kalau begitu, kami pamit, Pak Darso, Bu Romlah. Akan kita lanjutkan perbincangan ini nanti lain waktu." Seno pamit dengan menggandeng tangan Darsih, yang sejak tadi mulutnya terkunci. Takut untuk bersuara.

Selepas kepergian Seno, mereka berempat hanya diam. Bingung dengan keadaan yang sudah seperti ini. Para pengiring pengantin juga sudah menunggu sejak tadi. Pasti mereka juga sedang bertanya-tanya apa gerangan yang sedang terjadi di dalam.

"Bagaimana ini, Mas?" tanya Dani pada Darso yang juga kebingungan.

"Aku juga tidak tahu, Dan. Bagaimana solusi untuk semua ini," jawab Darso sembari memegangi kepalanya. Sepertinya agak pusing.

"Maafkan aku, Pak, Bu. Aku tidak tahu kalau akan terjadi seperti ini." Fikri terlihat sangat kalut. Ia bahkan menangis dengan keadaannya saat ini.

"Nasi sudah menjadi bubur, Nak. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memenuhi permintaan Pak Seno. Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatan yang telah kamu lakukan," ucap Romlah pasrah.

Dani hanya mondar-mandir tidak jelas. Bingung bagaimana caranya menyampaikan pada orang yang berada di luar. Otaknya seketika tumpul tak bisa berpikir apa-apa. Dalam kebingungan, mencari solusi apa yang tepat untuk mengatasi keadaan ini. Tiba-tiba Romlah mendapat ide yang tadi sempat terpikir saat akan keluar mengantar Fikri.

"Pak, aku tahu solusinya." Romlah menarik tangan Darso ke ruang tengah hendak membicarakan sesuatu.

"Bagaimana, Bune?" Darso penasaran terhadap apa yang akan di sampaikan istrinya.

Setelah berada di ruang tengah, Romlah membisikkan sesuatu ke telinga Darso. Setelah mendengar dengan seksama apa yang dikatakan istrinya secara gamblang panjang lebar itu, akhirnya Darso menyetujui usul Romlah.

"Dan, Dani!" teriak Darso memanggil adiknya.

"Iya, Mas."

"Kamu kondisikan para pengiring pengantin yang ada di luar. Terserah mau bagaimana, yang penting pernikahan pagi ini batal. Kami berdua yang akan pergi ke rumah Haji Maimun untuk menghadapi mereka," jelas Darso.

"Baik, Mas. Aku akan segera memberi tahu mereka semua." Dani langsung pergi keluar rumah.

"Eh, Dan!"

"Iya, Mas." Dani menoleh.

"Carilah alasan yang tepat agar mereka mengerti," ucap Darso khawatir. Lelaki itu takut sekali kalau keluarganya akan menjadi bahan gunjingan. Tapi jika Dani bisa menjelaskan dengan baik, pastinya resiko digunjing tetangga itu akan berkurang sedikit kalau mereka tak mengerti sebab utamanya. Biarlah semua baik dahulu, meskipun nanti akhirnya juga akan terkuak. Sepandai-pandainya tupai melompat, toh akan jatuh juga.

Setelah kepergian Dani, Darso dan Romlah menghampiri Fikri yang sedang terpuruk menyesali apa yang sudah diperbuatnya. Biarlah ini akan menjadi pelajaran bagi masa depannya nanti agar hidup lebih berhati-hati dan menjadi manusia yang lebih baik lagi.

"Sudahlah, Fikri. Apa yang kau tangisi sekarang tidak akan mungkin kembali. Nyatanya kamu tidak berjodoh dengan Annisa. Yang harus kamu lakukan adalah secepatnya kamu harus menikahi Najwa. Biarlah urusanmu dengan keluarga Annisa, kami yang akan mengakhirinya." Darso dan Romlah meninggalkan Fikri yang masih saja diam dan terpuruk.

Benar kata orang, jika sedang mengalami masalah maka masalah lain akan datang beruntun. Ibarat rejeki, jika sedang senang maka kesenangan lain juga akan datang menghampiri. Masalah yang dihadapi Fikri dalam urusannya dengan gagalnya pernikahan dengan Annisa, kini berdampak buruk dengan kematian ayahnya.

Fikri seakan tak sanggup menanggung beban ujian yang sedang ia pikul. Ingin sekali ia menjerit di tanah lapang yang mana tidak ada orang yang mendengarnya.

"Ya Allah ... ujian apalagi yang akan Engkau pikulkan pada hambaMu ini? Mengapa ini terasa berat sekali Ya Robb .... Kuatkan aku, Ya Allah, kuatkan aku." Fikri menangkupkan kedua telapak tangan di wajahnya yang penuh dengan air mata. Seakan pertahanan hatinya telah goyah, tak ada harapan hidup lagi.

Tiba-tiba Fikri berdiri hendak keluar rumah. Perasaan yang kacau yang tak mampu ia lampiaskan, membuat ia berjalan dengan sempoyongan.

"Mau ke mana kamu, Fikri?" tanya Romlah yang masih berada di dekatnya.

"Aku mau menemui Annisa dan keluarganya. Aku mau minta maaf," jawab Fikri yang sedang membuka pintu.

"Jangan Fikri! Jangan sekarang, Nak. Apa kamu sudah gila? Kalau kamu pergi sekarang, yang ada malah masalah akan bertambah runyam." Darso menyeret tangan Fikri ke ruang tengah. Dia tidak mau kalau anaknya nanti malah akan menjadi bahan amukan Arif. Karena pasti Arif akan menuntut pada Fikri mengapa membatalkan pernikahannya. Akan menjadi sia-sia usaha Darso dan Romlah kalau sampai Arif tahu yang sebenarnya.

**

"Apa, Mbak Najwa?!" Dewi kaget mendengar kabar berita buruk yang baru disampaikan oleh Najwa. Dia tak tega memberi tahu Annisa tentang berita meninggalnya Haji Maimun. Dengan apa yang terjadi tadi pagi saja, Annisa sudah syok dan menangis tiada henti. Apalagi sekarang kalau mendengar berita duka tersebut.

Untuk cari aman, Dewi segera beringsut pergi meninggalkan Annisa sendirian di kamarnya. Gadis itu mencari Indah untuk memberitahu kabar duka tersebut padanya.

"Mbak, Mbak Indah." Dewi memanggil Indah dengan suara yang sangat lirih. Dia takut kalau akan mengganggu Mak Salamah yang baru saja bangun dari pingsannya.

"Ada apa, Wi?" tanya Indah seraya berjalan keluar kamar.

Dewi menarik tangan Indah. "Mbak, Pak Haji sudah nggak ada. Baru saja aku dapat kabar dari Mbak Najwa."

"Innalillahi wainna ilaihi roojiun ... Ya Allah, Dewi. Bagaimana ini? Apa Annisa baik-baik saja?"

"Ada di kamarnya, Mbak. Tapi Mbak Nisa hanya diam dan menangis tiada henti," ujar Dewi dengan kelu. Tak bisa membayangkan pada anak dan ibu tersebut kalau mendengar orang yang sangat disayangi telah tiada.

"Emak juga baru saja sadar, Wi. Aku takut kalau Emak akan pingsan lagi. Begini saja, aku akan minta bantuan tetangga untuk menyiapkan segalanya. Tolong jaga Emak ya, Wi." Indah segera keluar rumah mencari bantuan tetangga.

"Iya, Mbak." Dewi kalut. Dia belum tega memberitahu keduanya.

Sepeninggal Indah, Dewi hanya terduduk lesu di lantai. Ikut sedih menyaksikan drama bak tragedi yang tak kunjung usai sejak tadi pagi. Tak bisa membayangkan nanti apabila mobil jenazah tiba, berapa jeritan lagi yang akan menggema di rumah ini.

Sepuluh menit telah berlalu. Dewi masih saja duduk dengan gelisah menunggu Indah yang tak kunjung masuk ke dalam rumah. Pasti banyak yang harus dipersiapkan, entah itu di dapur atau persiapan di halaman rumah. Hingga suara sebuah sirine mengagetkan lamunan Dewi. Byar, buyar seketika.

Wiu wiu wiu ...!!!

Suara sirine mengusik telinga. Semakin lama semakin dekat. Membuat bulu kuduk meremang dan menakutkan. Diikuti suara riuh orang-orang yang berkerumun. Bahkan ada suara tangisan yang meraung-raung entah milik siapa.

"Dewi!" teriak Mak Salamah dan Annisa secara bersamaan. Hingga membuat Dewi bingung, siapa dulu yang akan ia dekati.

Belum juga Dewi mendekat, Mak Salamah dan Annisa keluar kamar secara bersamaan. Keduanya berlari keluar tanpa bisa dicegah. Dewi pun tak bisa berkata apa-apa lagi. Biarlah mereka melihat sendiri, apa yang terjadi sebenarnya. Dewi hanya bisa mengikuti mereka berdua keluar rumah.

"Siapa, siapa yang meninggal?!" jerit keduanya.

Tak ada yang menyahut. Semua orang sibuk dengan kedatangan jenazah Haji Maimun yang baru saja digotong dari dalam ambulance. Kini jenazah itu sedang digotong menuju di mana Mak Salamah dan Annisa berdiri mematung.

Mata Mak Salamah dan Annisa semakin terpaku dengan kedatangan Arif yang berjalan lunglai mengiringi jenazah. Kemudian di belakangnya ada Seno, Darsih dan Najwa dengan mata yang sayu mengembun.

"Dimana Abah?" Mak Salamah dan Annisa saling bertanya.

Dewi yang berada di belakang mereka berdua, hanya diam tanpa menjawab pertanyaan keduanya. Ia takut, sungguh takut. Air mata yang terus saja mengalir sudah mewakili jawabanya saat ini.

Pikiran Mak Salamah dan Annisa kalut. Orang yang dicari tidak ada di kerumunan. Mereka berdua akhirnya saling adu pandang, berarti jenazah yang sedang digotong menuju rumah mereka adalah jenazah dari orang yang sejak tadi mereka cari keberadaannya.

"Abah ...!" Mak Salamah dan Annisa kembali terpuruk. Tubuh keduanya ambruk merosot ke lantai. Semua persendiannya seakan lolos, lemas tak berdaya tak bisa bangun.

"Mak! Mbak Nisa!" Dewi menggoyangkan tubuh Annisa. "Tolong bantu mereka!" teriaknya kemudian meminta bantuan untuk membantu mereka berdua berdiri agar bisa memberi jalan masuk untuk jenazah Haji Maimun.

Setelah jenazah sudah masuk ke dalam rumah, Annisa dan Mak Salamah mendekati jenazah tersebut walaupun dengan berjalan ngesot.

"Abah ...." Annisa dan Mak Salamah tergugu di samping jenazah. Keduanya menjerit, membuat semua orang yang hadir di ruangan tersebut ikut menitikkan air mata.

Bagaimana tidak, dekorasi panggung pengantin belum sempat dibongkar, kini malah berganti dengan panggung kematian. Hiasan bunga di pelaminan yang seharusnya menjadi saksi kebahagiaan sepasang pengantin, berubah menjadi pengiring pilunya tangis karena yang punya hajat telah berpulang.

Tak ada yang tak menangis melihat keadaan ini. Semua tamu yang tadi diundang untuk menghadiri ijab kabul pernikahan, kali kedua datang untuk menghadiri acara pemakaman. Sungguh tragis dan pilu menyayat hati.

"Maafkan aku, Abah. Maafkan aku telah merahasiakan semua ini," ucap lirih Mak Salamah sambil tergugu tak berhenti menangis. Ada sebuah penyesalan, mengapa dirinya tak bicara jujur sejak dulu.

Di sampingnya, Darsih, yang berusaha menguatkan kakak iparnya. "Sabar, Mbakyu. Mbakyu harus kuat," Darsih menepuk lembut pundak Mak Salamah.

Sungguh ironis sekali, putrinya yang telah membuat keadaan pernikahan menjadi petaka, dirinyalah yang menjadi penyemangat agar keluarga yang ditinggalkan bisa kuat dan ikhlas. Mungkin tidak akan lama, kalau semua sudah terbongkar, pasti akan terjadi perang saudara. Kedua keluarga kandung akan saling bertengkar dan menuntut balas.

Semua orang saling sibuk mengerjakan pekerjaan masing-masing. Ada yang sedang mengaji untuk jenazah, merangkai bunga, menyiapkan tempat pemandian jenazah, dan menyiapkan keperluan lainnya. Hanya keluarga besarnya saja yang berada di samping jenazah menunggui sambil mengaji sampai semuanya sudah siap.

"Monggo untuk keluarga yang ingin ikut memandikan jenazah, dipersilahkan. Karena tempatnya sudah dipersiapkan," ucap Pak Modin pada keluarga.

Dengan cekatan, Arif dan Seno serta tetangga lain langsung bersiap hendak menggotong jenazah Haji Maimun. Namun, belum juga semuanya menyentuh tubuh jenazah, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh seorang tamu.

"Assalamualaikum?" ucap tamu tersebut.

Semua yang ada di ruangan menoleh. Tidak ada yang tak kaget. Lebih-lebih Arif, yang memandang tamu tersebut dengan mata melotot penuh kebencian. Tanpa berpikir lama, Arif langsung berdiri masuk ke dalam. Dia mengambil sesuatu di dapur, kemudian keluar lagi menemui tamu tersebut.

"Kurang ajar kamu, beraninya kamu ke sini, hah!" ucap Arif kalap. Dia membawa sebuah pisau dan berusaha menodongkan pisau tersebut ke tubuh seseorang yang tidak jauh darinya.

"Apakah kamu cari mati?!" teriak Arif lagi seperti orang kesetanan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel