Bab 7
"Tolong jelaskan apa itu toh brahma, Mak. Aku pernah mendengar itu, tapi tak tahu maksudnya," pinta Arif tak sabar. Sejak kecil sampai sudah berumah tangga hingga sekarang, belum pernah ia mendengar sebuah mitos seperti itu.
Mungkin karena Arif seorang lelaki, jadi sangat tabu membicarakan sebuah kepercayaan yang hanya dibicarakan oleh para wanita. Nyatanya kepercayaan dari leluhur juga datang dari nenek moyang mereka.
Seketika ingatan Mak Salamah terlempar pada 20 tahun yang lalu dimana saat itu Annisa dilahirkan.
"Bayinya perempuan, Mbakyu. Alhamdulillah. Sudah lengkap rasanya, sudah mempunyai anak laki-laki dan perempuan," ucap Darsih tersenyum melihat keponakannya yang baru lahir. Kebetulan saat itu dia masih mengandung satu bulan. Karena itu Darsih turut senang dengan mengelus perutnya sendiri yang masih rata. Rasa bahagia terpancar dari senyum di wajahnya.
"Apakah sempurna, Sih? Maksudnya ... tidak cacat," tanya Mak Salamah sangat cemas. Pasalnya waktu mengandung satu bulan Annisa, Haji Maimun, suaminya menabrak kucing di jalan sampai mati.
Sampai bayi itu lahir, pikiran Mak Salamah masih tak enak. Orang tua jaman dulu memang senang mengaitkan semua hal yang terjadi dengan sebuah mitos. Sering kali mereka lebih suka mengaitkan hal-hal dengan kejadian buruk. Seakan-akan sudah tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
"Sempurna, Mbakyu. Sangat cantik seperti Mbakyu. Tapi ...," ucapan Darsih terjeda.
"Tapi apa, Sih?" Rasa cemas sudah menghiasi wajah Mak Salamah.
"Anu, Mbakyu. Ada tanda lahir merah di kemaluannya," jawab Darsih agak khawatir.
"Bagaimana kalau besar nanti dia ...." Mak Salamah tak mampu melanjutkan ucapannya.
"Mbakyu, sudahlah. Jangan berpikir yang tidak-tidak, takutnya kelak menjadi kenyataan. Sekarang Mbakyu khusnudzon saja sama Allah. Karena Allah lebih tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Berprasangka baik itu juga akan menghasilkan sesuatu yang baik. Buang semua pikiran buruk. Pikirkan saja yang terbaik untuk bayimu yang cantik itu, Mbakyu. Itu lebih baik," nasehat Darsih kala itu.
"Mak," ucap Arif lembut menyentuh pundak ibunya. Tak tahu apa yang dipikirkan ibunya, Arif mencoba menyadarkan Mak Salamah dari lamunannya.
"Bagi orang jawa, toh brahma yang berada di kemaluan itu berbahaya, Nak. Kata leluhur terdahulu, itu bisa juga diartikan sebagai kutukan." Mak Salamah membuang nafas pelan.
"Maksudnya, Mak?" Arif masih belum paham.
"Setiap gadis yang memiliki toh brahma, kelak jika menikah, maka pasangannya akan mati muda. Entah ini sebuah kutukan atau hanya mitos belaka. Tapi ... Emak selalu menganggap bahwa itu adalah sebuah kutukan."
"Bukankah dalam islam, tidak ada yang namanya kutukan, Mak? Yang ada ... hanya hukum alam bahwa siapa yang menabur maka akan menuai. Entah itu kebajikan maupun kesalahan. Intinya, bahwa hidup di dunia tidak ada yang gratis. Yang bersalah akan dapat hukuman, yang baik akan mendapat pahala." Arif berpendapat sesuai apa yang dia tahu. Belum bisa percaya penuh apa yang dikatakan ibunya.
"Mungkin, para leluhur mengartikan berbeda, Nak. Sebagaimana kita tahu bahwa brahma adal hal yang bersangkutan dengan keduniaan. Jadi wajar saja kalau punya sifat menguasai. Seperti halnya yang ada pada Annisa, bahwa toh tersebut ingin menguasai dirinya dengan membuat pasangannya meninggal."
Sebenarnya Mak Salamah ingin menghilangkan semua rasa was-was yang menguasai jiwanya, akan tetapi tak bisa semudah itu. Melihat sebagian masyarakat menganggapnya demikian.
"Mak, segala apa pun yang kalau kita yakini, pasti akan terjadi. Kalau kita tidak yakin, tentunya tidak akan terjadi. Karena sebagian orang sudah menganggap demikian, mau bagaimana lagi. Kita tidak usah ikut mempercayainya. Kalaupun iya, apakah ada solusi untuk itu?" tanya Arif. Ia juga ingin menuntaskan masalah tersebut agar tidak menghantui keluarganya.
"Ada yang bilang kalau Annisa harus diruwat, Nak. Dan kita harus mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk dengan seorang dalang dan niaga yang tak biasa. Mereka adalah orang-orang yang terpilih pula," jelas Mak Salamah.
Arif mencoba mencerna apa yang dikatakan ibunya. Mengadakan pagelaran wayang kulit juga tak semudah membalikkan telapak tangan yang tentunya pasti memakan biaya yang cukup besar. Belum lagi apabila harus diruwat, tidak semudah yang dibayangkan. Tentunya ada syarat dan tradisi yang harus dilalui.
"Ngomong-ngomong ... mengapa Bu Romlah tahu tentang masalah ini, Mak? Apakah Emak pernah mengatakan pada seseorang?" Kening Arif berkerut, mencari sumber masalah yang sudah terjadi.
"Emak juga tidak tahu mengapa Bu Romlah bisa mengatakan demikian. Yang tahu masalah itu hanya Emak dan Bulek Darsih. Selain itu tidak ada yang tahu." Emak Salamah juga merasa heran.
"Apakah Bulek Darsih yang memberitahukan pada Bu Romlah? Tapi buat apa? Tidak ada keuntungan untuk dirinya."
"Tidak mungkin Bulekmu mengatakan pada orang lain. Dia malah menyuruh Emak untuk diam dan melupakannya. Tak mungkin ia mengumbar aib keluarga pada sembarang orang." Mak Salamah menyangkal pendapat Arif.
"Sudahlah, Mak. tidak usah dipikirkan. Kalau demikian, aku akan coba mencari solusinya, Mak. Jangan khawatir, setiap masalah pasti ada jalan. Bukankah Allah memberi penyakit juga sudah disiapkan obat? Tinggal kita saja mau berusaha atau tidak. Sekarang Emak tenang, tidak usah punya pikiran yang macam-macam. Tidurlah, sudah malam. Sayangi badan Emak sendiri, jangan terlalu memikirkan hal yang tidak-tidak. Kalau bukan kita sendiri yang menjaga badan kita, siapa lagi." Arif menarik selimut yang ada di samping Mak Salamah, kemudian menyelimuti tubuh yang terlihat ringkih itu.
Kemarin sebelum pernikahan Annisa, semua keluarga tersenyum penuh kebahagiaan. Banyak canda dan tawa yang memenuhi rumahnya. Namun, siapa sangka hanya butuh waktu satu hari untuk merenggutnya, sangat mudah sekali, bukan?
Orang bilang, jangan terlalu bahagia dengan sesuatu yang belum terjadi, nanti bisa menjadi tangis. Tapi, apakah salah kalau sebuah keluarga bahagia di saat hari yang ditunggu akan segera tiba. Pengantin mana yang tak bahagia ketika hari dimana akan mengucapkan janji setia dalam pernikahan akan segera terlaksana? Hati yang sebelumnya hanya ada satu, akan diikat menjadi dua dengan yang namanya cinta. Tentu saja berbunga-bunga. Tak disangka, hari yang begitu dinanti oleh Annisa malah menjadi tangis baginya.
Arif keluar dari kamar ibunya. Kemudian ia mendekati pintu kamar Annisa yang sedikit terbuka. Diintipnya oleh Arif, sedang apa adik perempuannya itu di dalam sana. Dilihatnya Annisa belum juga tertidur, gadis ayu itu masih duduk panjang dalam balutan mukena. Terdengar lirih sebuah tangisan tersedu menyayat hati dibalik mukenanya. Sayangnya Arif tak berani mendekat.
Arif hanya melihat sejenak. Tak tega rasanya jika harus bertanya tentang apa yang sedang dirasakannya saat ini. Biarlah Annisa sendiri yang menumpahkan apa yang ia rasa pada pemilik hidupnya. Hanya dengan membiarkan adiknya itu tenang dalam tangisannya, itu sudah menjadi keputusan yang terbaik.
Arif kemudian kembali ke kamarnya sendiri. Berpikir bagaimana mencari solusi untuk masalah adiknya itu sembari menatap anak dan istrinya yang sudah terlelap. Otaknya tak berhenti berpikir sampai ia menemukan jawabannya. Sesaat kemudian ia tersenyum kecil.
Malam yang sudah begitu sunyi, semua penghuni rumah sudah terbawa jauh oleh buaian mimpi yang indah. Hanya Annisa yang belum bisa memejamkan matanya. Tubuhnya terasa lelah bagai dihantam seribu badai, tapi jiwa dan pikirannya tak bisa mengikuti tubuhnya. Membuat ia tak bisa memejamkan mata walau hanya barang sebentar.
Sujud panjang waktu isya, diikuti oleh sholat witir. Hatinya memang menjadi tenang, bak sehari panas yang seketika adem setelah guyuran air hujan. Di atas sajadah yang masih terbentang, tak juga ia lepas mukenanya.
Hatinya kembali menangis mengenang sehari tadi yang dilewatinya. Pernikahan yang gagal dengan diiringi oleh tangis kematian, belum bisa membuat matanya berhenti menangis. Masih saja air mata itu jatuh beriringan ke bawah membasahi mukenanya.
Mimpi apa dia semalam? Hingga hidupnya seketika berantakan oleh ulah seseorang. Seseorang yang begitu dia cintai dan impikan untuk dijadikan seorang imam. Seorang pangeran berkuda putih yang menjadi impian bagi seorang putri. Sungguh tak disangka, lelaki yang digadang-gadang akan menjadi pelita di hatinya kala susah melanda, malah menjadi musuh dalam selimut yang menghujam tajam pada seseorang yang katanya ia cintai.
Sungguh Annis benci dengan keadaan seperti itu. Kalaupun marah, bukankah sangat manusiawi. Mungkin tidak hanya itu, bahkan kalaupun Annisa menjadi dendam pada Fikri, juga menjadi hal yang sangat wajar. Namun, ia selalu terkenang wejangan dari ayahnya yang membuat marah itu seketika surut.
"Nduk, apapun yang terjadi di dunia ini adalah sebuah takdir. Bagaimanapun kamu sudah berbuat baik pada seseorang, jika akhirnya kamu tersakiti, janganlah kamu menjadi orang yang pendendam. Karena itu akan membuat dirimu hancur terhadap apa yang sudah kamu miliki," ucap Haji Maimun memberi wejangan pada Annisa semasa hidupnya.
"Ya Allah ... kuatkan hamba. Jangan Engkau timpakan sebuah masalah yang hamba tak kuat menanggungnya." Annisa terisak dalam doanya. Berharap hari esok ia bisa melewatinya dan baik-baik saja.
Keyakinan dalam diri Annisa mulai terpatri kuat. Hanya dengan mengingat nasehat ayahnya, hati yang panas kini adem kembali. La yukallifullaahu nafsan illa wus'aha. Allah tidak akan menguji seorang hamba diluar batas kemampuan. Yakin kalau setelah hujan badai, kemudian ada pelangi yang muncul. Habis gelap terbitlah terang, setiap ada masalah atau cobaan yang ada di hidupnya, pastikan ambil hikmahnya. Karena sejatinya, ujian adalah cara Allah untuk meninggikan derajat seseorang.
Setelah kejadian dengan Fikri, Annisa yakin kalau Allah pasti sudah menyiapkan lelaki terbaik untuk dirinya. Hanya perlu percaya pada ketentuan Allah, tidak boleh suudzon dan selalu berbaik sangka.
"Astaghfirullaahal adzim ...." Annisa menghirup udara malam kemudian ia hempaskan secara pelan agar sesak di dada yang sejak tadi memenuhi batinnya menjadi berkurang dan hilang.
Air mata yang dari tadi mengalir deras, akhirnya bisa berhenti menemukan muara. Tak ingin ia berlarut dalam kesedihan, selain itu tidak dianjurkan juga tak baik untuk badan. Bahagia sewajarnya, sedih juga sewajarnya. Meskipun masih terasa sakit di hati, Annisa bertekad harus bisa melupakan. Berpikir selalu positif dan berusaha ikhlas, itulah caranya.
**
"Bukankah Ibu sudah bilang, Fikri. Tak perlu kamu ke sana. Dibilangin orang tua saja susah sekali," gerutu Romlah sembari mengganti perban karena akan membubuhi obat antiseptik cair agar lukanya tidak infeksi.
"Apa salahnya, Bu, kalau aku minta maaf. Karena dalam hal ini aku yang salah." Fikri marah karena ibunya selalu saja mengomel sejak keluar dari rumah Haji Maimun kemarin sampai sekarang.
"Tidak ada yang salah kalau meminta maaf, Fikri. Hanya waktunya yang salah. Seharusnya kamu berpikir, keluarga Annisa tidak akan mudah memaafkan kamu," ujar Romlah tak mau kalah.
"Ngomong-ngomong ... kenapa keluarga Annisa tidak marah pada keluarga Najwa? Bukankah seharusnya keluarga Annisa melarang keluarga Najwa untuk datang?" tanya Fikri yang kebingungan sejak kemarin. Ia tidak melihat kebencian di wajah Annisa pada Najwa sedikitpun. Yang ada hanya wajah sendu penuh kesedihan juga kebencian menatap dirinya.
"Namanya juga masih satu keluarga kandung, Fikri. Tentu saja keluarga Najwa menghadiri dan berduka cita karena meninggalnya Haji Maimun. Kenapa kamu bingung." Romlah mencoba berkilah.
"Bukan seperti itu, Bu. Mas Arif itu orang yang sangat tempramen. Jadi, tidak wajar saja ia bisa menerima Najwa dengan legowo. Pasti Najwa sudah dibunuhnya sama seperti aku kemarin. Hanya saja, mengapa dia bersikap biasa saja pada Najwa dan keluarganya?" Fikri masih saja tak habis fikir. Ia berusaha mencari jawaban tapi belum juga ketemu.
"Aku mau tanya sama Ibu, mengapa Mas Arif bilang kalau Annisa itu pembawa sial bagiku? Apa yang Ibu bicarakan saat Ibu ke sana?" Fikri curiga sekaligus penasaran.
Melihat tingkah Romlah yang seperti salah tingkah, Fikri menjadi semakin penasaran. Ia terus mencecar ibunya.
"Kenapa Ibu tidak jawab? Benarkah yang dituduhkan oleh Mas Arif?" Fikri menatap tajam Romlah. Bukan hanya salah tingkah, bahkan Romlah juga menjadi tersinggung. Wajahnya menyiratkan rasa tak suka pada pertanyaan anaknya.
Akhirnya dengan perasaan dongkol, Romlah menjawab pertanyaan Fikri, "Annisa itu gadis pembawa sial, Fikri. Kalau kamu menikah dengannya, kamu akan mati muda."
Jawaban Romlah membuat Fikri geleng-geleng kepala. Heran sekali dengan pikiran ibunya yang kolot dan menurutnya sangat kuno.
"Sejak kapan Ibu jadi malaikat? Malaikat saja kalau mencabut nyawa seseorang menunggu perintah dari Allah. Sejak kapan pula Ibu menjadi para normal? Yang bisa mengerti kapan kematian akan datang pada seseorang! Bu! Perkara mati, jodoh dan rejeki itu milik Allah, bukan milik Ibu. Mengapa Ibu menjadi orang yang egois?! Itu sama saja dengan Ibu memfitnah Annisa, Bu!" Fikri marah besar pada ibunya mengetahui kebenarannya. Sungguh kejam ibunya bisa memfitnah seorang gadis yang ia cintai dan tidak bersalah.
"Ibu tidak memfitnah Annisa, Fikri. Ibu hanya berbicara kebenaran!" Romlah bicara dengan nada tinggi. Ia tak terima atas tuduhan yang Fikri lontarkan.
"Apa namanya kalau bukan fitnah, Bu?! Menuduh seseorang tanpa tahu kebenarannya?!"
"Ibu bicara benar, Fikri. Annisa itu gadis pembawa petaka. Siapapun yang menikahinya pasti akan mati muda karena ia punya toh brahma. Dukun bayi Annisa juga berkata demikian." Romlah mencoba memberi penjelasan pada Fikri agar anaknya itu mengerti.
"Toh brahma?" gumam Fikri lirih. Ia juga pernah mendengar kepercayaan tersebut. Namun, ia tak percaya pada hal mitos tersebut.
"Alah, itu hanya alasan Ibu saja. Belum tentu juga akan seperti itu. Di jaman modern seperti ini, sangat langka yang percaya akan kepercayaan seperti itu. Hanya mitos saja yang masih berkembang di masyarakat. Lagian, mengapa perkataan dukun bisa Ibu percaya? Aneh."
"Iya, itu hanya salah satu alasan Ibumu ini untuk menutupi aibmu! Ingat, Fikri! Kalau kamu tidak menghamili Najwa, ceritanya tidak akan seperti ini. Akan ada lain cerita. Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang menyebabkan gagalnya pernikahanmu sendiri, mengapa kamu menyalahkan orang tuamu? Di mana adabmu? Percuma saja kami kirim kamu ke pesantren, kalau pada akhirnya kamu tidak bisa menghormati orang tuamu!" Romlah marah besar pada Fikri. Wanita itu keluarkan semua uneg-uneg yang ada di kepala agar anaknya itu tahu bagaiman rasanya diri Romlah saat tahu kalau anaknya menghamili anak gadis orang, di saat pernikahannya akan segera dilaksanakan.
Anak tunggal yang selalu Romlah banggakan, malah membuat orang tuanya kecewa. Ibu mana yang tak putar otak ketika anaknya dituntut untuk bertanggung jawab pada seorang gadis karena menghamilinya di saat yang genting? Sudah pasti Romlah akan mencari alasan agar nama keluarganya aman dari rasa malu.
Meskipun Fikri kukuh akan pendapatnya, Romlah tetaplah tak mau disalahkan. Perkara Fikri bagikan lempar batu sembunyi tangan. Fikri sendiri yang salah, tapi Romlah justru memfitnah Annisa.
"Sudahlah, Bu. Aku akui kalau aku salah. Aku yang salah, Bu. Telah menyakiti Annisa, juga membuat ayahnya meninggal. Tapi ingat, Bu, sepandai-pandainya Ibu menyimpan bangkai, suatu saat akan tercium juga. Suatu saat kalau Mas Arif sampai tahu yang sebenarnya, aku tak tahu apa yang akan dia lakukan pada keluarga kita." Fikri lemas membayangkan diri dan keluarganya terancam. Sudah dipastikan kalau Arif tahu, pasti akan melakukan sesuatu yang lebih dari pada kemarin.
Mendengar penuturan Fikri, Romlah menjadi agak ketakutan sendiri. Kemarin saja Arif sudah menyakiti Fikri tanpa berpikir bagaimana resikonya. Lalu, apa yang akan terjadi kalau tuduhannya pada Annisa hanya semata-mata untuk menutupi aib anaknya.
Di tengah-tengah rasa kalut, tiba-tiba terdengar pintu diketuk yang membuat keduanya kaget.
"Tok tok! Assalamualikum?!" Suara salam terdengar.
Arif dan Romlah saling pandang, suaranya seperti tak asing di telinga mereka berdua. Buru-buru
Romlah membuka pintu meskipun sebenarnya enggan.
"Waalaikumsalam ...!" jawab Romlah.
Setelah pintu dibuka, wajah Romlah seketika pias.
