Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

"Najwa ...! Kalau kau tak menggodaku dengan rayuan mautmu lebih dulu, tak mungkin aku akan melakukan kesalahan yang akan aku sesali sampai detik ini. Mengapa, Najwa?! Mengapa?!" kesal Fikri sembari mengelap air mata yang sudah membasahi wajahnya.

Dia selalu menyalahkan Najwa atas kejadian yang menimpanya. Ya, karena gadis itu dianggap orang ketiga bagi Fikri dalam hubungannya dengan Annisa. Najwa 'lah penyebab kehancuran cinta yang sudah Fikri dan Annisa rajut selama tiga tahun. Hanya satu kesalahan, membuat Fikri melakukan kesalahan selanjutnya.

Rasa penyesalan yang teramat sangat telah menguasai relung hati Fikri sejak kejadian menjijikkan itu usai, bahkan sampai sekarang. Tak tahu dari mana asal mulanya, siang itu dirinya dan Najwa kenapa bisa melakukan hal yang tidak senonoh. Lebih-lebih kejadian itu terjadi tatkala keduanya masih dalam naungan pesantren. Sungguh ironis, bukan? Pesantren adalah tempat menimba ilmu agama, bukannya malah melakukan hal yang meludahi aturan agama itu sendiri.

"Eh, Dek Najwa mau kemana?" tanya Fikri pada Najwa yang kala itu sedang menggendong sebuah bakul.

"Mau kirim makanan buat Kang Fikri sama Gus Banyu. Aku disuruh Umik Farida tadi. Maksudnya ... Umik bingung mau suruh siapa. Mbok Yem juga tidak ada di ndalem tadi. Daripada Umik berangkat sendiri, lebih baik aku yang berangkat, Kang," jawab Najwa.

"Oh, begitu." Fikri kemudian duduk di gubug tengah persawahan yang luas itu.

Kyai Bukhori, selain pemilik sebuah pesantren dan yayasan, juga dikenal dengan julukan tuan tanah. Tanahnya berhektar-hektar yang meliputi persawahan luas dan perkebunan, juga peternakan sapi yang cukup menggiurkan dengan sistem penggemukan. Tak heran, sebagai santri ndalem, Fikri sering disuruh Kyai Bukhori untuk mengecek sawah dan peternakannya. Apalagi, Gus Banyu yang baru saja lulus dari perguruan ternama Al Azhar Kairo, ingin bernostalgia dengan masa mudanya yang sering diajak Abahnya ke sawah dan peternakan saat punya waktu senggang.

"Kang Fikri makan dulu. Ini sudah waktunya makan siang." Najwa mengeluarkan makanannya yang berada dalam bakul.

Fikri menyeka keringatnya. Walaupun keadaan di sawah sangat panas, tetapi setelah duduk di gubug di pinggiran sawah, hawanya menjadi terasa adem dengan sapaan angin yang sepoy-sepoy. Dengan memandang persawahan yang hijau, hatinya menjadi gembira. Hilang sudah rasa lelahnya. Pantas saja semua petani akan merasakan bahagia saat menikmati hasil jerih payahnya saat mereka memandang hasilnya yang begitu memuaskan.

"Ini, Kang. Ayo dimonggo. Pasti Kang Fikri sudah merasa lapar 'kan? Oh, ya, di mana Gus Banyu, Kang?" tanya Najwa disela-sela mengambilkan makanan untuk pria yang ditaksirnya sejak lama itu.

Najwa sadar kalau cinta Fikri hanya untuk sepupunya, yaitu Annisa. Dia sudah berusaha selalu menepisnya agar tak mencintai kekasih sepupunya itu. Namun, cinta itu tak pernah pupus dari hatinya. Malah semakin menjadi dan menggelora. Kalau Annisa mengikhlaskan cintanya untuk dirinya, maka dengan senang hati Najwa akan menerimanya.

"Gus Banyu sedang melihat peternakannya. Tadi ketemu Lek Atmo saat mencari rumput. Makanya dia langsung ikut Lek Atmo ke kandang," jawab Fikri sembari menyuapkan nasi pertama ke mulutnya siang itu.

"Mungkin ingin bernostalgia, Kang. Setelah lima tahun tidak melihat yang hijau dan menyejukkan mata. Kalau sedang libur semester, Gus Banyu juga pasti langsung ke sawah dan kandang sapinya kalau sudah tak merasa lelah." Mata Najwa tak hentinya memandang Fikri yang sedang menikmati makanannya.

Bak seorang pemuja, tak ingin pemandangan di depannya itu menjadi sia-sia. Dari cara bicara, makan dan semuanya. Tak ingin Najwa lewatkan satu detik pun. Mumpung berada sangat dekat, gadis itu ingin menikmati wajah pria di depannya hingga puas.

"Ya, karena hatinya sudah terpaut dengan desa ini. Desa yang sejuk dengan pemandangan hijau yang menyejukkan mata bagi setiap orang yang singgah. Aku saja betah di sini," papar Fikri sambil memandangi hijaunya persawahan dan mendengarkan suara gemericik air sungai yang bening.

Rasa lelah dan panas tadi saat menyiangi rumput di tengah sawah, kini pupus sudah dengan hanya melihat pemandangan di depannya. Ditambah lagi, makanan yang masuk ke kerongkongan semakin terasa nikmat walaupun dengan lauk yang seadanya.

"Sudah, Kang, makannya?" tanya Najwa sambil membereskan piring serta lauk pauk ke dalam bakul kembali. Dan meletakkannya di samping gubug bagian bawah agar tak menjadi penghalang karena ingin berdekatan dengan Fikri.

"Sudah, terimakasih. Dek Najwa tidak makan?"

"Sudah, tadi bersama anak lain." Najwa tersenyum dengan Fikri yang tak pernah luput dari pandangannya.

Serasa diperhatikan sejak tadi, Fikri agak merasa canggung. Berduaan dengan seorang gadis yang cantiknya imbang dengan Annisa, kekasihnya. Takutnya setan akan menggoda keduanya. Mungkin karena mereka masih sepupu, jadi bentuk wajahnya tidak jauh-jauh amat. Bedanya, Annisa memiliki lesung pipi dan tahi lalat di dagu sebelah kanan yang pada saat tersenyum menjadi tambah manis. Itu yang menjadi daya pikat tersendiri. Saat mereka bertemu pun, Annisa tak seberani Najwa, yang jaraknya membuat hati tambah panas.

"Ehm ... Kang Fikri jadi menikah dengan Annisa tahun ini?" tanya Najwa agar keduanya tak merasa canggung.

"Iya, Dek Najwa. Hubungan kami hampir tiga tahun. Jadi, kami ingin segera menuju jenjang yang lebih serius. Bukankah hal baik itu harus segera dilaksanakan?" Fikri tersenyum pada Najwa. Ada rasa bahagia yang menyelimuti hatinya, terlihat dari wajahnya yang berseri-seri.

"Tapi, Kang ... Kang Fikri 'kan anak tunggal. Apa tidak memikirkan hal lain?" tanya Najwa sangat hati-hati.

"Maksud, Dek Najwa apa, ya?" Fikri menjadi bingung.

"Begini, Kang. Keluarga Kang Fikri pasti menginginkan seorang keturunan, bukan? Padahal Annisa itu menstruasinya juga tidak teratur. Kadang tiga bulan sekali, atau bahkan lima bulan sekali. Biasanya ... seorang gadis yang memiliki siklus menstruasi tidak teratur seperti itu, akan sulit mempunyai keturunan," ungkap Najwa menggoyahkan keteguhan hati Fikri.

"Benarkah demikian, Dek Najwa?" Seketika wajah Fikri murung. Padahal orang tuanya menyuruh Fikri agar cepat-cepat menikah juga karena sangat menginginkan keturunan.

"Iya, Kang. Kebanyakan kasus sulit punya keturunan, juga itu yang menjadi salah satu faktornya. Apa Kang Fikri tidak takut, kalau Annisa itu kedi?"

Fikri semakin kaget karena asumsi yang diberikan oleh Najwa. Pikirannya menerawang jauh ke sana. Ia tak bisa membayangkan kalau gadis yang dicintainya itu menjadi gadis kedi, bukankah itu sangat menjijikkan?

Kedi, dalam sebagian masyarakat jawa di anggap sebagai aib. Kedi menurut sebagian masyarakat jawa adalah seorang gadis yang menstruasinya keluar dari pori-pori rambut dan kulit. Baunya sangat amis melebihi bau darah menstruasi. Bahkan, ada juga yang bercampur nanah.

Fikri masih saja melamun membayangkan apa yang baru saja diungkapkan Najwa. Pandangan matanya tertuju pada hijaunya persawahan. Namun, hawa sejuk nan hijau yang sejak tadi menjadi obat dikala panas mendera, kini sudah tidak ada pengaruhnya sama sekali. Seketika hatinya maju mundur untuk segera menikah dengan Annisa. Bagaimana nanti kalau yang diucapkan Najwa akan menjadi kenyataan.

"Kang." Najwa menyentuh pundak Fikri dengan lembut. Seketika lamunan yang tadi sempat dipikirkan oleh Fikri langsung buyar dan menguar begitu saja.

Fikri menoleh ke arah Najwa. Sangat kaget karena melihat Najwa kini sudah melepas hijab lebarnya. Rambutnya yang hitam pekat dan lurus, serta wajah putih bersih nan cantik menjadi pemandangan indah bagi Fikri. Ditambah lagi leher jenjang yang putih mulus terpampang nyata di hadapannya.

Fikri lelaki normal. Matanya mulai panas melihat sebagian tubuh Najwa yang sengaja dibuka di bagian dadanya yang atas. Tak pernah ia melihat milik Annisa sedikitpun, meskipun itu kekasihnya sendiri. Jangankan melihat wajahnya dari dekat, kalau bertemu saja pasti Annisa menjaga jarak. Annisa memang pandai menjaga dirinya dari siapapun. Karena memang marwah seorang perempuan adalah menjaga dirinya dari pandangan buruk.

"Aku sudah lama mencintaimu, Kang. Mungkin sebelum kamu mengenal Annisa." Najwa membelai wajah Fikri dengan lembut.

Kemudian Najwa semakin mendekatkan tubuhnya ke tubuh Fikri. Tangan kanannya dia sampirkan di bahu pria yang sangat dipujanya itu. Semakin lama, tangan Najwa merambat ke bagian leher Fikri di bagian belakang hingga membentuk pelukan.

"Kang Fikri tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menikahi Annisa. Percayalah, Kang," ucap Najwa dengan lembut. Suaranya terdengar men-sugesti Fikri untuk tidak menikahi sepupunya. Seketika pikiran Fikri kacau dan ambyar tak tahu kemana. Yang ada malah detakan jantung yang terasa dipompa dengan sangat cepat.

Dag dig dug!

Hati Fikri berdesir. Kini bukan wajah Annisa yang ada di pikirannya, karena dia sudah berada sangat dekat berhadapan dengan Najwa hingga membuat semuanya buyar.

"Menikahlah denganku, Kang," ucap Najwa lembut seperti berbisik tepat di telinga Fikri.

Suara itu begitu merdu di telinga Fikri. Tentu saja terdengar seperti itu. Di tengah persawahan dengan angin yang membelai lembut sepoy-sepoy, tak ada seorang pun di sana. Ditambah beribu setan dari segala penjuru yang mendukung dan membisikkan hal indah ke telinga keduanya. Menambah suasana menjadi serasa di surga.

Wajah Najwa yang menyentuh wajah Fikri seakan bagai sengatan listrik yang menjalar kuat, panas. Pria mana yang tak tergoda disuguhi seorang gadis cantik dalam suasana yang sangat mendukung, yang bahkan sudah siap untuk dinikmati surganya.

Ibarat kucing yang disuguhi ikan asin, tanpa berpikir ulang pasti akan segera dimakannya. Begitu juga dengan Fikri yang hanya pria normal biasa, yang tak bisa luput dari godaan setan yang sangat kuat.

"Sentuhlah aku, Kang. Aku ikhlas," pinta Najwa yang sudah merebahkan tubuhnya. Tangannya menarik tangan Fikri untuk segera menikmati surga yang sedang disuguhkannya.

Akal sehat Fikri sudah tak mampu mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang haram dan mana yang halal untuk disentuh. Tanpa berpikir lagi, Fikri mendekati tubuh Najwa yang meminta untuk segera dinikmati keindahannya.

Hijaunya persawahan dan angin yang membelai lembut mengiringi nafsu keduanya yang sudah tak bisa dibendung. Alam dan burung yang berkicau, menjadi saksi kedua insan saling melepas syahwat hingga mereka mencapai puncak surgawi di sebuah gubug pinggir sawah. Tempat yang biasanya untuk melepas penat dan lelah oleh pekerja sawah, kini sudah ternoda karena telah digunakan dua insan untuk memadu cinta.

Barulah Fikri sadar setelah semuanya selesai akan kesalahannya karena telah berbuat hal yang tak senonoh. Tepuk sorak setan sangat senang tertawa terbahak-bahak melihat keduanya telah tersesat karena bujuk rayunya. Mereka berhasil membuat dua insan tersebut menjadi pengikutnya.

"Dek Najwa, maafkan aku," pinta Fikri dalam ketakutan. Takut, mengapa dia tega melakukan tindakan asusilanya pada Najwa.

Gadis yang di hadapannya belum menanggapi permintaan maaf dari Fikri. Najwa masih sibuk membetulkan pakaiannya yang lusuh akibat ulah Fikri kemudian memakai kembali jilbab lebarnya.

"Tidak apa-apa, Kang. Aku melakukan ini semua karena cinta pada Kang Fikri. Kalau kita nanti menikah dengan pasangan masing-masing, kamulah yang sudah menyentuh diriku sebelum suamiku. Kita berdua sudah saling mereguk manisnya apa yang menjadi kebanggaan kita. Karena itu ... sebaiknya kita lupakan kejadian siang ini, Kang," ucap Najwa kemudian berlalu pergi.

Fikri masih melongo menyesali tindakannya. Mengapa sangat mudah dirinya terperdaya setan. Pikirannya kemudian berpetualang, bagaimana nanti kalau Najwa hamil? Padahal, pernikahannya dengan Annisa tinggal menunggu bulan. Dia mengancingkan baju kokonya, kemudian menggeram frustasi akibat perbuatannya.

Sampai detik ini pun, kejadian itu masih menghantui Fikri. Ditambah lagi kabar meninggalnya Haji Maimun, ayahnya Annisa. Bukan hanya penyesalan saja yang menggelayuti pikirannya, melainkan ketakutan yang luar biasa. Pasti nanti dirinya lah yang akan dituding penyebab kematian mantan calon mertuanya itu. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, tak akan bisa diperbaiki kembali.

"Sudahlah, Fikri. Sudah terlanjur, kita tak akan bisa merubahnya kembali. Mau kamu apakan sekalipun, tak akan mungkin membuat keluarga Arif memaafkan kita," ucap Romlah pada anak satu-satunya itu. Berharap kalau Fikri tidak terpuruk lagi.

"Ibumu benar, Fikri. Yang kamu harus pikirkan adalah masa depan kamu dengan gadis itu. Karena kamu sudah melakukannya, maka kamu harus tanggung jawab. Pria sejati, tak boleh lepas dari tanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuat."

Lagi dan lagi, mengingat nama Najwa, membuat hatinya berontak kembali. Rasa bencinya pada gadis itu muncul kembali menguasai hatinya yang menyebabkan rasa bersalah pada Annisa semakin bertambah dalam. Teringat awal dari kejadian tadi sehabis subuh, saat dirinya sudah bersiap-siap akan berangkat ke rumah Annisa untuk melaksanakan ijab kabul pernikahan.

"Kamu sudah siap, Fikri?" tanya Darso yang juga sudah siap-siap akan menuju ke rumah calon besan.

Iring-iringan pengantin memang sudah dipersiapkan sejak semalam suntuk. Para tetangga yang rewang membantu di rumah Darso sampai tidak ada yang bisa tidur. Semuanya sibuk dalam persiapan pernikahan. Semuanya bahagia karena akan meyaksikan kalau pemuda tampan itu akan mengucapkan janji suci kepada Annisa yang cantik si kembang desa.

Mereka semua sudah dikoordinir oleh Dani, adik Darso, bahwa semua pengiring pengantin harus sudah siap jam 6 pagi. Tujuannya agar para tamu undangan Haji Maimun yang menghadiri pernikahan dan Pak Penghulu tidak terlalu lama menunggu. Karena memang sudah diberitahukan sejak awal, waktu melaksanakan ijab kabul harus jam 8 tepat dikarenakan Pak Penghulu akan segera pindah tugas untuk ijab pengantin selanjutnya.

Para tetangga yang hendak mengiring Fikri untuk diantarkan ke pelaminan sudah berada di dalam bus yang disediakan. Semuanya tinggal menunggu calon pengantin keluar dari rumahnya.

"Bune! Kenapa dandannya lama sekali, to? Para pengiring sudah menunggu." Darso melihat kembali jam tangannya.

"Biar Ibu terlihat cantik, Pak." Fikri tersenyum melihat ayahnya yang cemberut karena lama menunggu ibunya.

"Wanita ini, kalau dandan memang lama sekali. Kayak mau fashion show saja. Takut sekali kalau keluar nanti wajahnya gak kayak ondel-ondel." Pak Darso ngedumel sendiri.

Karena dirasa lama menunggu, akhirnya Darso menemui Romlah di dalam kamar. "Bune! Kok malah melamun, to! Ditunggu kok malah nggak keluar-keluar. Itu para tetangga yang akan mengiring Fikri sudah siap."

"Ibu kok tidak enak rasanya, Pak. Ibuk takut sekali kalau ...." ucap Romlah menggantung.

"Kalau apa, Bune?! potong Darso.

"Ah, sudahlah. Nggak apa-apa. Ayo kita berangkat." Romlah menggandeng tangan Darso untuk segera keluar kamar. Namun, dilihat dari wajahnya, sepertinya ada sesuatu yang di sembunyikan.

Darso dan Romlah menggandeng tangan Fikri setelah mereka berada di ruang tengah. "Ayo, Nak, kita berangkat." ajak Romlah dan Darso bersamaan.

Belum sampai mereka keluar rumah, Dani sudah masuk menerobos pintu dengan tergesa dengan panik.

"Mas! Mas Darso!" teriak Dani dengan tergesa memanggil nama kakaknya.

"Ada apa, Dan? Kamu seperti panik begitu." Darso jadi ikut panik. Takut sekali ada kabar yang tidak mengenakkan hati.

"Ada tamu di luar, Mas. Mereka bilang ingin bertemu dengan Mas Darso," ucap Dani yang ikut merasa panik. Ia merasa ada suatu firasat yang tidak baik.

Darso dan Dani segera keluar menuju ruang tamu. Tanpa berucap salam untuk memasuki rumah, tamu yang tadi dimaksud Dani sudah masuk lebih dulu.

"Selamat pagi, Pak Darso," sapa tamu lelaki tersebut dengan wajah yang penuh amarah. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang masih cukup cantik meskipun usianya sudah masuk kepala empat. Wanita itu menundukkan kepalanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel