Bab 3
"Kang Haji kenapa ini?!" teriak Darsih menyebut nama kakak laki-lakinya. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Haji Maimun yang sedang terbaring dalam kerumunan. Rasa khawatir sudah menyelimuti hatinya sejak baru datang dan melihat tamu undangan berkerumun menyebut nama yang punya rumah.
"Pakde Maimun!" teriak Najwa. Diikuti oleh ayahnya, Seno, yang berada di belakang Darsih. Keduanya ikut panik karena melihat kerumunan yang mengelilingi Haji Maimun.
"Abah, Bulek. Abah pingsan," jawab Arif dengan panik.
"Ayo kita cepat bawa ke Rumah Sakit," usul Darsih panik. Dia tahu benar apa sebab keterlambatan datang pada acara pagi ini.
"Sedang menunggu ambulan datang. Coba lihat keadaan Abah, Bulek. Apakah Abah masih baik-baik saja?" pinta Arif pada Darsih. Wajahnya ketakutan kalau terjadi apa-apa pada ayahnya.
Karena permohonan Arif yang sangat terlihat panik, Darsih meraba keadaan tubuh Haji Maimun. Dari sekian banyak orang, tidak ada yang berani bertindak karena Arif tidak meminta pertolongan pada yang lain. Mereka semua hanya ikut panik mengapa ambulance yang ditunggu-tunggu belum juga datang.
Darsih meraba wajah Haji Maimun yang sudah terlihat pucat dan penuh keringat dingin. Tubuhnya masih ada sedikit rasa hangat. Disentuhnya ujung hidung dengan jantung berdebar. Lalu turun ke bawah pada bagian leher serta bagian tangannya untuk memeriksa denyut nadinya. Diulanginya sekali lagi agar ia tak salah menafsirkannya.
Deg!
Sudah dua kali Darsih memeriksa keadaan tubuh kakak lelakinya itu. Namun, hasilnya tetap sama. Sudah tak ada nafas yang keluar dari hidung, serta denyut nadi yang sepertinya juga menghilang. Memang tubuhnya masih hangat, karena itu ia sedikit bimbang.
Panik menguasai hati dan pikiran Darsih, makanya ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Rasa takut juga bersalah sudah menjalar ke seluruh tubuhnya. Bagaimana tidak, kakak lelakinya seperti ini juga karena akibat dari kesalahan keluarganya sendiri.
"Bagaimana, Bulek? Apakah Abah baik-baik saja?" tanya Arif yang wajahnya sudah terlihat pilu tidak karuan.
"Iya, baik-baik saja," bohong Darsih. Padahal keadaannya tidak demikian. Hanya saja ia tak mau salah ucap pada Arif yang sedikit tempramen. Takut kalau mengatakan yang sebenarnya, Arif akan mengamuk saat itu juga. Darsih sangat tahu sifat Arif, pasti nanti akan menyalahkan orang lain tanpa mendengarkan penjelasan lebih dulu.
Ambulance sudah datang tepat di jalan depan rumah. Semua orang pun menyarankan supaya Haji Maimun segera ditindak lanjuti dibawa ke Rumah Sakit. Mereka semua takut semuanya akan terlambat.
"Ambulan sudah datang, Arif. Sebaiknya kita bawa Abahmu segera ke Rumah Sakit," saran Darsih dengan bibir yang terasa kelu. Biarlah nanti dokter yang memberi keputusan setelah diadakan pemeriksaan. Pastinya keponakannya itu akan menerima apa yang nanti akan dokter sampaikan.
"Baiklah, Bulek." Arif mencoba menggendong tubuh ringkih ayahnya, tapi terasa tak mampu. Untuk berdiri sendiri saja seakan tubuhnya hendak roboh. Bukan karena tak kuat menggendong tubuh Haji Maimun, melainkan tubuhnya sendiri lemas seperti tak ada daya karena rasa takut, marah, dan yang lainnya menjadi satu. Serasa seperti kapuk yang terbang dibawa angin.
Darsih yang melihat keadaan tubuh Arif sempoyongan seperti hendak roboh, segera berteriak memanggil suaminya untuk membantu keponakannya itu.
"Kang Seno! Ayo cepat bantu Arif untuk mengangkat tubuh Kang Haji." Darsih meneriaki suaminya.
Bukannya respek, Seno hanya diam tak bergeming. Seperti orang linglung yang pikirannya sedang terbang jauh entah ke mana. Padahal pandangannya terlihat fokus ke depan.
Rupanya Seno sedang melamun. Mungkin dalam hatinya kini sama dengan sang istri, yang juga sedang merasa takut dan bersalah tidak karuan. Namun, ia belum berani mengaku dan mengungkapkannya.
"Kang, ayo cepat!" teriak Darsih lagi hingga Seno tersadar dari lamunannya. Kemudian dengan sigap lelaki itu membantu Arif untuk menggotong tubuh Haji Maimun ke dalam ambulance.
Indah masih menjaga Mak Salamah karena mertuanya belum tersadar juga, sedangkan Dewi masih setia menenangkan hati Annisa. Karena mereka berdua tidak memungkinkan untuk ikut ke Rumah Sakit, Darsih dan Najwa yang mewakili keluarga untuk mengikuti Arif dan Seno yang sudah berada di dalam ambulance.
Para tamu hanya bisa melihat kepergian ambulance. Setelah itu semuanya bubar dengan sendirinya tanpa komando karena acara yang tadinya memang akan menghormati ijab kabul menjadi gagal.
"Jalan cepat, Pak!" pinta Arif pada sopir ambulance. Harapannya besar agar ayahnya segera bisa tertolong.
Darsih terkesiap mendengar permohonan keponakannya itu kepada sopir ambulance. Wanita itu langsung merasa bersalah kembali. Kakak lelakinya begini juga dikarenakan keluarganya, ditambah lagi kebohongan yang harus ia tutupi tentang keadaan Haji Maimun sekarang. Adik macam apa dirinya itu? Sudah menyebabkan kakaknya meninggal, malah berani menutupi keadaannya.
Alasan Darsih hanya satu, karena takut dengan Arif. Apalagi jika Arif nanti tahu sebab-musabab adik perempuannya gagal menikah karena disebabkan oleh keluarganya sendiri. Matilah mereka bertiga di tangan Arif.
Pasalnya, meskipun keponakan laki-lakinya itu paham tentang agama, tapi sifatnya sangat tempramental. Darsih belum mau menanggung resiko yang telah diperbuat anak gadis dan suaminya, meskipun nanti lama-lama juga akan terbongkar. Ibarat menyimpan bangkai, lama-lama bau busuknya juga akan tercium juga.
Seno dan Najwa masih terdiam, wajahnya terlihat tegang dan menyedihkan saat melihat keadaan Haji Maimun. Keduanya tidak seperti Darsih yang tak hentinya meneteskan air mata. Sepertinya mereka berdua merasa takut dengan Arif.
Dirabanya tubuh Haji Maimun dalam ambulance yang sedang menerjang jalan. Sudah sedikit dingin tapi belum begitu kaku. Kalau rasa takut dan bersalah tidak menguasai Darsih, mungkin wanita itu sudah menangis pilu karena kehilangan kakak laki-lakinya itu. Tapi kali ini, dia harus menyembunyikan rasa itu sampai tiba di Rumah Sakit.
Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di Rumah Sakit kecamatan. Kecepatan yang di atas rata-rata dengan bunyi sirine yang dinyalakan, menjadikan kendaraan yang di depannya harus menyingkir karena keadaan darurat. Semua kendaraan pun tahu, mereka pasti mengalah untuk memberi jalan agar cepat sampai ke tujuan.
Ambulance berhenti tepat di depan Rumah Sakit. Arif langsung turun meminta bantuan perawat untuk segera bertindak. "Suster! Tolong bantu Abah Saya!"
Arif panik berteriak memanggil perawat dan dokter di ruang IGD. Karena itu penjaga di IGD langsung bergegas mendorong brankar untuk segera memindahkan pasien yang berada dalam ambulance ke atas brankar.
"Tolong selamatkan Abah saya, Dokter!" pinta Arif dengan perasaan yang sudah campur aduk.
Haji Maimun sudah dipindahkan ke brankar dan sedang di dorong menuju ruang IGD.
"Kami akan segera melakukan tindakan, Pak. Tolong Anda segera tenang dan keluar dari ruangan," ucap Perawat yang sudah siap membantu Dokter untuk melakukan tindakan penyelamatan setelah pasien berada di dalam IGD.
Arif berjalan mondar-mandir di depan ruang IGD. Sedangkan Darsih, Seno, dan Najwa duduk di kursi tunggu. Mereka bertiga masih terlihat sangat panik dan ketakutan.
Di dalam ruangan, dua perawat dan dokter sedang melakukan tindakan.
"Denyut nadinya sudah tidak ada, Dok. Tubuhnya juga sedikit dingin dan sedikit kaku," ucap salah satu Perawat memberitahu.
"Mungkin pasien sudah meninggal di jalan tadi," jawab Dokter.
"Coba kita tes dengan kejut jantung. Siapa tahu masih ada harapan." Dokter meminta perawat untuk mengambilkan alat tersebut.
"Satu, dua, tiga!" Di tempelkannya alat tersebut di dada pasien. Tidak ada reaksi sama sekali. Diulanginya kembali untuk memastikan apakah pasien masih ada harapan atau benar-benar sudah meninggal.
Dokter bergidik di hadapan kedua perawat. "Pasien sudah meninggal. Kira-kira sepuluh menit yang lalu."
"Mungkin keluarganya tidak tahu, atau ... hanya untuk memastikan apakah pasien sudah meninggal atau belum, karena itu dibawa ke sini," balas salah satu Perawat.
Pintu ruang IGD terbuka. Dokter keluar menemui keluarga pasien untuk memberitahukan apa yang terjadi pada pasien. Belum juga dokter berbicara, Arif sudah langsung datang menghampirinya.
"Bagaimana keadaan Abah saya, Dokter?" Arif menunggu apa yang ingin dokter katakan.
"Maaf, Pak. Dengan sangat berat hati kami harus menyampaikan berita ini. Kami tidak bisa menolong pasien karena pasien tidak bisa kami selamatkan. Pasien sudah meninggal, mungkin sejak dalam perjalanan ke sini tadi," ucap Dokter dengan memandang iba pada lelaki yang merupakan anak dari pasien.
Darsih yang mendengar penuturan dokter, merasa sedang diselamatkan. Arif tidak akan menyalahkannya karena dokter mengucapkan bahwa kakaknya meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit.
"Ya Allah, Abah ...!" teriak Arif menghampiri jenazah ayahnya. Diiringi Darsih, Seno, dan Najwa di belakangnya.
"Maafkan putramu ini, Abah. Tak bisa menyelamatkan nyawa Abah." Arif memeluk jenazah ayahnya dengan erat. Ia masih tergugu menyesali dirinya sendiri, mengapa tak bisa gerak cepat untuk segera membawa ayahnya ke Rumah Sakit.
Diusapnya air mata yang membanjiri wajahnya sejak tadi. Setelah benar-benar kering, diciumnya wajah ayahnya yang sudah pucat pasi dan lebih dingin. Bibirnya juga kering dan pucat membiru. Tangan yang belum susah untuk ditekuk, kemudian ia tekuk agar membentuk tangan yang bersedekap. Pertanda sikap sholat dan sudah siap menghadap sang pencipta.
Arif berusaha menyeka air mata yang tak bisa berhenti menyusuri wajahnya. Dia tidak ingin air mata yang keluar malah akan menyakiti ayahnya karena Arif belum mau melepas pelukannya pada pemimpin keluarga yang sangat dihormatinya itu sewaktu masih hidup. Dikarenakan orang yang sudah meninggal, akan merasakan sakit walau terkena setetes air mata. Karena itu Arif sangat berhati-hati.
"Semoga kamu sabar, Nak. Ikhlaskan Abahmu menghadap Illahi dan kembali ke pangkuanNya. Karena sejatinya, semua yang bernyawa akan mati. Dan semuanya akan kembali pada sang pencipta." Darsih mengelus pundak Arif, mencoba menghibur keponakannya itu agar tidak larut dalam kesedihan.
Hanya itu yang bisa Darsih ucapkan. Selebihnya, ia tak mampu berbicara lagi. Kini ketakutan terbesarnya adalah jika nanti Arif mengetahui yang sebenarnya. Darsih tak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahannya.
Seno dan Najwa hanya diam membisu. Karena tak sanggup melihat kesedihan yang menimpa Arif, mereka berdua kemudian keluar ruangan dan memilih duduk di ruang tunggu. Sambil menunggu jenazah Haji Maimun diurus pihak Rumah Sakit untuk dibawa pulang, Najwa mengambil ponselnya di dalam tas. Ia mencoba menghubungi seseorang.
**
Dalam sebuah mobil perjalanan pulang, Darso dan Romlah saling diam tanpa keluar suara. Masing-masing saling memikirkan bagaimana akibatnya nanti dari perbuatan mereka barusan di rumah calon besannya yang gagal. Pasalnya, keduanya dengan jelas melihat kalau Haji Maimun memegangi dadanya yang sepertinya sangat kesakitan.
"Pak, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Haji Maimun? Pasti Arif tidak akan mengampuni kita dan akan terus mengejar kita sampai ke manapun. Aku takut, Pak," ucap Romlah membuka suara.
"Negara kita itu negara hukum, Bune. Kalau dia berani melakukan apa pun pada kita, memangnya dia mau di penjara? Sudahlah, Bu, tak usah berpikir macam-macam. Yang penting sekarang keluarga kita aman dari aib dan ancaman si Seno itu." Darso berusaha menenangkan hati istrinya yang dilanda kegelisahan.
"Tetap saja aku takut, Pak. Arif itu berani sama siapa pun. Dia juga sangat tempramen. Bisa saja dia mengusik keluarga kita dengan segala cara nantinya." Romlah masih saja ketakutan.
"Bu, Bune jangan berpikir terlalu jauh. Kita pikirkan saja langkah kita selanjutnya." Darso menepuk bahu istrinya itu dengan lembut.
"Tapi, Pak," sanggah Romlah.
"Tidak ada tapi-tapian. Kita sudah sampai, ayo turun." Ajak Darso pada istrinya. Tidak mau mendengar ketakutan Romlah lagi yang seperti orang paranoid.
Padahal sudah sampai di depan rumah, tapi Romlah tidak berasa. Mungkin karena sejak tadi dia kepikiran tentang kejadian di rumah calon besannya yang gagal. Aneh saja, dia sudah menumpahkan segala uneg-uneg di kepalanya, tapi mengapa justru rasa khawatir yang menyelimuti hatinya. Bahkan rasa ketakutan juga mulai menjalar di hati dan pikirannya.
"Sudah pulang, Pak. Bagaimana keadaan keluarga Nisa sekarang?" tanya Fikri merasa khawatir setelah kedua orang tuanya memasuki rumah.
Tak bisa dipungkiri kalau Fikri masih begitu mencintai gadis yang selalu dipujanya. Mengikat percintaan dalam waktu hampir tiga tahun bukanlah waktu yang singkat. Pasti butuh waktu lama untuk melupakan cinta pertamanya itu. Namun, cita-cita ke pelaminan dengan gadis idamannya kini harus gagal karena kesalahan dirinya sendiri.
"Baik-baik saja. Mereka bisa menerima alasan Ibumu, mengapa harus membatalkan pernikahan kamu dengannya," jawab Darso bohong. Dia tidak mau ada banyak pertanyaan selanjutnya dari putranya.
"Benarkah, Bu?" Merasa tidak puas dengan jawaban ayahnya, Fikri ingin mendengarkan dari penuturan ibunya. Benarkah Annisa bisa dengan rela pernikahannya dibatalkan.
"Iya," jawab Romlah singkat. Ia juga tak mau dihujani pertanyaan lagi yang membuat hatinya kembali ketakutan.
"Lalu ... bagaimana keadaan Nisa sendiri, Bu?" Fikri masih saja mencecar pertanyaan yang tak jauh dari sebelumnya.
"Sudahlah, Fikri. Ibu pusing mendengar pertanyaanmu. Lebih baik kamu persiapkan diri untuk segera menikahi gadis itu! Toh Keluarganya juga lebih baik dari keluarga Annisa. Dan satu yang pasti, kamu tidak akan mati muda," berang Romlah mendapati pertanyaan yang berhubungan dengan gadis yang dianggapnya pembawa sial itu.
"Bu! Apa yang ada di pikiran Ibu hanya sebatas materi saja?! Lagian, soal rejeki, jodoh, dan mati itu bukan urusan kita. Itu mutlak milik Allah, Bu!" sentak Fikri berang terhadap ibunya.
"Tak usah menggurui orang tuamu yang sudah banyak makan garam ini, Fikri! Memang semua urusan Tuhan, tapi tidak luput dari manusia itu sendiri. Dan satu lagi, masalah gagalnya pernikahanmu itu bukan kesalahan kami sebagai orang tuamu! Tapi itu semua kesalahanmu sendiri! Kami hanya mencoba mencari solusi dan menutup aibmu. Ingat itu, Fikri!" Romlah marah karena merasa telah digurui oleh anaknya sendiri.
Romlah pikir, Fikri itu siapa? Hanya seorang anak yang masih dalam naungan orang tuanya. Sekolah atau mondok juga dibiayai orang tua. Tidak sepantasnya berani menggurui orang tua yang seharusnya dihormati segala keputusannya.
Fikri tak berani bertanya lagi. Ia tak mau kalau masalahnya dengan Nisa hanya akan menjadi perdebatan yang tiada akhir. Lebih baik mengalah dengan yang lebih tua.
'Maafkan aku, Nisa. Maafkanlah segala kesalahanku padamu,' rintih Fikri dalam hatinya.
Fikri sangat merasa bersalah pada gadis sebaik Annisa, yang menurutnya bagai bunga di tepi jurang, sangat susah mendapatkan hati kembang desa tersebut. Giliran hati dan cintanya sudah terpaut dengan Annisa, dengan kejamnya Fikri malah menghempaskannya begitu saja. Ditambah lagi, alasan pembatalan pernikahannya itu hanya karena suatu kepercayaan yang dianut sangat erat dalam masyarakat.
Ditengah keterpurukan dan rasa bersalahnya kepada Annisa, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sekilas tampak jelas kalau panggilan itu berasal dari gadis yang kini sangat dibencinya.
"Ya, ada apa?"
[Kang, aku akan menyampaikan berita duka. Pakde Maimun telah tiada.]
Mendengar berita tersebut, Fikri langsung meletakkan ponselnya. Kemudian menangis sambil terduduk. Hatinya semakin hancur bagai tersayat seribu belati. Sakit sekali tapi tak berdarah. Berita duka yang ia dengar barusan, bagai seribu anak panah yang menghujam bagian dadanya.
Jlep!
Menusuk jantung, seakan detaknya langsung berhenti. Romlah yang mendapati anaknya sedang sesenggukan mengeluarkan air mata, langsung mendekati Fikri.
"Ada apa, Fikri?" Romlah menyentuh punggung putranya dengan lembut.
"Abahnya Annisa telah tiada. Aku telah membunuh Haji Maimun, Bu. Beliau meninggal gara-gara aku! Aku penyebab semuanya!" Arif menjerit dalam tangisan yang tiada henti.
Romlah yang mendengar berita duka tersebut, juga ikut merosotkan tubuhnya ke lantai. Begitu juga dengan Darso yang sedang duduk di sofa, juga tertunduk lesu. Keduanya membayangkan bagaimana nanti jika Arif akan menuntut balas atas apa yang sudah terjadi pada ayahnya. Mereka berdua tak bisa membayangkan kalau Arif yang tempramental itu akan mendatanginya dengan amukan yang membuat keadaan semakin memburuk.
"Annisa, Pak Haji ... maafkan kesalahan fatal yang aku lakukan," ucap Fikri masih dengan tangisan yang tiada henti. Ia bahkan mengusap air matanya dengan jarinya beberapa kali.
Dalam tangisannya, pikirannya tertuju pada nama seorang gadis yang kini sangat dibencinya. Ingatannya terlempar pada kejadian dua bulan yang lalu yang selalu mengganggu pikirannya sampai kini dan selalu dirutukinya setiap saat.
"Najwa ...! Aku benci kamu!" teriak Fikri dengan gigi gemerutuk.
