Bab 2
"Ada apa dengan adikku? Adikku kenapa? Jangan macam-macam Njenengan, Bu Romlah. Jangan menyebar fitnah yang membuat orang menjadi tersugesti dengan ucapan Njenengan." Arif terlihat berang dengan gigi gemelutuk. Terlihat sekali kalau urat lehernya mengencang.
"Kami tidak asal ngomong atau asal tuduh, Nak Arif. Apalagi asal fitnah. Kami dari keluarga terhormat, tidak mungkin melakukan itu." Darso membela istrinya.
"Terhormat, Njenengan bilang?! Orang yang terhormat tidak akan melakukan hal yang bisa menjatuhkan harga diri orang lain. Orang yang terhormat juga tidak akan memutuskan perkara sebelah pihak dan meninggalkan tanpa kejelasan dan tanggung jawab. Ingat itu! Dan satu lagi, orang yang terhormat juga tidak akan percaya pada omongan orang lain tanpa menyelidiki lebih dulu kebenarannya. Karena antara terhormat dan bijaksana hanyalah beda tipis." Arif menarik kerah kemeja batik yang Darso kenakan.
"Lepaskan suami Saya!" Romlah berusaha menarik cengkeraman tangan Arif dengan kasar.
"Arif, lepaskan, Nak! Tidak baik bersikap kurang ajar kepada tamu. Abah tidak pernah mengajarimu untuk melawan kepada orang tua dan bertindak menggurui bagaimanapun tingginya ilmu yang kamu punya. Ingat, Nak, adab itu lebih tinggi dari pada ilmu," ucap Haji Maimun dengan masih memegangi dadanya. Napasnya sudah semakin tersengal-tersengal.
"Dengarkan ucapan Ayahmu, Nak Arif. Tidak boleh kurang ajar terhadap orang tua," ucap Romlah sinis mengulangi ucapan Haji Maimun.
"Bukankah sama dengan anak Panjenengan, Pak Darso yang terhormat. Yang tidak bisa menghormati komitmennya sendiri. Lebih-lebih bersembunyi dibalik ketiak orang tuanya dan tidak bisa bertanggung jawab pada keputusan sendiri. Cemen sekali anak panjenengan. Kalau berani, kenapa tidak datang sendiri?" sindir Arif sembari membetulkan kemeja Darso yang sudah lusuh dibuatnya.
Akhirnya Arif melepaskan cengkeraman tangannya sendiri dengan mengusapkan jari tangan ke celananya, membuat Romlah dan Darso merasa tersindir. Seakan merasa jijik telah menyentuh bagian tubuh Darso.
"Itu lebih baik, Nak Arif. Dari pada anak kami harus kehilangan nyawa setelah menikahi Annisa. Karena anak kami lebih penting dari pada harus kami tukarkan dengan adik perempuanmu pembawa sial itu. Kami tidak mau menyesal di kemudian hari," balas Romlah sengit. Beliau tak mau kalah dengan Arif yang baginya hanya anak yang masih bau kencur. Ia merasa lebih banyak makan garam kehidupan dibandingkan Arif yang baru disapih oleh ibunya.
"Ucapkan dengan lantang, Bu Romlah! Tidak usah bertele-tele. Biar semua orang tahu, apa yang menjadi kesalahan adik perempuanku pada anak kesayangan Panjenengan yang tak tahu diri itu." Arif kembali mencapai puncak amarah.
"Tanyakan saja pada Ibumu! Pasti Mak Salamah tahu apa penyebabnya. Tidak baik kami mengumbar aib di hadapan para tamu," Romlah merasa tinggi hati, jiwanya terbang melayang bak disanjung ribuan pemuja.
Perempuan paruh baya yang masih memperhatikan penampilan itu merasa menang. Bahkan sejak tadi tidak merasa telah membuat kesalahan dan melukai banyak hati. Ia membusungkan dadanya dengan senyuman sinis. Terukir di wajahnya yang memang masih ayu walaupun usianya hampir menginjak kepala lima.
Karena ucapan Romlah, semua mata memandang keberadaan Bu Salamah berada. Dari mulai Arif, Haji Maimun, Annisa, Dewi, juga para tamu undangan lainnya. Mereka semua memandang dengan mata yang menyiratkan sebuah pertanyaan yang berkaitan dengan ucapan Romlah barusan. Apakah ucapannya itu benar atau hanyalah fitnah belaka.
Tubuh Mak Salamah beku ditatap banyak pasang mata. Bibirnya mengatup tak mampu bicara melawan Romlah. Wajahnya pucat pasi memandang calon besan yang gagal.
Auranya yang kaget menyiratkan bahwa apa yang diucapkan Romlah adalah benar adanya, bukan sekedar bualan apalagi fitnah.
Annisa yang melihat wajah ibunya yang seperti ketakutan, kini sudah tak kuasa untuk duduk. Hendak menghampiri ibunya pun, ia sudah tak mampu.
Tubuhnya lemas tak berdaya, ambruk. Untung saja Dewi dengan cepat dan tanggap menangkap tubuh mungil Annisa yang sudah berpeluh dengan keringat dingin. Jiwanya telah kosong serasa dibawa semilir angin, terbang entah ke mana.
"Pernikahan bahagia yang aku impikan dengan Kang Fikri, telah gagal, Wi. Semuanya gagal," ucap Annisa dengan menopangkan tubuhnya di tubuh Dewi, lemas tak berdaya. Air matanya sudah luruh sejak tadi dan tak mau berhenti. Make up nya telah lusuh.
"Mbak Nisa yang tenang, ya. Istighfar, Mbak. Banyaklah beristighfar. Biar Allah yang memberi jalan," hibur Dewi di kala Annisa menangisi nasibnya.
Ibarat api yang sedang berkobar, air pun tak bisa menahannya. Bahkan madu yang manis pun tak bisa menjadi penawar pahitnya empedu.
Hati Annisa sudah terkoyak porak-poranda disebabkan badai yang diciptakan oleh Fikri dan orang tuanya. Bagai kepingan puzzle, sudah tak bisa merekat kembali. Tentang rasa malu, jangan ditanya. Kalau ia bisa menghilang seperti siluman, sudah saat itu juga ia menghilang dari ramainya para tamu.
Haji Maimun tak menyangka kalau istrinya telah mempunyai rahasia selama ini. Hebatnya, Mak Salamah tidak pernah mengatakan apa pun pada suaminya. Jika memang benar-benar ada rahasia, sungguh istrinya itu sangat pandai menyimpan bangkai.
Karena keadaan itu, Haji Maimun tambah kian terpuruk. Dengan diamnya Mak Salamah itu sudah menunjukkan jawaban yang diminta. Berarti benar adanya tentang semua ucapan yang dituduhkan oleh Romlah.
Keterpurukan memikirkan nasib putrinya yang kini berada pada ambang kehancuran dan malu yang luar biasa karena pernikahannya yang gagal, membuat tensi Haji Maimun kala itu langsung naik dan napasnya semakin tak beraturan.
Ditambah lagi kini beliau tak mengerti alasannya yang pasti. Mau bertanya saat itu juga pada istri, waktunya juga kurang tepat dan tidak sopan. Bukankah masalah pribadi lebih baik dibicarakan nanti saat kumpul keluarga?
"Kenapa kamu diam saja, Nak Arif. Apa yang saya katakan adalah benar adanya. Kalau salah, pasti Ibumu akan menyangkalnya. Nyatanya Ibumu diam, bukan? Itu pertanda bahwa pernyataan kami adalah benar," ucap Romlah di tengah-tengah keluarga yang tadinya akan menjadi besan.
"Apa Njenengan tidak bisa diam?! Silahkan Njenengan berdua pergi dari sini! Atau memang kalian senang menonton pertunjukan ini?! Pergi! Silahkan pergi lewat pintu mana yang kalian suka. Pergi ...!" Arif berteriak kepada Romlah dan Darso untuk mengusirnya. Berharap kedua makhluk pembuat onar tersebut segera enyah dari rumahnya.
"A-Arif ... cukup, Nak," ucap Haji Maimun terbata.
"Kami memang mau pergi karena ini bukan tempat kami. Ayo, Pak, kita segera pergi," ajak Romlah pada suaminya. Kemudian mereka berdua meninggalkan rumah Mak Salamah dengan perasaan senang dan menang karena telah bebas dari kesialan yang mereka anggap.
Sedangkan Annisa masih saja menangis dan terpuruk di samping Dewi. Matanya kadang terbuka kadang terpejam. Begitu juga dengan Mak Salamah yang hampir ambrug. Untungnya Indah dengan sigap langsung menopang tubuh mertuanya itu.
"Astaghfirullohaladzim ..., Mak!" Indah dengan sigap menangkap tubuh Mak Salamah. Saat diberi tahu oleh orang-orang yang hadir, Indah langsung menuju tempat yang seharusnya menjadi tempat bersejarah bagi adik iparnya. Tidak peduli dengan beberapa orang tamu yang masih harus ia temui, langsung saja Indah lari.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Mak? Kenapa bisa sampai seperti ini?" tanya Indah pada mertuanya dengan lembut.
Namun, bukan jawaban yang diberikan. Melainkan hanya gelengan kepala Mak Salamah tanpa berucap apapun. Beliau hanya diam tanpa mampu menjawab dengan linangan air mata yang terus mengalir.
'Ya Allah Gusti kang agung ... apa yang aku takutkan selama ini telah menjadi nyata. Mengapa nasib setega ini pada putriku?' batin Mak Salamah ingin berteriak dengan ribuan ucapan. Akan terapi kenyataannya bibirnya masih saja mengatup tak mampu bicara. Hanya air mata yang mewakili perasaannya yang ikut hancur saat itu, menyaksikan putrinya jadi tontonan para tamu karena malu.
Ibu mana yang tega melihat putrinya hancur dipermalukan? Kalaupun bisa, pasti semua ibu di dunia ingin menggantikan posisi anaknya yang sakit. Jangankan hanya rasa sakit, nyawa pun bisa dengan senang hati akan ditukarnya demi anak tercinta.
Kini para tamu undangan yang menyaksikan pun hanya saling diam melihat sebuah drama yang penuh dengan tangis dan air mata. Namun, rasa penasaran masih menggelayuti pikiran mereka semua atas sebab apa pernikahan sang kembang desa kandas di tengah jalan. Padahal mereka adalah pasangan yang paling serasi. Sungguh, semuanya ingin melihat pasangan tersebut bersanding di pelaminan dengan disalami banyak tamu.
"Maafkan kami, Pak Penghulu. Panjenengan sudah menunggu mempelai pria dari tadi, dan pada akhirnya gagal pula," ucap Arif yang kala itu terlihat tegar, padahal hatinya sedang hancur berkeping-keping. Karena kalau dia juga ikut terpuruk, siapa lagi yang akan bisa mengkondisikan semuanya.
"Tidak apa-apa, Pak Arif, Pak Haji. Saya mengerti dengan keadaan ini. Karena waktu sudah hampir siang, saya juga ada jadwal lain, saya mohon ijin untuk pamit. Pastinya saya sudah ditunggu oleh yang lain." Pak Penghulu bersalaman dengan Arif juga pemilik rumah, Haji maimun. Kemudian beliau berpamitan. Pada para tamu undangan, beliau menangkupkan kedua tangannya secara sopan dengan sedikit senyum karena tidak mungkin menyalami mereka semua satu persatu.
Kepergian Pak Penghulu meyakinkan hati Haji Maimun bahwa pernikahan putrinya benar-benar kandas sudah. Selesai sampai di sini. Seribu ungkapan yang ingin beliau teriakkan hanya berputar mengelilingi kepalanya tanpa bisa keluar dari bibirnya.
Air mata yang sejak tadi ditahannya kini menetes dengan rasa sakit yang tiada tara di ulu hati. Tak pernah beliau menangis sedikit pun kala mendapat masalah atau ujian apapun. Namun, kali ini hatinya begitu tersayat melihat putrinya dipermalukan dengan cara tidak hormat.
Beribu pikiran bersemayam dalam kepalanya tentang apa yang nanti terjadi setelah ini. Hingga pada akhirnya Haji Maimun ambrug dengan tangan yang memegang dadanya yang sakit, dengan napas yang sangat sulit. Seakan-akan napasnya hanya tinggal separo di ujung dada.
"A-Arif ... Ni-Nisa ...." Haji Maimun tersengal sangat sulit bernafas memanggil kedua anaknya.
Arif yang masih memandangi kepergian Pak Penghulu kemudian menoleh karena namanya disebut meski sangat lirih. "Abah! Ya Allah Gusti, Abah! Indah, ambilkan inhaler milik Abah, cepat!" Arif berteriak melihat ayahnya yang sudah tersengal-sengal tak bisa napas.
Indah yang kala itu sedang menopang tubuh Mak Salamah, langsung saja merebahkan tubuh ringkih itu kemudian mencari alat semprot napas untuk mertuanya. Ia lari menuju kamar mertuanya mencari benda yang dimaksud.
Karena teriakan Arif yang menggelegar, Mak Salamah mencoba berdiri dengan sempoyongan kemudian berjalan menghampiri Annisa yang masih saja lemas tak berdaya dipangkuan Dewi.
"Abahmu, Nisa. Bangun, Nduk, lihat Abahmu." Mak Salamah mengajak Dewi untuk menuntun Annisa segera.
"Ayo, Mbak Nisa. Lihat Abah yang di sana." Dewi segera menuntun Annisa yang tubuhnya masih lemas. Namun, demi melihat Abahnya, ada sedikit tenaga yang membuat Annisa cepat berdiri dan berjalan menuju Haji Maimun berada.
"Indah! Cepat inhaler-nya, Indah!" teriak Arif memanggil istrinya agar segera menemukan alat semprot napas milik ayahnya.
Indah yang mendengar teriakan suaminya, semakin tambah panik. Barang yang dicari pun seakan menghilang, bersembunyi entah kemana saking paniknya. Matanya tak fokus, begitu juga pikirannya. Ia mencoba mencari barang tersebut tapi tak kunjung jua menemukannya.
Mak Salamah, Annisa dan Dewi yang sudah berada di dekat Haji Maimun sudah menangis melihat keadaan yang sungguh memilukan.
"Dewi! Cepat bantu Mbak Indah mencari inhaler-nya Abah!" perintah Arif.
Dewi pun langsung berlari menuju kamar milik Haji Maimun dan Mak Salamah. Ia melihat Indah yang masih mencari barang tersebut dengan panik.
"Wi, tolong bantu carikan obat semprot itu!" teriak Indah melihat Dewi masuk.
Keduanya sama-sama panik. Namun, Pikiran Dewi masih terkendali sehingga fokus dan dengan cepat menemukan obat tersebut.
"Ini, Mbak Indah. Sudah ketemu," ucap Dewi setelah menemukan obat tersebut di laci kamar.
Padahal Indah sudah mengobrak-abrik tempat Dewi menemukan obat tersebut. Tapi entah mengapa dari tadi hanya muter-muter tidak ketemu. Sudah menjadi hal biasa kalau mencari benda dalam keadaan panik, mata pun jadi tak melihatnya.
"Indah! Dewi!" teriak Arif lagi. Kemudian Indah dan Dewi segera lari menuju Haji Maimun berada. Jarak yang biasanya dilalui dengan cepat pun, dalam keadaan panik dan darurat menjadi serasa kiloan meter. Berjalan lambat sekali seperti siput.
Saat Indah dan Dewi tiba, Haji Maimun dalam keadaan sungguh memprihatinkan. Wajahnya meringis menahan sakit di bagian dada, bibirnya pucat serta keringat dingin yang keluar sampai bajunya basah. Nafasnya tersengal-sengal naik turun tak beraturan. Mak Salamah dan Annisa sudah menangis kejer melihat orang yang paling dihormatinya dalam keadaan sekarat.
Arif langsung menyemprotkan obat napas tersebut ke mulut ayahnya beberapa kali. Namun, sepertinya obat tersebut sudah tak berfungsi lagi. Tubuh Haji Maimun seakan tak mau menerima obat tersebut, entah kerena terlalu lama menunggu obat tersebut ditemukan atau memang ada faktor lain.
"Abah!" Annisa menjerit melihat keadaan ayahnya. Ia memegangi tangan Haji Maimun serta menciumnya beberapa kali hingga tangan ayahnya basah oleh tangisan Annisa.
"Ni-Nisa putriku," ucap Haji Maimun terbata dengan tangan membelai wajah Annisa. Matanya memandang nanar sang putri tercinta.
"A-Arif putraku," ucapnya lagi dengan kepayahan memanggil nama anak lelakinya. Serasa ada sesuatu yang ingin diucapkan tapi tak mampu.
Setelah menyebut nama kedua anaknya, belaian tangan di wajah Annisa semakin lama semakin merosot turun. Tangan Haji Maimun semakin lama semakin lemah tak berdaya dan jatuh menimpa di atas tubuhnya sendiri. Deru nafas yang memburu tak terdengar lagi. Matanya terpejam, bibirnya mengatup.
"Abah ...!" jerit histeris semua keluarga yang berkumpul mengelilingi Haji Maimun.
Tamu undangan pun ikut mendekat karena jeritan keluarganya. Seketika di sekeliling Haji Maimun berbaring, penuh dengan orang-orang yang ingin melihat keadaannya. Mereka semua menatap dengan iba dan trenyuh, bahkan sebagian mengelus dadanya masing-masing. Tak tega melihat drama keluarga yang baru disuguhkan. Sebagian dari mereka ikut menangis.
"Abah! Tolong panggilkan ambulan untuk Abah!" jerit Arif histeris meminta tolong pada tamu undangan yang hadir.
Kebetulan salah satu tamu yang hadir adalah seorang perangkat desa yang bisa menyetir. Tak perlu lama langsung tancap gas berlari mengambil mobil ambulance untuk membawa Haji Maimun ke Rumah Sakit.
Annisa sudah menangis kejer sampai berguling hingga baju pengantin yang masih dipakai menjadi sangat lusuh. Karena masih menggunakan siger di bagian atas jilbabnya, Dewi langsung mencopot siger tersebut karena menghalangi Annisa. Mak Salamah yang sudah pingsan langsung di rebahkan di samping Indah.
"Astaghfirullohaladzim ... istighfar, Mak. Nyebut, bangun Mak." tutur Indah seraya mengipasi tubuh mertuanya dengan jari tangan.
"Abah! Emak!" Annisa menjerit melihat kedua orang tuanya tergeletak tak berdaya. Kalau saja hanya memikirkan masalah hatinya dan tidak memikirkan keadaan keduanya, mungkin Annisa sudah ikut pingsan. Namun, dirinya masih sadar diri bahwa kedua orang tuanya lebih membutuhkannya. Jadi Annisa berusaha kuat setegar mungkin mendampingi kakak lelakinya, Arif.
Tidak ada yang tidak terisak dan trenyuh melihat kejadian itu. Semuanya dari tamu undangan dan para ibu-ibu yang rewang di hajatan, berhamburan keluar menangis melihat keadaan sohibul hajat. Akankah tenda pengantin segera berganti dengan tenda kematian?
"Ya Allah Gusti, Kang Haji!" teriak seorang perempuan paruh baya seumuran Mak Salamah. Dia berlari sambil menangis sesenggukan. Sedangkan di belakangnya berjalan seorang gadis bersejajar dengan sang ayah mengiringi langkah sang ibu.
Semua orang yang hadir menoleh ke arah datangnya mereka bertiga, kemudian minggir memberi jalan.
