Bab 5
Karim mengambil secarik kertas yang dia yakin ditinggalkan Shifa kala gadis itu menghilang saat dia bangun pagi tadi. Apartemennya sudah dia rapikan setelah pulang dari lab, sehingga setidaknya pergumulan mereka kemarin tidak terlihat dari berantakannya apartemen.
‘Saya ada kelas pagi, Mas Karim, jadi saya izin balik duluan. Kalau Mas ada perlu bisa kontak nomor saya. Saya juga masakkan nasi dan telur untuk makan pagi Mas.’
Karim mengembuskan napas berat. Nasi dan telur itu adalah makanan yang dia makan tadi pagi karena dia nyaris telat berangkat kelas. Dia tidak tahu apakah itu hanyalah salah satu permainan Shifa atau gadis itu memang peduli. Di sisi lain, hanya telur dan beres yang masih ada di stok makanannya di apartemen ini. Karim mengetikkan nomor Shifa di kertas itu dan menelponnya.
“Dengan siapa ya?” suara Shifa terdengar di seberang setelah mereka bertukar salam.
“Karim,” jawab Karim dingin. Karim bisa mendengar samar suara Shifa yang terkejut dan langkah Shifa seakan menjauh dari keramaian.
“Ya Mas? Ada apa Mas?” tanya Shifa. Karim penasaran kenapa Shifa menjauh.
“Aku ingin bertemu denganmu. Kita bertemu di apartemenku,” jawab Karim datar. Shifa tidak langsung memberikan jawaban.
“Saya tidak masalah, tetapi Mas yakin?” tanya Shifa kepada Karim. Karim tiba-tiba merasa bimbang sendiri. Mengetahui sisi liar Shifa membuat Karim tidak yakin dia bisa mengendalikan dirinya jika bertemu Shifa, apalagi jika mereka hanya berdua. Masalahnya, perkara mereka tidak bisa dibicarakan di ruang publik. Jika ada yang mendengar, bisa berbahaya.
“Tidak ada pilihan soal ini. Kalau di luar, aku tidak tahu siapa yang akan mendengar,” jawab Karim lagi pada akhirnya.
“Mas, saya akan mengingatkan saja kalau Mas masih punya Mba Cahaya. Kalau memang Mas mau bertemu di sana, saya akan kabulkan. Kapan?” tanya Shifa kepada Karim. Karim mengingatkan dirinya bahwa Cahaya ingin mendengar cerita darinya, yang bahkan dia tidak tahu harus merangkai apa kepada Cahaya besok.
“Hari ini. Kapan kamu bisa?” tanya Karim.
“Saya bisa sekarang, Mas,” jawab Shifa di seberang, “Kelas saya baru selesai 15 menit yang lalu,” lanjutnya. Karim tampak bimbang, tetapi akhirnya mengembuskan napas berat.
“Baiklah. Aku akan tunggu di depan apartemen,” jawab Karim.
Shifa memutus sepihak panggilan itu. Karim merasa dia tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Ini salahnya yang membuat situasi yang kelak akan berlarut-larut. Karim mencoba menenangkan dirinya. Dia harus memikirkan apa yang akan dia bicarakan dengan Shifa terlebih dahulu.
Tiba-tiba, ingatannya terkait pergumulan tadi malam kembali merusak fokusnya. Shifa yang sensual, memancing hasratnya, terlihat jernih di matanya. Karim menggelengkan kepalanya, menghapus pemikiran gila yang kembali muncul di benaknya. Dia harus bisa berpikir dengan jernih.
“Aku harus memikirkan dengan baik apa yang ingin aku bicarakan kepada Shifa. Masalah ini tidak boleh berlarut-larut,” gumam Karim. Pria itu pergi ke toilet untuk mencuci muka. Pikirannya sedikit lebih jernih sekarang.
“Intinya, aku harus mencukupkan sekali saja terjadi. Tidak boleh ada yang kedua,” ucap Karim kepada dirinya sendiri. Lebih baik dia memberikan nilai bagus kepada Shifa, tetapi tidak mengkhianati Cahaya dengan menjamah gadis muda itu.
Hanya saja, sebagian pikirannya menentang ide itu. Pikirannya yang lain menginginkan Shifa berada dalam genggamannya sepenuhnya. Karim menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau mengikuti jalan pikiran buruknya itu.
Pikiran itu menghasutnya lagi dengan mengingatkan pergumulannya tadi malam. Suara Shifa yang indah, dengan segala rayuan dan sentuhan maut gadis itu. Karim memukul dinding di samping cermin yang ada di depannya.
“Aku tidak akan melakukannya lagi!” teriak Karim. Dia tidak ingin kembali mengejar nikmat terlarang itu. Karim ingin memilih hanya Cahaya satu-satunya bagi dia.
Karim mengembuskan napas berat. Pria itu kembali mencuci muka dan kemudian dia memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Dia harus menghadapi Shifa dan menyelesaikan masalah mereka. Dia tidak ingin pembicaraan hanya melalui telepon. Dia ingin percakapan empat mata menyelesaikan masalah mereka.
Karim duduk lama di lobby, hingga akhirnya sebuah suara menyadarkannya dari renungannya sendiri. Saat dia menaikkan pandangannya, gadis yang mengacaukan pikirannya masuk ke netranya.
“Maaf Mas. Apakah saya mengganggu Mas?” tanya Shifa yang membuat Karim menggelengkan kepalanya. Karim mengakui, Shifa terlihat biasa saja dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya itu.
“Tidak, Dik Shifa,” jawab Karim. Pria itu lalu berjalan menuju lift, dengan Shifa mengikuti di belakangnya. Mereka berdua masuk ke dalam lift dan Karim mengeluarkan kartu aksesnya untuk memungkinkan dia menekan lantai unitnya.
“Apa yang ingin Mas bicarakan?” tanya Shifa kala lift itu menutup begitu Karim selesai menekan tombol lantai unit miliknya. Karim agak terkesiap, lalu berdehem untuk menetralkan emosinya.
“Soal permintaanmu kemarin,” jawab Karim. Lift itu terus melaju ke lantai unit Karim berada.
“Apakah Mas mau mengubahnya? Saya kira kita punya kesepakatan,” komentar Shifa. Karim menjadi bimbang. Pikiran jahat Karim mulai menawarkan untuk tidak membatalkan kesepakatan yang mereka buat saat pergumulan mereka.
“Bukannya perubahan yang menguntungkan bagimu justru lebih baik?” tanya Karim kepada Shifa. Shifa menaikkan alisnya. Gadis itu tidak menduga Karim akan membuat penawaran baru tepat sehari setelah pria itu menerima penawaran konyolnya.
“Bagaimana saya tahu kalau itu menguntungkan saya?” tanya Shifa datar. Karim kesulitan merangkai kata-kata. Seharusnya, ini tidak sulit bagi Karim. Hanya saja, semua memori tadi malam membuat dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata itu.
Jika dia mengatakan dan Shifa menyetujui, Karim melepas buah terlarang yang telah dia petik. Hatinya merasa enggan untuk melakukan itu, meskipun nalarnya mengatakan bahwa dia harus melepaskan. Shifa dapat menghancurkan hubungannya dengan Cahaya. Dia dan Cahaya akan menikah setelah lulus. Kedua orang tua mereka telah menyetujui mereka untuk menikah setelah setidaknya salah satu lulus.
Meskipun Karim dan Cahaya telah bergumul satu dengan lain, mereka pun berhati-hati karena mereka sama-sama menyadari bahwa mereka belum resmi. Mungkin itu yang membatasi petualangan mereka bersama. Hanya saja, jika dikatakan bahwa Karim tidak pernah melampiaskan di dalam Cahaya, itu adalah kebohongan.
Akan tetapi, Shifa berbeda dengan Cahaya. Hubungan ini lahir dari relasi yang bisa dikatakan untuk kepentingan mutualisme. Dikatakan mutualisme pun sebenarnya Shifa yang mengincar keuntungan tertentu, tidak lebih. Karim dibuat mabuk oleh gadis itu hingga dia merasa diuntungkan. Shifa mengeksplorasi tanpa ada sekat batas seperti dengan Cahaya. Karim menggilai eksplorasi itu.
Lift itu tiba di lantai unit Karim. Mereka berdua keluar dan Karim memiimpin jalan menuju unitnya. Shifa yang menantikan jawaban tidak berkomentar hingga mereka berdua berdiri di depan pintu masuk apartemen.
“Apa Mas memikirkan ulang penawaran Mas?” tanya Shifa kepada Karim. Intonasi gadis itu datar, tetapi itu membuat Karim merasa telinganya hangat seakan dia mendapatkan bisikan seperti malam kemarin.
Karim membuka pintu unit apartemennya, “Aku jujur kehilangan kata-kata,” komentar Karim pada akhirnya. Shifa menaikkan sebelah alisnya.
“Kenapa, Mas Karim?” tanya Shifa. Karim tidak menjawab dan masuk ke dalam apartemen. Shifa yang penasaran mengikuti ke dalam apartemen.
Karim menyadari, dia telah bertindak bodoh. Dia kembali membawa buah terlarang itu dalam jangkauannya. Pikiran jahatnya memenangkan pertarungan di dalam batin pria itu.
