Bab 6 [+]
Karim mengunci pintu unit apartemennya. Shifa memutuskan duduk di kursi ruang tamu unit Karim. Karim yang mulai kesulitan mengendalikan dirinya sendiri pada akhirnya berhasil duduk di hadapan Shifa setelah berjuang keras menahan diri.
“Kamu membuatku gila,” ucap Karim seraya menggenggam telapak kanan Shifa dengan kedua tangannya. Shifa terdiam. Gadis itu mulai mempertanyakan apakah dia telah keterlaluan terhadap asistennya sendiri.
“Shifa. Kamu benar-benar membuatku tidak waras,” ucap Karim lagi. Shifa mulai mengerti apa yang dimaksud oleh Karim. Pergumulannya dengan sang asisten telah membuat Karim menggilai dirinya.
Shifa sebenarnya tertarik untuk memancing Karim, tetapi dia enggan untuk melakukan hal itu. Karim terlihat kesulitan untuk mengendalikan dirinya sendiri. Gadis itu menyadari semenjak di lift bahwa Karim tidak baik-baik saja. Hanya saja, dia tidak menyangka bahwa dia adalah penyebab kondisi itu.
“Aku sangat bodoh,” ucap Karim kepada dirinya sendiri. Shifa bingung ingin berkata apa. Karim tampak sangat kebingungan.
“Mas. Kenapa Mas sampai sekacau ini hanya karena saya?” tanya Shifa pada akhirnya. Gadis itu kebingungan mau mengucapkan apa kepada senior di depannya ini.
Karim yang mendengar itu agak terkejut. Ada satu serpihan dirinya ingin marah kepada Shifa. Serpihan diri lainnya ingin menjelaskan langsung kepada Shifa kenapa dia menjadi gila karena permainan gadis itu. Shifa adalah buah terlarang yang dia petik.
Pada akhirnya, Karim menggerakkan satu tangannya untuk melepaskan cadar yang dikenakan Shifa. Shifa yang terkejut langsung bereaksi.
“Mas Ka-”
Ciuman itu berlangsung sangat cepat, membuat Shifa awalnya kesulitan untuk merespons. Hanya saja, gadis itu dengan cepat menyesuaikan dengan ritme bermain sang asisten. Mereka beradu selama hampir satu menit hingga Shifa nyaris kehabisan napas karena tidak siap.
“Aku gila ... karena dirimu. Suaramu. Sentuhanmu. Tubuhmu. Semua itu membuatku tidak waras,” ucap Karim pada akhirnya. Shifa sadar, dia telah berlebihan terhadap asistennya ini. Dia telah membuat seorang pria berpaling dari kekasihnya ke dirinya dengan permainan satu malam mereka.
“Mas Karim,” ucap Shifa dengan nada dingin, “Ini salah. Saya dan Mas hanyalah pelampiasan atas dasar kepentingan saja,” lanjut gadis itu. Mendengar itu, Karim ingin sekali marah. Shifa hanya memandang hubungan mereka sebagai simbiosis, bukan pertemuan rasa antar dua insan.
“Tidak, Shifa. Aku tidak bisa seperti itu. Kamu benar-benar menjadi cabang di hatiku,” ucap Karim yang mengejutkan Shifa. Shifa memang sadar dia salah, tetapi dia tidak ingin ini semakin memburuk. Karim memiliki kekasih dan Shifa tidak ingin merebut Karim dari kekasihnya itu.
“Apakah karena permainan saya kemarin Mas menjadi bercabang?” tanya Shifa pada akhirnya. Karim menaikkan alisnya.
“Jika iya, apa yang bisa kamu lakukan?” tanya Karim kepada gadis itu. Shifa menangkupkan tangan kirinya, menyatukan empat tangan mereka di meja. Gadis itu mengembuskan napas.
“Saya akan berikan Mas pelayanan yang mengecewakan. Dengan itu, seharusnya Mas bisa melupakan saya,” jawab Shifa dengan wajah datar. Karim menaikkan sebelah alisnya. Apa mungkin Shifa bisa memberikan pelayanan yang mengecewakan?
“Baiklah. Aku tidak ingin menduakan Cahaya. Jika benar kamu bisa membuat diriku kecewa, aku mohon,” pinta Karim kepada Shifa.
“Mas akan berakhir harus melampiaskan semuanya sendiri di akhir, tidak apa?” tanya Shifa kepada Karim dengan hati-hati. Sisi jahat Karim menolak, tetapi Karim pada akhirnya menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, Mas,” ucap Shifa. Gadis itu menyingkirkan kursinya dan menunduk ke bawah meja. Tangan mungilnya langsung membuka celana Karim dan segera mengisap pusaka pria itu. Karim langsung meleleh dan mendesahkan nama Shifa.
“Shifa!”
Shifa terus memainkan pusaka itu. Tangan dan mulutnya bergantian merangsang benda itu hingga Shifa merasakan bahwa Karim mendekati puncaknya. Karim terus mendesah menikmati jilatan dan sentuhan yang Shifa berikan. Karim merasa mabuk dengan permainan Shifa.
“Shifa! Aku tidak tahan!”
Gadis itu berhenti mengisap saat Karim sudah sangat dekat dengan puncaknya. Interupsi itu membuat Karim terkejut dan merasa pusing. Ada sedikit cairan di mulut Shifa, tetapi gadis itu langsung menelannya tanpa menggoda Karim.
“Kenapa berhenti?” tanya Karim yang pusing. Shifa menunda dia dari mencapai pelepasan yang dia inginkan. Gadis itu lalu menggunakan tangannya untuk menyentuh posisi tertentu di pusaka Karim yang membuat pria itu seakan terhenti dari mendekati pelepasannya.
“Apa yang baru kamu lakukan!?” tanya Karim yang terkejut. Kepalanya cukup pusing karena pelepasannya tertunda.
“Saya membuat Mas kecewa,” jawab Shifa dari bawah. Gadis itu tidak memberikan respons lebih lanjut dan mulai mengenakan cadar miliknya. Dia pun mundur dan berdiri.
“Saya rasa kita anggap hari ini cukup ya, Mas Karim,” ucap Shifa dengan intonasi sedatar mungkin. Karim merasakan kecewa, tetapi dia menyadari inilah yang dimaksud oleh Shifa. Setengah benak Karim marah dan mulai tidak menyukai Shifa akibat permainan barusan.
“Kalau- ah lupakan. Memang seharusnya begini,” ucap Karim lagi menahan diri dari menggunakan otoritasnya sebagai asisten. Dia yang memilih untuk mengambil jalan ini dan ini demi mempertahankan hatinya kepada Cahaya.
“Kalau begitu. Saya pamit dulu Mas,” ucap Shifa kepada seniornya itu. Karim yang menyadari bahwa ini yang terbaik untuk saat ini, menganggukkan kepalanya dan Shifa pun pamit.
Saat Shifa telah keluar dari unit apartemen Karim, pria itu mengembuskan napas berat. Dia ada rasa kesal kepada gadis itu. Hanya saja, kepalanya yang pusing ingin pelepasan.
Pria itu menggunakan tangannya sendiri untuk menyelesaikan pelepasannya yang tertunda. Setelah pelepasan itu memberikan dia kejernihan berpikir secara perlahan, dia mulai memikirkan bagaimana selanjutnya dia harus menangani situasi ini. Lalu, dia tersadar dia lupa memberitahukan Shifa bahwa nilainya tetap akan A sampai akhir semester.
Pria itu segera menelpon Shifa, yang gadis itu angkat.
“Ada apa Mas?” tanya Shifa.
“Terima kasih. Soal nilaimu, kamu tidak perlu menyerahkan dirimu lagi. Nilaimu sudah aku kunci di A sampai akhir semester,” jawab Karim.
“Saya tetap perlu memahami ilmunya. Kalau saya tidak paham, bagaimana saya bisa menjelaskan nilai A saya?” tanya Shifa.
“Hubungi saja aku jika kamu benar-benar masih kesulitan mengikuti. Aku akan coba menyesuaikan cara mengajarku supaya kamu tidak perlu privat denganku,” jawab Karim.
“Terima kasih banyak, Mas,” jawab Shifa. Gadis itu menutup telepon. Karim mengembuskan napasnya.
“Aku rasa ini keputusan terbaik. Aku harus terus mengingat permainan mengecewakan Shifa jika aku tidak ingin terbuai oleh rayuan mautnya di pergumulan kami,” ucap Karim kepada dirinya sendiri. Dia harus bisa menahan diri dan tidak terjebak dalam hubungan dengan Shifa.
Permainan Shifa berada di tingkat yang berbeda dari kekasihnya, Cahaya. Jika dia terus membandingkan keduanya, maka dia akan jatuh ke pesona Shifa. Dia harus berusaha untuk hanya mengingat bahwa Shifa menolak dia dari pelepasan, meskipun bahkan permainan sederhana tadi, selain kekecewaan atas pelepasan yang tertunda, juga berisi rasa nafsu akan sentuhannya.
“Kenapa aku mengingat sentuhannya!? Aku harusnya hanya mengingat dia tidak memberiku pelepasan!” keluh Karim. Shifa benar-benar membuat dirinya repot. Mungkin, besok dia harus bermain liar dengan kekasihnya, Cahaya.
