Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

01 - SENSUALITY

Wanita dengan tinggi badan 172 cm itu melangkah anggun diantara mahasiswa yang tengah bergumul di pelataran kampus. Beberapa diantara mereka secara terang-terangan menatap iri akan kecantikan dan keanggunan yang ia miliki, walau tak jarang tatapan memuja juga ia dapatkan dari beberapa mahasiswa pria disana.

Langkahnya terhenti di sebuah ruangan yang bertuliskan "RUANG BEM FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS CAKRABUANA" pada pintu masuknya. Jemari lentiknya memutar kenop pintu dan melangkah masuk.

"Selamat pagi. Mohon maaf atas keterlambatannya. Rapat bisa kita mulai sekarang." Setiap kata yang ia ucapkan berhasil membius orang-orang yang hadir disana dengan mudahnya. Tidak ada yang akan marah dengan keterlambatan ketua BEM yang paling populer di Universitas Cakrabuana yang satu ini. Semua anggota rapat hanya manggut dan menurut patuh.

"William, tolong serahkan susunan acara penggalangan dana tahun ini." Suara anggun itu mengalun lembut di udara. Hanya dalam sekilas pandang, semua peserta rapat bisa menilai bahwa sang pemilik suara yang tengah menduduki kursi utama itu adalah wanita yang berasal dari kalangan atas.

"Untuk susunan acara tidak ada yang perlu direvisi. Tetapi untuk anggaran dana kita harus bisa memangkas budget hingga nilai terendah dengan hasil maksimal." titahnya tegas.

"Tapi Key ini event besar. Kita udah meminimalisir pengeluaran hingga sekecil mungkin. Kamu nggak bisa maksain begitu aja kemauan kamu."

Yang ditegur hanya mengulas senyum tipis, setipis mungkin hingga mereka tidak menyadari bahwa wanita berparas molek ini tengah menyeringai. Key paling benci dengan bantahan dan perbandingan. "Dinda Afrianti, bagian keuangan yang menggantikan posisi saya tiga bulan yang lalu. Kamu sadar baru berapa lama kamu baru menempati posisi yang saya tinggalkan itu? Hanya tiga bulan. Jadi jangan bertingkah seolah kamu pernah mengurus event terbesar di seluruh fakultas. Kalau kamu nggak mampu, silahkan mundur. Saya sanggup merangkap dua jabatan sekaligus." sindirnya penuh penekanan.

Skakmat!

Raut wajah Dinda mengetat, menampilkan ekspresi yang tidak bersahabat. Namun Key tetaplah Key, sekali sudah bertitah maka keputusannya tidak bisa diganggu gugat. Sepanjang rapat berlangsung, keduanya menyorot bengis satu sama lain. Tatapan kebencian menguar jelas diantara keduanya.

"Oke, saya rasa rapat hari ini cukup. Kalian hanya perlu menambah sponsor dan yang terpenting memangkas anggaran dana hingga lebih minim." Key bangkit merapikan proposal penggalangan dana yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari kemudian bergegas meninggalkan ruangan.

"Keysha Anjani, tunggu!"

Key menghentikan langkahnya, menoleh menatap wanita yang baru saja ia permalukan di dalam rapat BEM tadi.

"Maksud lo apa sebenarnya? Lo menganggap gue nggak mampu jadi bendahara event gitu? Kalau lo nggak suka langsung terus terang! Cara lo nggak banget" Dinda menatapnya nyalang, seolah mengobarkan bendera perang secara terang-terangan. "Gue itu senior lo. Lo harusnya bisa bersikap yang baik dan sopan. Jangan-jangan nyokap lo nggak pernah ngajarin lo etika ya!" lanjutnya.

Plakk

Sebuah tamparan melayang, meninggalkan bekas kemerahan di wajah Dinda. "Lo itu senior yang punya IQ satu digit tapi tingkahnya selangit. Kalau lo emang mampu, ya buktiin kalau lo bisa handle event sehebat gue tahun lalu! Lo pikir aja sendiri kenapa lo nggak pernah jadi ketua BEM padahal lo udah bertahun-tahun jadi anggota. Itu karna IQ lo yang cuma setengah digit."ujar Key penuh penekanan.

Beberapa mahasiswa yang berada disana berbisik bisik sambil sesekali mencuri pandang ke arah keduanya. Keysha Anjani, ketua BEM yang terkenal akan sikap lemah lembut, anggun dan elegan kini malah menampar salah satu anggotanya di depan umum.

"Gue bakalan bales lo, dasar cewek sombong!" ucap Dinda sembari meringis memegangi pipinya. Ia yakin tamparan ini pasti meninggalkan bercak kemerahan yang akan menghiasi pipi chubby nya selama dua hari ke depan.

Key memilih bungkam, meninggalkan wanita bertubuh gempal itu sendirian. Setelah kejadian ini, namanya pasti akan menduduki trending topic di kampus. Ia harus mempersiapkan diri menghadapi tatapan mata menghujat sekumpulan mahasiswa yang tidak tahu diri mulai besok.

Drrtt

Key merogoh saku jeansnya, membaca notifikasi salah satu aplikasi perpesanan miliknya.

Rico :

Saya tunggu di ruangan sekarang.

Seulas senyum nakal menghiasi wajah cantiknya. Ah, sepertinya Key perlu bersenang-senang terlebih dahulu sekarang. Meninggalkan kelas sesekali tidak apa bukan.

•••

"Bro, saran gue lebih baik lo jumpain dekan. Ajukan pergantian dosen pembimbing. Lo mau terus-terusan nggak dapat kepastian kayak gini." ujar William.

Hans memijit pelipisnya perlahan, menjadi mahasiswa tingkat akhir dengan bayang-bayang skripsi bukanlah hal yang mudah baginya. Sudah puluhan kali ia mencoba menghubungi dosen pembimbingnya namun tetap saja tidak diangkat. Hal ini sudah berlangsung selama dua bulan lamanya. Kalau dibiarkan begini terus, bisa-bisa ia dilantik menjadi mahasiswa abadi.

"Tapi wil, lo nggak bisa langkahin kaprodi. Gimana pun juga prosedurnya itu harus menjumpai kaprodi duluan." saran Jose.

"William bener Jo. Gue udah jumpain kaprodi tapi nggak ada respon apapun. Dia malah nyuruh gue nunggu. Mau sampai kapan coba?!" geram Hans tertahan. Tangannya mengepal mengingat percakapan tempo hari dimana dia mendatangi ruangan kaprodi.

"Ada keperluan apa kamu menjumpai saya?"

"Begini bu. Jadi dosen pembimbing saya sudah dua bulan belakangan tidak bisa dihubungi dan sangat sulit dijumpai di kampus. Saya sudah berbulan-bulan menunggu revisi tapi dosen yang bersangkutan seolah nggak peduli. Saya minta saran bu Lina selaku kaprodi." papar Hans sopan.

"Itu bukan urusan saya. Lagipula saya yakin mahasiswa brandalan seperti kamu pasti memang susah untuk melewati tahap akhir seperti ini."

Holy crap!

Maksud hati datang meminta solusi tapi yang terjadi malah dikata-katai. Semenjak tubuhnya dirajam dengan tato, seluruh dosen di kampus memandangnya sebelah mata. Brandalan. Anak kriminal dan kata-kata menyakitkan lainnya.

Hans akui dia memang tidak se-alim remaja masjid, tetapi merajam tato seolah membalur tubuhnya dalam nilai estetika dan seni. Lalu apa salahnya dengan tato? Seakan tato menjadi sumber permasalahan dari kenakalan remaja pada umumnya.

"Maaf sebelumnya, tapi atas dasar apa ibu sebut saya brandalan?" tanya Hans sengit.

Pertanyaan Hans menghentikan gerakan tangan wanita dihadapannya. Fokusnya beralih memandang Hans yang tengah duduk dihadapannya. "Mahasiswa dengan tato menutupi hampir seluruh bagian lengannya harus saya sebut apa? Komika atau brandalan?"

Tangannya mengepal berusaha menahan gejolak amarah yang sedari tadi sudah mengubun-ubun. "Saya kecewa dengan sudut pandang ibu terhadap dunia seni. Saya kira dunia psikologi dan seni itu berkaitan erat. Tetapi sangat disayangkan, orang seperti ibu tidak paham dengan dunia seni sama sekali. Terimakasih atas cibirannya. Saya permisi."

Hans bangkit meninggalkan kaprodi yang menatap kepergiannya nyalang. Pintunya ia tutup sekencang mungkin hingga menimbulkan bunyi debuman yang menarik perhatian orang disekitarnya.

Hans menghela nafas kasar, mengemas barang-barang miliknya yang tercecer diatas meja. "Mau kemana lo?" tanya Jose. Hans memilih bungkam, fokusnya hanya menemui dekan untuk segera menyelesaikan permasalahan yang tengah ia hadapi sekarang.

"Ruang dekan di lantai 3 gedung barat. Diujung koridor." ujar William tepat sebelum Hans melangkah menjauhi mereka.

"Lo yakin dia bisa wisuda bareng kita nanti?" tanya Jose selepas kepergian Hans. "Sure. Why not? Hans itu cerdik, jadi lo nggak perlu khawatir." ujar William meyakinkan.

"Kita lihat aja nanti."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel