Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5: Kisah Bintang dan Sebuah Janji

Hujan gerimis yang halus, seolah butiran air mata langit, membasahi jendela kelas 11 IPA 2. Suara rintik air yang menampar kaca dengan irama konstan menciptakan melodi melankolis, sebuah latar yang sempurna untuk suasana hati Senja yang sedikit mendung. Kejadian kemarin sore di lapangan basket terus berputar di benaknya. Senyum tipis Arya yang nyaris tak terlihat, pertanyaan frontal tentang ia menguntit, dan kemudian tatapan penuh pemahaman yang mengikutinya. Semua itu terasa seperti fragmen mimpi, namun meninggalkan kesan yang begitu kuat dan mengusik. Arya, si Mata Dingin, ternyata tidak sedingin bongkahan es yang membeku, namun ia juga tidak semudah itu untuk didekati. Ada lapisan-lapisan yang harus dikupas, sebuah proses yang Senja, entah mengapa, merasa terpanggil untuk melakukannya.

Saat bel pulang sekolah berbunyi nyaring, memecah kesunyian yang mencekam di antara rintikan hujan, Senja tidak terburu-buru. Ia merapikan buku-bukunya dengan gerakan lambat, setiap gerakannya seolah menunda momen berhadapan langsung dengan cuaca yang kurang bersahabat di luar. Maya dan Dika sudah lebih dulu melesat pulang, diseret oleh janji bimbingan belajar dan dering ponsel yang terus-menerus. Hanya tersisa beberapa siswa di dalam kelas, termasuk Arya, yang seperti biasa, adalah orang terakhir yang meninggalkan bangkunya. Arya bergerak dengan tenang, memasukkan buku-bukunya satu per satu ke dalam tas, seolah ia punya waktu tak terbatas di dunia ini.

Senja akhirnya memutuskan untuk beranjak. Ia menyampirkan tas ranselnya di bahu dan melangkah keluar, menyusuri koridor yang basah oleh tetesan air dari atap yang bocor. Ia berjalan menuju gerbang sekolah, berharap hujan sedikit mereda atau setidaknya ia bisa menemukan tumpangan angkutan umum yang biasa melintas. Namun, sesampainya di bawah kanopi gerbang sekolah yang sedikit melindungi dari guyuran hujan, pemandangan yang menyambutnya langsung membuat jantungnya mencelos.

Bintang, adiknya, berdiri sendirian di sana. Tubuhnya mungilnya terlihat menggigil kedinginan, jaket tipisnya tak mampu menahan hembusan angin basah. Wajahnya terlihat pucat pasi, dan sepasang mata bulatnya memerah, digenangi air mata yang hampir tumpah. Bintang tampak begitu rapuh, begitu kecil di tengah gerimis yang tak henti-hentinya.

"Bintang! Ya Tuhan, kenapa belum pulang?" Senja langsung menghambur ke arah adiknya, memeluk tubuh mungil Bintang yang terasa dingin. Kekhawatiran langsung merayapi setiap sudut hatinya, memadamkan semua pemikiran tentang Arya dan segala intrik sekolah.

Bintang mendongak, tatapan polosnya dipenuhi kesedihan. "Kakak lama sekali. Tadi perut Bintang sakit sekali, terus tiba-tiba hujan," ucap Bintang, suaranya bergetar menahan tangis. Bibirnya membiru, dan Bintang mengecup kehangatan di pelukan kakaknya.

Senja mengernyit. "Perut sakit? Sejak kapan?" Ia segera memegang dahi Bintang dengan punggung tangannya. Agak hangat. Pertanda demam. Sebuah firasat buruk merayapi Senja. Biasanya, Bibi Ida selalu tepat waktu menjemput Bintang, namun entah mengapa hari ini, wanita tua itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.

Saat Senja sedang bingung mencari cara untuk membawa Bintang pulang dengan kondisi seperti itu, sebuah bayangan tinggi tiba-tiba berdiri di samping mereka. Aroma hujan dan sedikit wangi sabun maskulin tercium samar. Arya. Pria itu sudah memakai jaket tipisnya yang berwarna gelap, payung hitam terlipat rapi di tangannya, seolah ia memang sudah bersiap menghadapi hujan.

"Tidak ada ojek, Kak," keluh Bintang, suara lirihnya mengamati jalanan yang basah, seolah mengeluhkan takdir yang tak berpihak.

Arya menatap Bintang, matanya yang dingin kini menyiratkan sesuatu yang sulit Senja definisikan, mungkin rasa iba, atau mungkin pengenalan akan kerapuhan. Lalu, pandangannya beralih ke Senja, mencari jawaban. Tatapan matanya masih sama, datar, namun kali ini Senja bisa menangkap sedikit rasa khawatir yang samar di sana. Sebuah kilatan kecil yang cepat berlalu, namun cukup untuk membuat Senja sedikit terkejut.

"Kenapa tidak pakai payungku?" tanya Senja, tiba-tiba. Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya, sebuah referensi pada penolakan Arya untuk berbagi payung dengannya kemarin saat hujan deras.

Arya tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap Bintang yang terus menggigil, tubuhnya bergetar kecil. Tanpa berkata sepatah kata pun, tanpa meminta persetujuan, Arya membuka payungnya yang lebar. Payung hitam itu langsung mengembang, melindungi mereka bertiga dari rintikan hujan. "Ayo," ajaknya singkat, suaranya pelan namun tegas, lebih seperti sebuah perintah yang tidak bisa dibantah.

Senja terkejut, namun ia tidak punya pilihan lain. Bintang perlu segera pulang dan mendapatkan perawatan. "Terima kasih, Arya," ucap Senja, suaranya sedikit bergetar, tercampur rasa terharu dan juga malu karena kejadian kemarin. Ia memegang tangan Bintang, menuntunnya agar masuk sepenuhnya ke dalam lindungan payung Arya yang cukup besar. Arya sendiri tidak mengatakan apa-apa, hanya memegang payungnya dengan kokoh, memberikan ruang yang cukup bagi Senja dan Bintang.

Perjalanan singkat menuju rumah mereka, yang terletak tak jauh dari sekolah, terasa begitu panjang. Bintang yang terus-menerus mengeluh sakit perut, dan keheningan yang menyelimuti langkah mereka bertiga. Senja merasa canggung, namun ia juga merasakan sesuatu yang lain: sebuah rasa aman yang tak terduga. Payung Arya, yang sebelumnya ia tolak karena gengsi, kini terasa seperti perisai, pelindung yang kokoh dari dinginnya hujan dan kekhawatiran yang menyesakkan. Setiap langkah Arya terasa mantap, seolah memberikan keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Sesampainya di depan rumah Senja, yang juga merupakan toko kelontong sederhana milik Bibi Ida, mereka melihat Bibi Ida sudah menunggu di ambang pintu, wajahnya cemas, matanya mengamati jalanan.

"Ya Tuhan, Bintang! Kenapa basah dan pucat begini, Nak?" Bibi Ida langsung menghambur, membawa Bintang ke dalam pelukannya dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Terima kasih banyak, Nak Arya. Maaf merepotkan," ucap Bibi Ida tulus, melirik Arya dengan tatapan penuh syukur.

Arya hanya mengangguk tipis, sebuah isyarat singkat yang menjadi tanda bahwa ia menerima ucapan terima kasih itu. Lalu, ia melipat payungnya dengan rapi, seolah tugasnya sudah selesai, dan berbalik hendak pergi, kembali ke dalam keheningannya.

"Arya, tunggu!" panggil Senja, refleks. Ia meraih lengan Arya, sebuah sentuhan yang membuat pria itu berhenti, sedikit terkejut. "Terima kasih banyak. Kau sudah menyelamatkan Bintang. Kalau tidak ada kau, aku tidak tahu bagaimana caranya membawa dia pulang." Senja menatap Arya, mencoba menyampaikan ketulusan perasaannya.

Arya menatap Senja. Tatapan mata mereka bertemu. Senja melihat ada keraguan, kebingungan, dan sesuatu yang lain, yang tak bisa ia definisikan, di mata Arya. Seolah ia sedang bergumul dengan dirinya sendiri. Senja tahu Arya tidak terbiasa menerima ucapan terima kasih yang tulus, apalagi janji untuk membalas budi.

"Dia adikmu?" tanya Arya, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya, memecah keheningan singkat.

Senja mengangguk, ada rasa haru yang menyelinap. "Satu-satunya keluargaku yang tersisa." Senja merasakan ada guratan kesedihan yang samar melintas di wajah Arya saat mendengar pengakuan itu. Sebuah pengenalan akan pengalaman yang sama. Ia tahu, Arya juga memiliki kisah kehilangan yang serupa, kisah yang tersembunyi di balik matanya yang dingin.

"Perutnya sakit," kata Arya, seolah mengulang informasi penting yang baru saja ia dapatkan dari Bintang, sebuah detail yang tidak ia lewatkan. "Lebih baik segera diperiksa."

"Iya, ini mau kuantar ke Puskesmas," jawab Senja, buru-buru. Ia teringat kembali pada malam-malam tanpa tidur beberapa tahun lalu, bagaimana ia sendirian menghadapi demam tinggi Bintang, bagaimana ia berjuang tanpa siapa-siapa, tanpa bantuan, tanpa bahu untuk bersandar. Sebuah janji muncul tiba-tiba di benaknya, janji yang kini ia tujukan pada Arya. "Arya, jika kau butuh sesuatu... apapun. Jangan sungkan bilang padaku. Aku akan membantumu." Senja menyampaikannya dengan nada tulus, bukan sekadar basa-basi, namun sebuah tekad yang kuat.

Arya menatap Senja. Tatapan mata mereka kembali bertemu. Kali ini, ada jeda yang lebih panjang, seolah ia sedang mempertimbangkan sesuatu yang berat. Ada keraguan, kebingungan, dan mungkin sedikit kehangatan yang terpancar dari kedalaman matanya. Ia menghela napas yang nyaris tak terdengar, lalu dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah tidak ingin menyakiti atau memberi harapan palsu, ia melepaskan genggaman tangan Senja dari lengannya. "Tidak perlu," jawab Arya, suaranya kembali datar, namun tidak sedingin biasanya, ada nada penolakan lembut di sana. Lalu, ia berbalik dan pergi, menghilang di balik gerimis yang mulai menipis, menembus bayangan senja yang perlahan merayap.

Senja menatap punggung Arya hingga pria itu tak terlihat lagi di persimpangan jalan. Ia tahu Arya tidak akan langsung menuntutnya untuk memenuhi janji itu. Mungkin Arya memang tidak membutuhkan bantuannya saat ini, atau ia hanya tidak terbiasa menerimanya. Tapi ia tahu, janji itu, entah mengapa, terasa sangat penting. Penting untuk dirinya, karena itu adalah cara ia menunjukkan bahwa ia peduli. Dan mungkin, penting juga untuk Arya, sebagai pengingat bahwa ia tidak benar-benar sendirian di dunia ini.

Malam harinya, setelah Bintang tertidur pulas setelah diperiksa dan diberi obat oleh dokter Puskesmas, Senja duduk di teras toko Bibi Ida. Langit kini bersih dari awan, menampakkan taburan bintang yang indah dan berkelip-kelip, seolah ribuan berlian ditaburkan di atas kain beludru hitam. Bintang, adiknya, adalah salah satu bintangnya, sumber kekuatannya, alasannya untuk terus bertahan dan tersenyum. Dan kini, ada Arya, si Mata Dingin, yang juga mengagumi bintang, yang entah bagaimana, telah menjadi bagian dari konstelasi kehidupannya.

Ia teringat kata-kata Arya saat mereka pertama kali berbicara di taman, "Bintang-bintang ini... mereka selalu ada. Tidak peduli seberapa gelap malam, mereka tetap di sana. Memberikan cahaya." Apakah Arya melihat dirinya sendiri sebagai salah satu bintang itu? Bintang yang gelap, yang mencoba memberikan cahaya dari kejauhan, dari kesendiriannya? Ataukah ia melihat bintang-bintang itu sebagai sebuah pelarian, sebuah tempat di mana ia bisa menemukan ketenangan dari dunia yang begitu rumit?

Senja merasakan sebuah ikatan yang tak terlihat semakin erat terjalin antara dirinya dan Arya. Sebuah ikatan yang lahir dari kesamaan luka, dari ketertarikan pada bintang, dan dari sebuah insiden kecil di bawah hujan. Itu adalah ikatan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, namun terasa nyata dan mendalam.

Keesokan harinya di sekolah, Senja melihat Arya seperti biasa. Arya duduk di bangku belakang, membaca buku tebalnya, tenggelam dalam dunianya sendiri. Senja tahu Arya tidak akan menyapanya, tidak akan tersenyum padanya. Namun, kali ini, ia tidak lagi merasa kecewa. Ia merasa ada sebuah pemahaman yang baru saja ia dapatkan. Arya adalah seperti komet yang melintas, indah namun misterius, dan Senja, ia adalah seorang pengamat yang sabar, siap untuk menunggu kemunculannya lagi, siap untuk mengamati cahayanya dari kejauhan.

Saat jam istirahat, Senja melihat Arya berdiri sendirian di dekat jendela, menatap lapangan. Arya seperti biasa, tampak terpisah dari keramaian, sebuah pulau di tengah samudra manusia. Senja mengambil keputusan. Ia menghampiri Arya, melangkah dengan tenang, tanpa keraguan.

"Arya," panggilnya pelan, suaranya lembut namun jelas.

Arya menoleh. Matanya masih datar, namun ada secercah pengakuan di sana, sebuah kilatan yang mengatakan ia tahu siapa Senja.

Senja tidak lagi mencoba menyapa dengan senyum ramah yang selalu terabaikan. Kali ini, ia mendekat, mengeluarkan sesuatu dari kantong tasnya. Itu adalah sepasang *headset* kecil, berwarna hitam, dengan bantalan busa yang empuk.

"Tadi malam, Bintang sempat demam tinggi. Aku kesulitan sekali menidurkannya. Bibi Ida bilang, dia butuh suara-suara menenangkan," jelas Senja, suaranya lembut, mencoba membuka percakapan dengan kejujuran. "Ini," Senja mengulurkan *headset* itu pada Arya. "Aku punya *playlist* lagu-lagu pengantar tidur yang cukup ampuh. Mungkin bisa membantu kalau kau... sulit tidur." Ia mencoba menyampaikan niatnya dengan tulus, tanpa ada maksud tersembunyi.

Arya menatap *headset* itu di telapak tangan Senja, lalu menatap mata Senja. Lama. Ada jeda panjang sebelum ia mengulurkan tangannya dan mengambil *headset* itu. Jari-jari mereka sempat bersentuhan. Ada percikan kecil, sebuah sensasi hangat yang menjalar, bukan hanya di kulit mereka, tapi juga di hati Senja.

"Terima kasih," bisik Arya, suaranya hampir tidak terdengar, sebuah bisikan yang hanya bisa ditangkap oleh Senja. Ini adalah kali pertama Arya mengucapkan terima kasih dengan tulus kepadanya, tanpa paksaan, tanpa basa-basi.

Senja tersenyum. Bukan senyum yang dipaksakan, melainkan senyum tulus yang muncul dari lubuk hati. Senyum yang penuh kelegaan dan harapan. "Sama-sama. Itu... balasan untuk payungmu kemarin."

Arya mengangguk, lalu memasukkan *headset* itu ke dalam sakunya, seolah itu adalah harta berharga yang perlu ia lindungi. Ia tidak berbicara lagi. Namun, Senja tahu, sesuatu telah berubah. Dinding itu, yang selama ini begitu kokoh, sedikit demi sedikit, mulai retak.

Maya, yang mengamati dari jauh dengan mata tajamnya, segera menghampiri Senja saat Arya kembali ke bangkunya. "Apa yang baru saja terjadi, Senja? Dia... dia bicara padamu? Dan menerima sesuatu darimu?" Nada suaranya penuh rasa ingin tahu dan tidak percaya.

Senja hanya tersenyum misterius. "Aku hanya memberikan sesuatu yang mungkin ia butuhkan."

"Dan dia menerimanya?" Dika yang juga ikut bergabung, menggelengkan kepala. "Gila, kau memang pawang Arya!"

Senja tertawa kecil. Ia tidak merasa seperti pawang. Ia hanya merasa seperti seorang teman yang mulai memahami. Arya, si Mata Dingin, mungkin hanya membutuhkan sedikit kehangatan untuk melelehkan es yang menyelimutinya.

Bintang, adiknya, adalah alasan Senja untuk terus melihat ke atas, ke bintang-bintang di langit. Dan kini, Arya, si pengagum bintang, telah mulai menunjukkan sedikit cahayanya. Janji yang ia berikan pada Arya mungkin tidak akan langsung dipenuhi, namun Senja tahu, janji itu adalah sebuah benih yang akan tumbuh. Benih harapan, benih persahabatan, atau mungkin, benih sesuatu yang lebih dari itu. Senja menatap ke arah Arya yang kini sedang duduk kembali di bangkunya, masih tenggelam dalam dunianya, namun dengan *headset* pemberian Senja di sakunya. Sebuah kisah baru, yang melibatkan bintang-bintang dan sebuah janji, baru saja dimulai, di bawah langit yang sama, di tengah hiruk pikuk sekolah.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel