Bab 4: Buku Astronomi dan Tabrakan Pertama
Peristiwa di kantin mengubah pandangan Senja terhadap Arya. Sisi dingin dan menyendiri yang selama ini ia tangkap, kini dilengkapi dengan sebuah dimensi baru: keberanian dan kepedulian yang tersembunyi. Senja semakin yakin bahwa ada lebih banyak hal di balik tatapan mata Arya yang beku, dan ia merasa terdorong untuk mengungkapnya. Namun, Arya tetaplah Arya. Ia kembali ke rutinitasnya sebagai siswa pendiam, seolah kejadian di kantin itu tak pernah terjadi.
Senja, dengan semangat baru, memutuskan untuk kembali mencoba pendekatannya. Kali ini, ia akan mencoba cara yang lebih halus, lebih tidak langsung. Ia mengingat kembali obrolan singkat mereka di taman tentang astronomi. Itu adalah satu-satunya topik yang berhasil membuat Arya sedikit terbuka.
Maka, keesokan harinya, saat jam istirahat, Senja memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan. Ia tidak sendirian. Ia mengajak Maya, yang meskipun sedikit skeptis, tetap setia menemaninya.
"Kau serius mau mencari buku tentang bintang, Senja?" tanya Maya, dengan nada tak percaya. "Kau kan lebih suka novel romantis atau sastra."
Senja hanya tersenyum. "Ingin mencoba hal baru saja." Sebenarnya, ia berharap bisa menemukan buku yang mungkin menarik perhatian Arya, atau setidaknya, menemukan benang merah yang bisa menghubungkan mereka berdua.
Perpustakaan sekolah siang itu cukup ramai. Banyak siswa yang memanfaatkan waktu istirahat untuk mengerjakan tugas, membaca, atau sekadar mencari ketenangan. Senja menelusuri rak-rak buku ilmu pengetahuan, mencari bagian astronomi. Di sana, di pojok paling belakang, di antara rak-rak tinggi yang berjejer rapi, ia melihat sosok yang tak asing lagi. Arya.
Pria itu sedang berdiri di depan rak, tangannya menggapai sebuah buku di deretan paling atas. Namun, buku itu tampaknya terlalu tinggi untuk diraihnya. Arya berjinjit, meregangkan tubuhnya, berusaha meraih buku itu. Senja memperhatikan, bibirnya hampir saja tersenyum melihat Arya yang, untuk sesaat, terlihat seperti manusia biasa yang punya kesulitan kecil.
Tanpa berpikir panjang, Senja menghampirinya. "Perlu bantuan?" tawarnya, suaranya pelan. Tinggi badan Senja memang tidak terlalu menolong, namun ia ingin menunjukkan bahwa ia ada di sana.
Arya menoleh. Matanya memancarkan sedikit keterkejutan, mungkin karena ia tidak menyangka ada orang lain yang berani mendekatinya di 'sarangnya'. Ia tidak menjawab, hanya menatap Senja dengan tatapan datar yang sudah Senja kenali.
"Buku itu... sepertinya berat," kata Senja, mencoba memecah keheningan. "Apa kau yakin bisa meraihnya sendiri?"
Arya kembali menoleh ke arah buku. Ia berjinjit lagi, dan kali ini, dengan sedikit usaha, jari-jarinya berhasil menyentuh sampul buku. Namun, karena posisi tangannya yang kurang pas, buku itu terlepas dari genggamannya. Buku tebal itu meluncur ke bawah, tepat ke arah Senja.
"Aduh!" pekik Senja, terkejut. Ia refleks mencoba menangkap buku itu, namun tangannya terlambat. Buku itu jatuh tepat di kakinya, menimbulkan suara 'brak!' yang cukup keras di keheningan perpustakaan.
Bukan hanya itu, karena refleksnya yang tiba-tiba, Senja sedikit terhuyung ke depan. Tanpa disangka, ia menabrak Arya yang berdiri di depannya. Sebuah tabrakan kecil, namun cukup membuat Arya kehilangan keseimbangan.
Arya oleng ke belakang, dan Senja jatuh menimpa tubuhnya. Mereka berdua terjatuh ke lantai perpustakaan, di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi.
"Duk!"
Suara benturan tubuh mereka terdengar cukup keras. Beberapa kepala menoleh ke arah mereka, ekspresi terkejut terlihat jelas.
Senja buru-buru bangkit, pipinya memerah padam karena malu. "Ma-maaf! Aku tidak sengaja!" Ia mengulurkan tangan untuk membantu Arya bangkit.
Arya tidak menerima uluran tangan Senja. Ia bangkit sendiri, mengusap seragamnya yang sedikit kotor karena debu lantai. Wajahnya terlihat kesal, matanya kembali dingin menusuk. Buku yang jatuh itu tergeletak di samping kakinya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Senja, mencoba menenangkan diri.
Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap Senja dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan? Kekecewaan? Atau hanya ketidaknyamanan yang mendalam?
Tiba-tiba, dari arah lain, Maya muncul. "Senja! Kau kenapa? Aku dengar suara... Oh my God!" Maya menatap Senja dan Arya bergantian, matanya membelalak. "Kalian... kalian sedang apa?"
Sebelum Senja sempat menjelaskan, Arya membungkuk, mengambil buku yang terjatuh tadi. Buku bersampul gelap dengan judul "Kosmologi dan Asal-Usul Alam Semesta". Tanpa berkata sepatah kata pun, Arya membalikkan badan dan berjalan pergi, meninggalkan Senja dan Maya yang masih terbengong-bengong.
"Senja! Apa yang terjadi?" bisik Maya, setengah berteriak. "Kau menabraknya? Kau... kau jatuh menimpanya?"
Senja menunduk, merasa sangat malu. "Aku tidak sengaja. Aku hanya ingin membantunya mengambil buku itu, tapi malah jadi begini."
"Kau tahu, ini adalah tabrakan pertamaku dengan seorang cowok," kata Senja, mencoba mencairkan suasana. "Dan dengan Arya lagi. Kenapa harus se-canggung ini?"
Maya hanya bisa menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi sepertinya, rencana pendekatanmu ini... tidak berjalan mulus."
Senja menghela napas. Ia tahu itu. Ia merasa frustrasi. Mengapa Arya begitu sulit didekati? Apakah ia benar-benar tidak punya celah sedikit pun?
Sepanjang sisa jam istirahat, Senja terus memikirkan kejadian itu. Ia merasa bodoh, ceroboh, dan sangat malu. Ia yakin Arya pasti membencinya sekarang. Usaha kerasnya selama ini untuk mendekatinya, kini seolah sia-sia.
Saat masuk kelas setelah istirahat, Senja berusaha menghindari kontak mata dengan Arya. Ia tahu Arya ada di bangku belakang, tapi ia tidak berani menoleh. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia membayangkan kembali kejadian 'tabrakan' itu.
Pelajaran Bahasa Inggris terasa begitu panjang dan membosankan. Senja tidak bisa fokus. Pikirannya terus melayang pada Arya, pada wajah kesal pria itu, pada tatapan dingin yang ia lontarkan.
Pulang sekolah, Senja berjalan kaki sendirian. Maya dan Dika punya janji bimbingan belajar. Senja memilih jalan memutar, menghindari taman, karena ia tidak ingin bertemu Arya lagi. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan strategi baru.
Namun, takdir punya rencana lain.
Saat Senja melewati jalanan sepi di dekat lapangan basket sekolah, ia mendengar suara gaduh dari dalam. Karena penasaran, ia mengintip dari celah pagar. Di lapangan, Arya sedang bermain basket sendirian. Ia sangat jago. Gerakannya lincah, tembakannya akurat. Keringat membasahi rambutnya, dan kaus olahraganya tampak sedikit basah. Wajahnya, yang biasanya datar, kini terlihat lebih hidup, lebih berekspresi saat ia fokus pada permainan.
Arya mendribel bola, lalu melompat, dan menembak. Bola masuk sempurna ke dalam ring. "Sring!"
Senja terkesima. Ia tidak menyangka Arya bisa bermain basket sebagus itu. Ada sisi lain dari Arya yang belum pernah ia lihat. Sisi yang penuh semangat, sisi yang memancarkan gairah.
Tiba-tiba, bola yang baru saja Arya tembak, memantul terlalu jauh. Bola itu menggelinding ke arah pagar, tepat di depan Senja.
Arya berjalan menghampiri. Saat ia mendekat, pandangannya bertubrukan dengan Senja. Arya berhenti, matanya kembali dingin. Raut wajahnya berubah datar, seperti topeng yang kembali ia kenakan.
Senja membungkuk, mengambil bola basket itu. Ia mengulurkan bola itu ke arah Arya.
Arya menatap bola, lalu menatap Senja. Lama. Senja merasa canggung, namun ia berusaha untuk tetap tersenyum.
"Kau... jago basket," kata Senja, mencoba memecah keheningan. "Aku tidak tahu."
Arya hanya mengambil bola itu, tanpa berkata apa-apa. Ia memegang bola itu erat-erat di tangannya. Senja pikir ia akan kembali berbalik dan pergi.
Namun, Arya tidak pergi. Ia masih berdiri di sana, menatap Senja.
"Buku itu," kata Arya pelan, suaranya sedikit serak karena kelelahan. "Yang tadi terjatuh."
Senja mengerutkan kening. "Oh, buku astronomi itu. Kau... kau tidak apa-apa?"
Arya mengangguk. "Aku sering membaca buku astronomi di sana. Buku itu... edisi langka."
Senja merasa lega. Ternyata Arya tidak membencinya. Setidaknya, ia tidak marah karena buku itu terjatuh. "Maafkan aku. Aku tidak sengaja."
Arya mengangkat bahu. "Tidak masalah." Lalu, ia menambahkan, "Kau... kenapa sering mengikutiku?"
Senja terkejut dengan pertanyaan langsung itu. Pipi Senja merona merah. "Aku... aku tidak mengikutimu. Hanya kebetulan saja. Aku sering ke taman, dan aku... ke perpustakaan untuk mencari buku juga."
Arya menatapnya lekat-lekat. Ada sedikit senyum tipis, nyaris tak terlihat, di sudut bibirnya. Itu bukan senyum ramah yang ceria seperti yang biasa Senja berikan, melainkan senyum yang sarat akan makna, sebuah senyum yang mengatakan, "Aku tahu."
Senja menelan ludah. Ia merasa seperti semua rahasianya terbongkar di hadapan Arya.
"Kalau begitu, lain kali, hati-hati," kata Arya. Ia membalikkan badan, kembali ke lapangan.
Senja hanya bisa menatap punggung Arya yang menjauh. Hatinya berdesir. Arya tidak marah. Arya tidak membencinya. Bahkan ia sempat tersenyum tipis. Sebuah kemajuan. Meskipun tabrakan pertama mereka cukup memalukan, tapi mungkin itu justru menjadi pembuka jalan.
Mungkin, terkadang, untuk menembus dinding dingin, dibutuhkan lebih dari sekadar senyum ramah. Mungkin, dibutuhkan sedikit 'tabrakan', sedikit insiden yang akan memaksa dua dunia yang berbeda untuk saling bersentuhan. Dan di antara buku astronomi yang terjatuh dan lapangan basket yang sepi, Senja merasa ada sebuah benang merah tak terlihat yang baru saja terajut, menghubungkan dirinya dengan si Mata Dingin. Jejak langkahnya di bangku taman mungkin tidak terabaikan lagi.
---
