Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6: Keheningan di Perpustakaan

Hujan yang mengguyur Jakarta semalam menyisakan jejaknya di pagi hari. Udara terasa dingin menusuk, dan langit masih terlihat kelabu, seolah enggan menampakkan birunya. Genangan air di beberapa sudut jalan memantulkan pantulan awan, menambah kesan muram pada pagi yang basah itu. Namun, bagi Senja, pagi ini terasa berbeda. Ada secercah kehangatan yang menjalar di hatinya, sisa dari momen singkatnya dengan Arya kemarin. Senja tersenyum tipis saat mengingat kembali bagaimana Arya menerima *headset* darinya, bagaimana nada suaranya yang pelan mengucapkan "terima kasih" seolah itu adalah sebuah rahasia yang hanya untuk mereka berdua. Itu adalah sebuah kemajuan yang signifikan, sebuah retakan pertama di dinding es yang selama ini membentengi Arya dari dunia luar.

Sepanjang jam pelajaran, Senja sesekali mencuri pandang ke bangku belakang kelas. Arya tampak sama seperti biasanya, fokus pada buku yang dipegangnya atau menatap kosong ke luar jendela, seolah semua yang terjadi di dalam kelas adalah gangguan yang harus ia abaikan. Namun, kali ini, pandangan Senja tidak lagi dipenuhi rasa penasaran yang gelisah, melainkan dengan sebuah pemahaman baru. Ia tahu, di balik ketenangannya yang dingin itu, ada sesuatu yang berharga, sesuatu yang layak untuk diselami lebih dalam.

Saat bel istirahat berbunyi nyaring, memecah konsentrasi para siswa, Senja memutuskan untuk kembali ke perpustakaan. Bukan untuk sengaja mencari Arya, atau untuk mencari buku astronomi lagi. Kali ini, ia benar-benar ingin membaca buku. Sebuah novel fiksi sejarah yang baru saja ia pinjam dari seorang teman, dengan sampul lusuh yang menjanjikan petualangan di masa lalu. Ia butuh ketenangan untuk menyelami kisah-kisah heroik dan romansa era kerajaan, dan perpustakaan, dengan segala keheningannya, adalah tempat terbaik untuk itu.

Senja berjalan menyusuri rak-rak buku yang menjulang tinggi, mencari sudut yang paling nyaman dan jauh dari keramaian siswa yang biasanya berkumpul di area majalah atau komputer. Ia menemukan sebuah meja kayu tua yang kosong di dekat jendela, tempat yang sempurna untuk membaca sambil menikmati pemandangan rintik hujan yang kini mulai turun lagi, menuruni kaca jendela seperti air mata yang tak berkesudahan. Ia duduk, mengeluarkan novelnya, dan membuka halaman pertama, membiarkan dirinya terseret ke dalam alur cerita. Aroma kertas tua, campuran debu, dan bau buku-buku yang memenuhi ruangan itu selalu menjadi salah satu favoritnya, sebuah aroma yang membawa nostalgia dan kedamaian.

Beberapa menit berlalu, Senja tenggelam sepenuhnya dalam alur cerita, larut dalam intrik-intrik kerajaan dan kisah cinta para bangsawan. Hingga sebuah suara gesekan kursi yang pelan di seberang mejanya membuatnya mendongak. Ia melihat Arya. Pria itu sudah duduk di meja yang sama, berhadapan dengannya, namun terhalang oleh sebuah rak buku setinggi pinggang yang memisahkan mereka. Arya tidak menyadari keberadaannya. Ia sibuk mengeluarkan buku tebal dan beberapa lembar kertas dari tasnya, gerakannya tenang dan teratur.

Senja menghela napas pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Takdir sepertinya memang sengaja mempertemukan mereka lagi dan lagi. Ia memilih untuk tidak menyapa. Biarkan saja Arya tetap dalam dunianya. Senja tidak ingin mengganggu, apalagi mengagetkannya seperti insiden tabrakan konyol kemarin di mana ia justru berakhir menimpanya. Ia kembali fokus pada novelnya, namun kali ini, konsentrasinya sedikit buyar. Ada sebuah radar dalam dirinya yang terus-menerus memantau keberadaan Arya, sesekali ia mencuri pandang, mengamati.

Arya tampak sibuk menulis. Tangan kanannya dengan cekatan menggoreskan pena di atas kertas, mengisi lembaran-lembaran itu dengan rumus-rumus rumit atau diagram-diagram yang hanya ia sendiri yang pahami. Tangan kirinya dengan kuat menahan buku tebal yang terbuka lebar, seolah ia takut buku itu akan melarikan diri. Keningnya berkerut fokus, bibirnya sesekali bergerak pelan, seolah sedang membaca ulang apa yang ia tulis atau bergumam pada dirinya sendiri. Ada aura ketenangan dan intensitas yang terpancar darinya saat ia berkutat dengan buku-buku ilmiahnya. Senja merasa takjub. Arya adalah definisi dari seorang kutu buku, namun dengan aura yang begitu misterius dan menarik.

Ia melihat Arya mengambil salah satu lembar kertasnya, itu adalah sebuah gambar. Sebuah gambar rasi bintang yang rumit, lengkap dengan garis-garis imajiner yang menghubungkan titik-titik cahaya. Rupanya Arya sedang menggambar formasi bintang, mungkin mencoba memvisualisasikan teori-teori kompleks yang sedang ia pelajari. Senja tersenyum tipis. Ia teringat kembali pada buku sketsanya, pada gambar Arya yang ia buat di taman, yang mencoba menangkap esensi pria itu. Mungkin mereka memang memiliki kesamaan yang lebih banyak dari yang ia duga.

Keheningan di perpustakaan itu terasa nyaman. Suara rintik hujan di luar menjadi satu-satunya melodi, mengiringi aktivitas mereka berdua. Tidak ada suara bisikan, tidak ada tawa. Hanya suara nafas mereka berdua yang terdengar samar, dan sesekali suara halaman buku yang dibalik. Senja merasa aneh. Biasanya, ia akan merasa canggung dan gelisah jika berada di dekat Arya dalam keheningan seperti ini, takut melakukan kesalahan atau mengatakan hal yang salah. Tapi kali ini tidak. Ada sebuah kedamaian yang terasa aneh namun menenangkan. Seolah, di tengah keheningan itu, ada percakapan yang tak terucapkan, sebuah pemahaman yang terbentuk tanpa perlu kata-kata.

Tiba-tiba, pena Arya terjatuh. Suara jatuhnya pena itu cukup keras, memecah keheningan yang nyaman tadi, menciptakan riak kecil di kolam kedamaian. Arya menghela napas, terlihat sedikit kesal, mungkin karena konsentrasinya terganggu. Pena itu menggelinding di lantai, melewati bawah rak buku, dan berhenti tepat di dekat kaki Senja.

Senja membungkuk, mengambil pena itu. Sebuah pena metalik berwarna gelap, dengan ukiran sederhana namun elegan. Ia mengangkatnya, menatap Arya.

Arya mengangkat kepalanya, matanya bertubrukan dengan mata Senja. Ada sedikit keterkejutan di sana, seolah ia baru menyadari bahwa ada orang lain di dekatnya, dan orang itu adalah Senja. Wajahnya sedikit memerah, mungkin karena malu atau kaget, sebuah ekspresi manusiawi yang jarang sekali ia tunjukkan.

"Pena-mu jatuh," kata Senja, mengulurkan pena itu. Kali ini, ia tidak tersenyum ramah yang biasa ia gunakan sebagai tameng, juga bukan senyum malu-malu. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum tulus yang mengatakan, "Aku mengerti. Aku ada di sini."

Arya menatap pena itu, lalu menatap Senja. Lama. Ada keraguan yang samar di matanya, seolah ia sedang mempertimbangkan sesuatu. Namun akhirnya, ia mengulurkan tangannya. Jari-jari mereka kembali bersentuhan saat pena itu berpindah tangan. Kali ini, sentuhan itu terasa sedikit lebih lama, sedikit lebih disengaja, sebuah momen yang terasa melambat. Atau mungkin hanya perasaan Senja saja.

"Terima kasih," bisik Arya. Suaranya pelan, namun jelas dan penuh ketulusan, sebuah keajaiban yang jarang terjadi. Ia tidak membuang muka, tidak langsung kembali pada bukunya. Ia masih menatap Senja, sebuah tatapan yang terasa lebih lembut dari biasanya.

"Sama-sama," jawab Senja. "Kau sedang menggambar rasi bintang?" Ia menunjuk kertas di meja Arya yang penuh dengan diagram dan gambar bintang.

Arya mengangguk. "Ya. Aku sedang mencoba memvisualisasikan teori tentang pergerakan galaksi." Ada nada semangat yang tipis dalam suaranya saat berbicara tentang topik ini.

"Wow," Senja terkagum. "Itu pasti rumit sekali." Otaknya sendiri sudah pusing hanya dengan membayangkan rumus-rumus fisika.

"Tidak jika kau menyukainya," kata Arya, mengulang kalimat yang pernah ia ucapkan pada Senja di taman, sebuah memori yang langsung muncul di benak Senja. Ia kembali menatap gambar rasi bintangnya. "Ada begitu banyak keindahan di luar sana. Begitu banyak misteri yang menunggu untuk dipecahkan."

Senja membenarkan. "Seperti kehidupan, bukan? Penuh misteri yang harus kita ungkapkan sedikit demi sedikit." Ia teringat akan misteri tentang Arya, tentang masa lalunya yang begitu rapat ia simpan. "Kau suka datang ke perpustakaan saat istirahat?"

"Ini tempat paling tenang," jawab Arya, pandangannya kembali beralih ke Senja. "Kau juga."

"Aku suka membaca. Dan keheningan di sini menenangkan," kata Senja. "Tapi kemarin aku agak ceroboh," Senja sedikit tersipu saat mengingat insiden tabrakan yang memalukan itu.

Arya tersenyum tipis. Kali ini, senyum itu sedikit lebih terlihat, sebuah kerutan kecil muncul di sudut bibirnya, sebuah lengkungan bibir yang hampir tidak pernah terlihat. "Aku tidak menyangka kau se-ceroboh itu." Ada nada geli yang samar di suaranya, sebuah nada yang berhasil ditangkap oleh Senja.

Senja tertawa kecil. Itu adalah kali pertama ia mendengar Arya mengeluarkan nada yang sedikit ringan, yang tidak kaku dan dingin. "Aku juga tidak menyangka kau se-jago itu bermain basket."

Arya mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa itu bukan hal besar. "Hanya untuk mengisi waktu."

Mereka terdiam sejenak. Keheningan kembali menyelimuti, namun kali ini keheningan itu terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung, bukan pula keheningan yang penuh misteri. Melainkan keheningan yang nyaman, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama, sudah saling memahami tanpa perlu banyak bicara. Keheningan yang diisi dengan kehadiran satu sama lain.

"Bintang sudah baikan?" tanya Arya tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman itu.

Senja terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak menyangka Arya akan mengingat Bintang, apalagi mengkhawatirkannya. "Sudah. Tadi pagi sudah sekolah. Terima kasih sudah mengkhawatirkannya."

Arya mengangguk, sorot matanya sedikit melembut. "Aku senang mendengarnya." Ia kembali menatap bukunya, namun Senja merasa ada sebuah perubahan. Dinding itu, yang selama ini begitu kokoh dan tak tertembus, kini terasa sedikit lebih rendah, sedikit lebih rapuh.

Bel masuk berbunyi nyaring, memecah keheningan dan momen singkat mereka. Arya mengumpulkan buku dan kertasnya dengan rapi, gerakannya kembali teratur.

"Sampai jumpa di kelas," kata Senja, memberikan senyum yang tulus.

Arya tidak menjawab, namun ia mengangguk kecil, sebuah gestur yang kini terasa begitu familiar dan menenangkan bagi Senja. Lalu, ia berjalan keluar perpustakaan, meninggalkan Senja yang masih terdiam di tempatnya.

Senja menatap kepergian Arya. Hatinya berdesir hangat. Kali ini, ia tidak merasa diabaikan. Ia merasa ada sebuah koneksi yang terbentuk, sebuah pemahaman yang baru saja terbangun di tengah keheningan perpustakaan itu. Pena yang terjatuh, obrolan singkat tentang bintang, dan perhatian Arya pada Bintang. Semua itu adalah potongan-potongan teka-teki yang perlahan mulai menyatu, membentuk gambaran yang lebih utuh tentang Arya.

Ia menyentuh bibirnya, merasakan senyum kecil yang masih terlukis di sana. Senyum itu bukan lagi senyum ramah yang ia paksakan untuk dunia. Itu adalah senyum lega, senyum harapan, senyum yang mengatakan bahwa di balik mata dingin itu, ada sebuah hati yang mulai terbuka. Dan Senja, ia merasa semakin dekat untuk bisa menyentuhnya, semakin dekat untuk bisa memahami.

Keheningan di perpustakaan itu telah menjadi saksi bisu sebuah awal yang baru. Sebuah awal di mana dua dunia yang berbeda, dua jiwa yang terluka, mulai menemukan kesamaan, mulai menemukan sebuah jembatan yang menghubungkan mereka. Dan Senja, ia tidak sabar menantikan ke mana jembatan itu akan membawa mereka, ke mana kisah mereka akan berlanjut di bawah langit yang penuh misteri.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel