Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Senyum Ramah yang Terabaikan

Sejak pertemuan di taman sore itu, ada sedikit perubahan dalam rutinitas Senja. Setiap pagi, sebelum bel masuk berbunyi, ia akan melirik ke bangku belakang kelas, ke arah Arya. Pria itu selalu ada di sana, seperti biasa. Kadang ia sudah duduk tegak membaca buku tebalnya, kadang ia terlihat hanya menatap kosong ke luar jendela. Ada sedikit harapan yang terselip di hati Senja bahwa Arya akan membalas pandangannya, atau setidaknya melontarkan satu kata sapaan. Namun, hal itu tak pernah terjadi. Arya tetaplah Arya, si Mata Dingin yang tak terjangkau.

Senja, dengan sifatnya yang gigih dan penuh empati, tidak menyerah. Ia percaya, di balik tembok es yang dibangun Arya, pasti ada sebuah hati yang terluka. Ia mencoba berbagai cara kecil untuk 'mencairkan' suasana. Setiap kali berpapasan di koridor, ia akan tersenyum tulus, senyum yang biasanya bisa membuat siapa saja merasa nyaman. Arya hanya akan membalasnya dengan tatapan datar, tanpa emosi, lalu berlalu begitu saja. Senyum Senja seringkali terabaikan, menggantung hampa di udara.

Pernah suatu ketika, saat pelajaran olahraga, Senja melihat Arya kesulitan membuka botol minumnya. Dengan sigap, ia menghampiri. "Mau kubantu?" tanyanya, menawarkan uluran tangan. Arya hanya menatap botol minum itu sebentar, lalu dengan sekali hentakan kuat, ia berhasil membukanya sendiri. Tanpa ucapan terima kasih, tanpa pandangan sedikit pun. Ia hanya kembali fokus pada permainannya. Senja merasa sedikit pedih, namun ia mencoba untuk tidak mengambil hati.

"Kau terlalu baik, Senja," komentar Maya suatu siang di kantin, melihat Senja kembali mencoba menyapa Arya yang sedang berjalan melewati meja mereka, dan lagi-lagi diabaikan. "Dia itu dinginnya minta ampun. Entah apa yang ada di pikirannya."

Dika, yang sedang asyik melahap bakso, menambahkan, "Mungkin dia memang pembawaan aslinya begitu. Atau, mungkin dia punya trauma parah sehingga tidak bisa bersosialisasi."

Senja menghela napas. "Aku hanya merasa, di balik semua itu, dia butuh bantuan. Atau setidaknya, butuh teman."

"Kau lupa? Leo juga butuh teman, tapi kau tidak pernah meliriknya," goda Dika, mengedipkan mata ke arah Leo yang kebetulan lewat, membalasnya dengan senyuman lebar.

Senja hanya tertawa kecil. Leo memang teman yang baik, selalu ada dan selalu ceria. Tapi rasanya berbeda. Dengan Leo, semuanya terasa mudah dan ringan. Dengan Arya, ada sebuah misteri yang memanggil-manggilnya. Ada sesuatu yang menantang dan terasa penting.

Beberapa hari kemudian, sebuah kejadian kecil terjadi di kelas. Saat jam pulang, tiba-tiba hujan deras mengguyur kota. Senja dan teman-temannya terjebak di kelas, menunggu hujan reda. Arya, seperti biasa, sudah siap dengan payung hitamnya dan bersiap pergi.

"Arya, tunggu!" panggil Senja, impulsif. "Hujannya deras sekali. Payungmu kan besar, apa kau tidak keberatan jika... jika kita pulang bersama?"

Seluruh mata di kelas menatap ke arah Senja dan Arya. Arya berhenti di ambang pintu, menoleh pada Senja. Matanya, seperti biasa, tidak menunjukkan reaksi. Senja merasa pipinya memanas. Ia tahu ia terlalu berani.

Arya menatap payungnya, lalu menatap Senja. Lama. Senja menahan napas, menunggu jawabannya. Apakah kali ini senyum ramahnya akan dibalas? Apakah usahanya akan membuahkan hasil?

"Tidak," jawab Arya singkat, tanpa nada penyesalan sedikit pun. Ia membuka payungnya, lalu melangkah pergi, meninggalkan Senja dan teman-temannya yang tercengang di ambang pintu.

Hati Senja terasa mencelos. Ia merasa seperti baru saja ditampar. Senyum ramahnya yang tulus, niat baiknya yang murni, lagi-lagi terabaikan begitu saja. Ia menunduk, merasa malu dan sedikit terluka.

"Senja, sudah kubilang kan? Dia itu tidak peduli," bisik Maya, menepuk pundaknya. "Jangan terlalu dipikirkan."

Dika mengangguk. "Betul. Mungkin dia memang tidak suka bersosialisasi. Kau jangan menyalahkan dirimu."

Senja hanya tersenyum tipis. Ia tahu teman-temannya benar. Tapi mengapa hatinya tidak bisa menerima? Mengapa ada desakan kuat untuk mencoba lagi, dan lagi? Ada sesuatu yang membuat Senja tidak bisa melepaskan Arya begitu saja.

Sore harinya, saat Senja menunggu Bintang pulang sekolah, ia kembali ke taman. Hujan sudah reda, menyisakan bau tanah basah dan kesegaran yang khas. Ia duduk di bangku favoritnya, membiarkan pikirannya berkelana. Ia mencoba menganalisis Arya. Apa yang membuatnya begitu dingin? Apa yang membuatnya begitu menolak sentuhan manusia? Apakah ia pernah punya teman?

Ia mengeluarkan buku sketsanya, mencoba menumpahkan perasaannya lewat goresan pensil. Kali ini, ia menggambar sosok Arya, duduk di bangku taman yang sama, menatap langit. Ia berusaha menangkap ekspresi kosong di wajah pria itu, kesepian yang terselip di balik mata dinginnya.

Tak terasa, Bintang sudah datang bersama Bibi Ida. Mereka membawa bekal untuk makan sore di taman.

"Kakak kok melamun terus? Mikirin apa?" tanya Bintang polos, mencomot keripik tempe dari kotak bekal.

Senja tersenyum. "Kakak lagi mikirin... pelajaran."

"Pelajaran apa yang bikin Kakak sedih begitu?" sahut Bintang, menatapnya penuh selidik.

Bibi Ida tersenyum. "Bintang, biarkan Kakakmu istirahat. Dia pasti lelah." Bibi Ida tahu ada yang lebih dari sekadar "pelajaran" yang mengganggu pikiran Senja. Wanita tua itu sangat mengenal Senja, jauh lebih dalam dari yang siapa pun duga.

Senja menyantap bekalnya, namun pikirannya masih pada Arya. Ia mencoba mencari cara lain untuk mendekatinya. Mungkin bukan dengan senyuman atau ajakan pulang. Mungkin ia harus mencari tahu apa yang menjadi minat Arya, selain astronomi.

Keesokan harinya di sekolah, Senja memutuskan untuk mencoba pendekatan yang berbeda. Ia tidak lagi langsung menyapa Arya dengan senyuman ceria yang terabaikan. Ia mengamati. Ia memperhatikan bagaimana Arya di kelas, bagaimana ia berinteraksi (atau lebih tepatnya, tidak berinteraksi) dengan lingkungan sekitarnya.

Ia melihat Arya sering membawa buku tebal ke perpustakaan saat jam istirahat. Senja pun memberanikan diri untuk mengikuti. Ia menemukan Arya duduk di salah satu meja paling ujung, jauh dari keramaian, tenggelam dalam sebuah buku fisika kuantum yang sangat tebal. Senja sendiri tidak mengerti isinya sama sekali.

Ia duduk di meja yang berjarak dua bangku dari Arya, berpura-pura membaca buku sastra. Ia mencuri pandang sesekali. Arya terlihat begitu fokus, keningnya berkerut, sesekali tangannya mencoret-coret sesuatu di buku catatannya. Ada gairah yang terpancar dari dirinya ketika ia berkutat dengan buku-buku ilmiah ini, gairah yang tidak pernah ia tunjukkan saat berinteraksi dengan orang lain.

"Dia memang aneh," bisik Maya yang tiba-tiba muncul di samping Senja, membuatnya terkejut. "Selalu saja begitu. Antara buku dan jendela."

Senja hanya menghela napas. "Mungkin dia hanya belum menemukan cara yang tepat untuk menunjukkan perasaannya."

"Atau memang tidak mau menunjukkan perasaannya," sahut Maya, mengangkat bahu. "Senja, jangan sampai kau terlalu memaksakan diri, nanti kau yang sakit hati sendiri."

Peringatan Maya membuat Senja terdiam. Apakah ia memang terlalu memaksakan diri? Apakah ia hanya membuat dirinya sendiri terluka dengan mencoba mendekati seseorang yang jelas-jelas tidak ingin didekati? Keraguan mulai menyelinap.

Namun, esok harinya, keraguan itu kembali menguap. Sebuah kejadian tak terduga kembali memicu keingintahuan Senja.

Saat jam istirahat, sebagian besar siswa tumpah ruah di kantin. Senja dan teman-temannya sedang asyik makan siang. Tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari salah satu meja di pojok. Beberapa siswa laki-laki dari kelas lain, yang dikenal sebagai biang kerok sekolah, sedang mengganggu seorang adik kelas yang terlihat ketakutan. Mereka menarik tas adik kelas itu, isinya berhamburan.

Tak ada yang berani mendekat. Kebanyakan siswa hanya melihat, berbisik, atau berpura-pura tidak tahu. Termasuk Dika dan Maya.

"Aduh, anak-anak itu lagi," bisik Maya. "Pasti masalah uang jajan lagi."

Senja merasakan darahnya mendidih. Ia benci ketidakadilan. Ia benci melihat orang lemah diintimidasi. Ia hendak bangkit, namun Dika menahannya.

"Jangan, Senja. Kau nanti kena imbasnya. Biar guru BK saja yang urus."

Tapi Senja tak bisa tinggal diam. Saat itulah, ia melihat Arya. Arya, yang biasanya selalu makan siang sendirian di bangku paling pojok, kini berdiri. Tatapan matanya yang dingin kini beralih menjadi tajam, menusuk, mengarah ke gerombolan siswa yang sedang menindas itu.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Arya berjalan lurus ke arah mereka. Langkahnya tenang, namun penuh otoritas. Gerombolan siswa itu yang awalnya gaduh, tiba-tiba terdiam, merasakan aura dingin yang menusuk dari Arya.

"Berhenti," ujar Arya, suaranya pelan namun tegas, membuat seisi kantin hening.

Salah satu dari gerombolan itu, seorang siswa berbadan besar, menoleh, menatap Arya dengan tatapan menantang. "Apa urusanmu, anak baru? Jangan ikut campur."

Arya tidak menjawab. Ia hanya menatap siswa itu lurus di mata. Tatapan dingin itu seolah membeku, mengunci pergerakan lawannya. Ada sesuatu dalam sorot mata Arya yang membuat siswa berbadan besar itu mendadak kehilangan keberanian. Perlahan, ia melepaskan tas adik kelas yang dipegangnya. Barang-barang yang berserakan di lantai pun dibiarkan begitu saja.

"Cepat pergi," perintah Arya, suaranya kali ini sedikit lebih keras.

Gerombolan siswa itu, yang biasanya tak kenal takut, tiba-tiba merasa gentar. Mereka saling pandang, lalu tanpa banyak bicara, mereka berbalik dan pergi, meninggalkan adik kelas yang masih ketakutan dan barang-barangnya yang berserakan.

Arya tidak peduli. Ia membungkuk, membantu adik kelas itu mengumpulkan barang-barangnya. Ia menyerahkan tasnya, lalu menepuk pundak adik kelas itu sekali, sebuah gerakan yang sangat singkat namun mengandung makna menenangkan. Setelah itu, ia kembali ke tempat duduknya, melanjutkan makannya seolah tidak terjadi apa-apa. Matanya kembali datar, dingin, seperti sedia kala.

Senja, Dika, dan Maya, serta seluruh siswa di kantin, hanya bisa menatap kejadian itu dengan takjub. Mereka baru saja menyaksikan sisi lain dari Arya, si Mata Dingin. Sisi yang tegas, pemberani, dan secara mengejutkan, protektif.

Maya menyenggol lengan Senja. "Lihat, Senja. Ada juga sisi pahlawan di balik es itu."

Dika mengangguk. "Aku menarik ucapanku. Dia bukan sekadar *bad boy*. Dia... misterius tapi keren."

Namun, Senja tidak bisa berkata apa-apa. Hatinya berdesir. Jadi, Arya memang tidak seacuh itu. Di balik sikap dinginnya, ada kepedulian yang tersembunyi. Senyum ramahnya memang mungkin terabaikan, namun tindakannya tidak. Ia adalah pria yang bertindak, bukan sekadar bicara.

Malam itu, di bangku taman yang sama, Senja tidak melihat Arya. Ia sendiri yang datang. Langit sudah gelap, bintang-bintang mulai berkelip malu-malu. Ia mengeluarkan buku sketsanya. Kali ini, ia menggambar ulang sosok Arya. Namun bukan lagi dengan ekspresi kosong. Kali ini, ia mencoba menggambar ketegasan di wajahnya, keberanian di matanya, dan kepedulian yang baru saja ia saksikan.

Senyum kecil tersungging di bibirnya. Senyum ramahnya mungkin terabaikan, tapi ia tahu, tindakannya tidak. Ada celah yang terbuka. Sebuah harapan kecil yang baru saja menyala, bahwa suatu hari, ia bisa menembus tembok dingin itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel