Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Selamat Datang, Si Mata Dingin

Pagi itu, udara Jakarta terasa sedikit lebih bersahabat dari biasanya. Senja melangkah masuk ke gerbang SMA Pelita Bangsa dengan hati yang sedikit lebih ringan. Aroma masakan kantin yang mulai mengepul bercampur dengan wangi bunga kamboja dari taman sekolah. Sebagian besar siswa sudah berkeliaran di koridor, mengobrol, tertawa, atau sekadar menunduk sibuk dengan ponsel masing-masing. Namun, pikiran Senja masih melayang pada sosok misterius yang ia lihat di taman kemarin sore. Siapa sebenarnya dia? Sebuah pertanyaan sederhana yang entah mengapa terus mengusik benaknya.

Ia berjalan menuju lokernya, memutar kombinasi angka yang sudah hapal di luar kepala. Saat membuka pintu loker, sebuah buku tentang konstelasi bintang terjatuh ke lantai. Buku itu, hadiah ulang tahun dari almarhum ayahnya, selalu menjadi pengingat akan mimpinya untuk suatu hari nanti bisa melihat bintang-bintang tanpa polusi cahaya kota. Ia membungkuk untuk mengambilnya. Saat itulah, sebuah bayangan tinggi melintas di sampingnya.

Seolah digerakkan oleh naluri, Senja mendongak. Matanya langsung bertubrukan dengan sepasang mata gelap yang dingin, namun memancarkan intensitas yang sulit dijelaskan. Mata itu milik laki-laki yang semalam duduk menyepi di bangku taman. Jantung Senja berdegup lebih cepat, bukan karena takut, melainkan karena keterkejutan. Pria itu berdiri beberapa langkah di depannya, menatap lurus ke depan, seolah tidak menyadari keberadaan Senja, namun tatapan matanya seolah menembus apa pun yang ada di depannya.

Wajahnya tampak datar, tanpa ekspresi. Rambut hitamnya sedikit berantakan namun tetap terlihat rapi, membingkai wajah yang tegas dengan rahang yang kokoh. Seragam putih abu-abunya tampak baru, dan ransel hitamnya digantung di satu bahu dengan gaya yang kasual. Ada aura misterius yang menguar darinya, seolah dia adalah tokoh dari novel yang baru saja keluar dari halaman-halaman fiksi.

Senja, yang biasanya cepat tanggap dan mudah tersenyum pada siapa pun, kali ini merasa lidahnya kelu. Ia hanya bisa menatapnya, terpaku oleh ketidakramahan yang terpancar dari seluruh tubuh pria itu. Pria itu terus berjalan, melewati Senja tanpa sekalipun menoleh, tanpa menghentikan langkahnya, seolah Senja adalah bagian tak terlihat dari dekorasi sekolah.

*Sombong sekali,* pikir Senja, namun ia tak bisa memungkiri bahwa ia merasa tertarik. Keangkuhan itu justru membuat rasa penasarannya semakin membuncah.

Bel masuk berdering nyaring, membuyarkan lamunannya. Senja segera bergegas menuju kelas 11 IPA 2, tempatnya berada. Teman-temannya, Maya dan Dika, sudah duduk di bangku mereka. Maya, dengan rambut sebahu dan kacamata tebal, sedang asyik membaca buku fisika, sementara Dika, si jangkung yang selalu ceria, sibuk mendengarkan musik lewat *earphone*-nya.

"Pagi-pagi sudah melamun saja, Senja," tegur Maya, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

Senja hanya tersenyum tipis, meletakkan tasnya. "Tidak apa-apa. Hanya terkejut sedikit."

"Terkejut kenapa? Dengar kabar kuis mendadak fisika?" gurau Dika, melepas *earphone*-nya.

"Bukan. Tadi, di loker, aku bertemu cowok yang kulihat kemarin di taman," jawab Senja pelan.

Maya mengangkat kepalanya, alisnya bertaut. "Cowok? Siapa? Anak baru, ya? Tidak pernah kulihat sebelumnya."

Belum sempat Senja menjawab, Pak Bayu, guru Sejarah yang terkenal disiplin, masuk ke kelas. Di belakangnya, seorang sosok tinggi muncul, mengunci tatapan mata Senja. Itu dia. Laki-laki dengan mata dingin itu.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa Pak Bayu dengan suaranya yang berat. "Hari ini kita kedatangan teman baru. Arya, silakan perkenalkan dirimu."

*Arya. Jadi itu namanya,* batin Senja. Ia merasakan degupan jantungnya kembali tak beraturan.

Arya melangkah ke depan kelas. Ia berdiri tegak, tangannya terkunci di depan tubuhnya, ekspresinya masih sama: datar. Ia menatap ke seluruh sudut kelas, tatapannya menyapu setiap wajah, namun tidak ada emosi apa pun yang terpancar. Ketika tatapannya mampir di mata Senja, lagi-lagi ia tidak menunjukkan reaksi. Itu justru membuat Senja semakin merasa tertantang.

"Nama saya Arya Pradipta. Pindahan dari SMA Harapan Bangsa di kota sebelah. Mohon bantuannya," ujarnya dengan suara yang pelan namun jelas, tanpa sedikit pun nada ramah. Kalimatnya singkat, padat, dan seolah dihafalkan.

Kelas hening sejenak, sebagian besar siswi berbisik-bisik, mengagumi ketampanan Arya yang dingin. Namun, tak ada yang berani mengajukan pertanyaan atau mencoba ramah padanya. Aura Arya terlalu kuat untuk didekati.

"Baik, Arya, kamu bisa duduk di bangku kosong di belakang sana," kata Pak Bayu, menunjuk bangku kosong di barisan paling belakang, tepat di samping jendela.

Arya mengangguk singkat, lalu berjalan menuju bangku yang ditunjuk. Langkahnya tenang, penuh percaya diri. Ia duduk, mengeluarkan buku dan pulpen, lalu kembali menatap keluar jendela, seolah dunia di dalam kelas tidak menarik perhatiannya sama sekali.

Sepanjang pelajaran Sejarah, Senja berkali-kali mencuri pandang ke arah Arya. Pria itu tampak begitu fokus pada pemandangan di luar jendela, sesekali menulis sesuatu di bukunya. Senja bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkannya. Apakah ia bosan? Atau justru sedang memikirkan sesuatu yang penting?

Saat istirahat tiba, kelas langsung ramai. Maya dan Dika langsung menyerbu Senja.

"Gila, Senja! Ternyata anak baru itu sekelas dengan kita!" seru Maya, antusias. "Dia tampan sekali, ya, tapi kenapa dingin begitu?"

Dika mengangguk setuju. "Mungkin dia sedang galau. Atau dia tipe-tipe *bad boy* yang misterius gitu? Gaya seperti itu biasanya banyak fansnya."

Senja hanya diam, pandangannya lagi-lagi tertuju pada Arya. Pria itu masih duduk di bangkunya, menolak ajakan beberapa siswa laki-laki yang mencoba mengajaknya ke kantin. Ia mengeluarkan sebuah buku tipis bersampul hitam dari tasnya, lalu mulai membacanya dengan serius. Seolah keberadaan teman-teman sekelasnya sama sekali tidak mengganggunya.

"Senja, kau kenapa diam saja? Tidak biasanya," tanya Maya, menyentuh lengan Senja.

"Aku cuma penasaran saja," jawab Senja, jujur. "Dia terlihat seperti... menyimpan banyak cerita."

Dika tertawa. "Wah, Senja sudah mulai penasaran. Biasanya kan Senja yang paling cuek kalau ada anak baru. Apa jangan-jangan... ada percikan cinta di udara?" Dika mengedipkan mata menggoda.

Senja tersipu, namun ia segera menepis pemikiran itu. "Apa sih, Dika! Aku hanya merasa... dia terlihat kesepian." Ada nada tulus dalam suaranya. Perasaannya tidak bisa berbohong. Ada kemiripan yang samar antara kesepian Arya dan kesepian yang seringkali ia rasakan.

Selama beberapa hari berikutnya, Arya tetap mempertahankan sikap dingin dan menyendiri itu. Ia selalu datang paling pagi, duduk di bangku belakang, dan langsung tenggelam dalam dunianya sendiri. Ia tidak pernah bergabung dengan kelompok mana pun, tidak pernah berbicara kecuali ditanya, dan selalu menolak ajakan teman-teman. Para siswi yang awalnya penasaran, kini mulai menjaga jarak, merasa takut dengan aura misterius yang dipancarkan Arya. Hanya beberapa siswa laki-laki yang masih sesekali mencoba mengajaknya mengobrol, namun selalu gagal.

Senja, di sisi lain, tidak menyerah. Bukan karena ia menyukai Arya dalam artian romantis, setidaknya belum. Tapi ia merasa ada ikatan samar yang menghubungkan mereka, sebuah kesamaan dalam kesendirian. Setiap kali ia melihat Arya menatap keluar jendela, ia merasa seolah melihat pantulan dirinya sendiri di masa lalu, atau bahkan di masa kini, saat ia membiarkan dirinya tenggelam dalam lamunan senja. Ia ingin tahu, apa yang membuat mata Arya begitu dingin dan sendu pada saat yang bersamaan.

Pada suatu sore, setelah pelajaran tambahan, Senja kembali berjalan menuju taman. Ia merasa hari itu cukup melelahkan dan butuh sedikit ketenangan dari senja. Ketika ia sampai di bangku favoritnya, ia melihat Arya sudah duduk di sana. Kali ini, pria itu tidak membelakanginya. Ia menatap lurus ke arah langit yang mulai memerah, sebuah buku tebal tergeletak di sampingnya. Matanya tampak lebih tenang, tidak sedingin biasanya, namun tetap menyimpan kesedihan yang dalam.

Senja ragu sejenak. Haruskah ia mendekat? Atau membiarkannya sendiri seperti yang selama ini ia lakukan? Namun, dorongan rasa penasaran dan empati yang begitu kuat akhirnya memenangkan keraguannya. Ia melangkah perlahan, mencoba tidak membuat suara.

"Hai," sapa Senja pelan, ketika ia sudah cukup dekat.

Arya terlonjak kaget. Ia menoleh cepat, tatapan matanya kembali dingin dan tajam. Ada sedikit kegelisahan yang melintas di wajahnya, seolah ia tidak terbiasa dengan kehadiran orang lain yang tiba-tiba.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengagetimu," kata Senja, merasa bersalah. "Aku... aku sering ke sini juga kalau sore. Namaku Senja, Senja Putri Langit. Kita sekelas." Senja mencoba tersenyum ramah, senyum yang biasanya bisa mencairkan hati siapa saja.

Arya menatapnya. Lama. Tatapan itu meneliti Senja dari ujung rambut hingga ujung kaki, seolah sedang menganalisis setiap detailnya. Senja merasa sedikit tidak nyaman, namun ia berusaha untuk tetap tenang.

"Arya Pradipta," jawab Arya, suaranya pelan, nyaris berbisik. Ia tidak menawarkan uluran tangan, tidak menunjukkan senyum, bahkan matanya tetap beku.

"Aku tahu," kata Senja, tersenyum kecil. "Kau anak baru di kelas kami, kan?"

Arya hanya mengangguk singkat. Ia kembali menatap langit, mengabaikan kehadiran Senja. Seolah percakapan mereka sudah selesai.

Senja sedikit kecewa, namun ia tidak menyerah. Ia duduk di bangku yang sama, menjaga jarak beberapa meter dari Arya. Ia membuka tasnya, mengeluarkan sebuah kotak pensil berwarna cerah dan buku sketsa kecilnya. Ia mulai menggambar, mencoba menangkap warna-warna senja yang begitu indah sore itu.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara angin yang berdesir lembut di antara dedaunan dan suara burung yang mulai kembali ke sarangnya. Senja terus menggambar, sementara Arya tetap diam, menatap langit.

Tiba-tiba, sebuah suara pelan kembali terdengar. "Buku itu... menarik."

Senja mendongak, terkejut. Arya sedang menatap buku di tangannya, buku sketsa.

"Oh, ini," kata Senja, sedikit canggung. "Aku hanya suka menggambar. Menangkap momen."

Arya mengangguk. "Bukan buku itu. Buku yang tadi pagi terjatuh dari lokermu. Tentang bintang."

Senja membelalakkan mata. Jadi, Arya menyadarinya? Ia tidak sedingin atau seacuh yang ia kira. "Ah, yang itu. Iya, itu hadiah dari ayahku. Aku suka bintang."

"Aku juga," sahut Arya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menunjuk ke langit. "Lihat, itu Venus. Masih terlihat samar sebelum benar-benar gelap."

Senja mengikuti arah telunjuk Arya. Memang, ada satu titik cahaya terang yang mulai muncul di antara sisa-sisa warna senja. Ia tidak menyangka Arya akan berbicara begitu banyak, bahkan memberikan informasi. Ini adalah sebuah kemajuan.

"Wah, kau tahu banyak tentang bintang, ya?" tanya Senja, antusias.

Arya kembali mengangguk. "Aku suka astronomi." Ia mengambil buku tebal di sampingnya, membuka halamannya. "Buku ini tentang formasi bintang dan galaksi jauh."

Senja mengintip ke arah buku itu. Halaman-halamannya penuh dengan gambar-gambar rumit dan diagram yang tak ia pahami. "Pasti susah, ya?"

"Tidak jika kau tertarik," jawab Arya, matanya kini terlihat lebih hidup saat berbicara tentang topik ini. "Bintang-bintang ini... mereka selalu ada. Tidak peduli seberapa gelap malam, mereka tetap di sana. Memberikan cahaya." Ada nada melankolis yang terselip dalam suaranya, sebuah nada yang berhasil ditangkap oleh telinga sensitif Senja.

Senja terdiam. Ia mengerti maksud Arya. Bintang-bintang itu, seperti harapan, selalu ada meskipun kadang tersembunyi oleh kegelapan. Dan seolah-olah, Arya sedang membicarakan tentang dirinya sendiri, tentang sesuatu yang ia pegang erat di balik sikap dinginnya.

"Aku setuju," kata Senja lembut. "Senja juga begitu. Selalu datang, tidak peduli seberapa buruk hariku."

Arya menoleh padanya, tatapan matanya kali ini tidak lagi dingin, melainkan lebih... mengamati. Ada kilatan samar di sana, seolah ia baru saja menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi, namun keheningan yang menyelimuti mereka kali ini terasa berbeda. Bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh pemahaman. Keheningan yang berbicara lebih banyak daripada ribuan kata.

Senja merasa sedikit lega. Setidaknya, Arya tidak benar-benar menolaknya. Sebuah celah kecil telah terbuka di antara tembok tinggi yang dibangun pria itu. Mungkin, di balik mata dingin itu, ada sebuah kisah yang menunggu untuk dibagikan. Dan Senja, dengan segala kehangatan hatinya, merasa terpanggil untuk mencari tahu.

Senja tersenyum kecil. Senja sore itu terasa lebih indah dari biasanya. Ia merasa, di bawah langit yang sama, ada dua jiwa yang terluka, kini mulai berbagi jejak di bangku taman yang sama. Jejak yang mungkin, suatu hari nanti, akan saling menyatu.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel