Bab 1: Jejak Senja di Bangku Taman
Bias kota Jakarta di penghujung Oktober selalu menyajikan pemandangan yang sama. Langit mulai merona oranye, matahari perlahan tenggelam di balik gedung-gedung pencakar langit, dan alunan klakson kendaraan seolah tak pernah benar-benar hening. Namun, bagi Senja Putri Langit, fenomena senja bukanlah sekadar penanda berakhirnya sebuah hari. Lebih dari itu, senja adalah sebuah jeda, sebuah ruang personal yang ia ciptakan di tengah hiruk-pikuk kehidupannya. Ia menemukan pelarian, meski hanya sesaat, dari bayangan-bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar lenyap dari benaknya.
Seperti sore-sore sebelumnya, langkah kaki Senja membawanya ke sebuah bangku kayu reyot di taman kota yang jarang dikunjungi orang. Letaknya tersembunyi di bawah rimbunnya pohon beringin tua, akarnya yang besar mencuat ke permukaan tanah, seolah menjadi saksi bisu setiap kisah yang singgah. Bangku itu adalah tujuannya, tempat ia meninggalkan jejak kehadirannya hampir setiap hari sepulang sekolah.
Seragam putih abu-abunya masih melekat rapi di tubuh mungilnya, meski dasinya sedikit mengendur tanda kelegaan setelah jam-jam pelajaran yang padat. Tas ransel abu-abu yang lumayan berat ia letakkan di sampingnya. Kemudian, ia duduk, membiarkan punggungnya bersandar nyaman pada sandaran kayu yang terasa hangat oleh sisa panas matahari. Sebuah helaan napas panjang terlepas dari bibirnya, membawa serta semua penat setelah seharian berkutat dengan rumus-rumus matematika yang rumit dan hafalan sejarah yang membosankan. Matanya menerawang jauh, menatap gumpalan awan putih yang perlahan berubah warna di ufuk barat.
"Kak Senja!"
Suara cempreng nan riang tiba-tiba memecah keheningan yang baru saja ia rajut. Senja menoleh, menemukan sosok adiknya, Bintang, berlari kecil ke arahnya. Topi baseball yang dikenakan Bintang terlihat sedikit miring di kepalanya, menambah kesan menggemaskan. Di belakang Bintang, Bibi Ida berjalan dengan langkah tenang, menenteng kantong plastik berisi gorengan dan minuman dingin. Senja tak bisa menahan senyumnya, senyum tulus yang selalu berhasil dipancing keluar oleh Bintang.
"Bintang! Kenapa lari-lari begitu? Nanti jatuh," tegur Senja lembut, seraya merentangkan tangan menyambut pelukan erat dari adiknya. Wangi khas anak-anak, perpaduan aroma keringat dan sabun yang segar, langsung menyeruak ke indra penciumannya.
"Tadi Bintang lihat Kakak dari jauh. Kayak mau nangis," kata Bintang polos, mendongak menatap wajah kakaknya dengan sorot mata penuh ingin tahu.
Senja terkekeh kecil, mengusap puncak kepala Bintang penuh sayang. "Mana ada. Kakak cuma lagi menikmati senja saja." Ia melirik Bibi Ida yang kini sudah duduk di bangku sebelah.
Bibi Ida tersenyum tipis, memahami. "Memang begitu, Bintang. Senja itu obat untuk Kakakmu." Ia menyerahkan sekantong tahu isi hangat dan segelas es jeruk pada Senja. "Makan dulu, Nduk. Dari tadi belum makan, kan?"
Senja menerima makanan itu dengan senang hati. "Terima kasih, Bi." Ia menggigit tahu isi yang masih mengepulkan asap tipis, merasakan gurihnya tahu berpadu dengan bumbu kacang yang lezat di lidah. Selalu saja, masakan Bibi Ida berhasil menghangatkan hatinya, seolah ada kehangatan yang merambat dari perut hingga ke jiwanya.
Sementara Bibi Ida dan Bintang asyik bercengkrama tentang pelajaran sekolah dan mainan baru yang sedang populer, perhatian Senja kembali tertuju pada langit. Semburat jingga kini kian pekat, perlahan memudar menjadi ungu yang lembut di tepian cakrawala. Ada sesuatu yang begitu menenangkan dari transisi warna itu, sesuatu yang mengingatkannya pada siklus kehidupan yang tak pernah putus; dari terang ke gelap, lalu terang lagi. Sebuah pengingat bahwa, konon, setelah badai terlewati, pasti akan ada pelangi yang muncul.
Namun, pengingat itu seringkali terasa ironis baginya. Sudah bertahun-tahun berlalu, sejak kecelakaan tragis itu merenggut seluruh keluarganya dan menyisakan dirinya serta Bintang. Sejak hari itu, Senja merasa pelangi dalam hidupnya seolah enggan muncul, tertutup awan mendung yang tak terlihat. Ia memang hidup, bernapas, bahkan tertawa riang seperti remaja lainnya. Namun, ada kepingan dirinya yang hilang, terkubur dalam-dalam bersama kenangan pahit di hari hujan yang mematikan itu. Kepingan yang ia tutupi rapat-rapat di balik senyum ramah dan sikap ceria yang selalu ia tunjukkan pada dunia. Tidak ada yang boleh tahu, tidak ada yang boleh melihat luka itu. Terutama Bintang, adiknya yang polos dan hanya memiliki dirinya di dunia ini. Kebahagiaan Bintang adalah prioritas utamanya, alasannya untuk terus kuat dan berpura-pura baik-baik saja.
Senja menoleh, menatap Bintang yang kini asyik bermain mobil-mobilan di tanah, sesekali tertawa renyah saat mobil mininya menabrak akar pohon. Rasa damai menyelimuti hatinya melihat Bintang yang begitu lepas.
Pandangannya kemudian beralih ke bangku taman yang lebih sepi di seberang mereka. Bangku itu biasanya selalu kosong, seolah menunggu kehadiran seseorang. Namun, sore ini, ada siluet asing yang menarik perhatiannya. Seorang laki-laki duduk di sana, membelakanginya, dengan postur tubuh yang tegap dan rambut hitam legam yang sedikit gondrong di bagian tengkuk. Ia mengenakan seragam putih abu-abu yang sama dengan seragamnya, namun dengan aura yang sangat berbeda. Aura yang terasa dingin, menyendiri, dan begitu pekat.
Senja mengerutkan kening. Anak baru? Ia merasa belum pernah melihatnya di sekolah. Pria itu tampak tidak melakukan apa-apa, hanya duduk diam, membiarkan senja menelannya dalam bayang-bayang panjang. Sebuah keheningan yang begitu pekat, bahkan dari jarak jauh pun Senja bisa merasakan energi kesendirian itu memancar darinya.
Matahari kini hampir sepenuhnya menghilang di balik gedung-gedung tinggi, hanya menyisakan semburat merah terakhir di ujung barat. Langit beranjak gelap, menyisakan jejak-jejak warna terakhir yang perlahan memudar.
"Kak Senja, ayo pulang! Sudah gelap," ajak Bintang, menarik ujung lengan seragamnya, membuyarkan lamunan Senja.
Senja tersentak dari pikirannya. "Iya, Bintang." Ia bangkit, merapikan roknya yang sedikit kusut. Sebelum beranjak, pandangannya kembali tertuju pada bangku seberang. Sosok itu masih di sana, tetap diam, tetap sendiri.
Siapa dia? Kenapa ia juga memilih senja untuk menyepi?
Sebuah pertanyaan melintas cepat di benak Senja, meninggalkan jejak rasa penasaran yang samar. Jejak yang mungkin, tanpa ia sadari, akan menjadi awal dari perjalanan panjang di bawah langit yang sama, yang akan mengubah segalanya.
---
