BAB 6: KECANDUAN ML
Aku sangat miris sekali dengan kisah hidup Luna. Sebagai seorang pria polos tentunya aku tidak punya banyak pengalaman. Akan tetapi, kurasa aku belum terlalu tolol untuk memahami alur cerita Luna. Dugaanku, Luna ini sebenarnya dijebak oleh pacarnya sendiri yang bekerja sama dengan Sophia. Uang yang dipinjam oleh Luna kemungkinan adalah uang Luna sendiri yang berasal dari perusahaan. Tidak ada main saham atau apa pun itu.
“Lun, sorry. Ini Cuma pemikiran aku aja. Kalau denger dari cerita kamu barusan kok aku curiganya pacarmu itu ada kerja sama dengan Sophia, ya?” cetus ku.
“Maksud kamu, Ril?”
“Sebenarnya uang itu nggak digunakan untuk main saham, tapi langsung diberikan kepada Sophia. Mereka mengatur semuanya, mulai dari memintamu menggelapkan uang perusahaan, pacarmu pura-pura kalah main saham, pacarmu mengenalkan kamu dengan Sophia. Ngerti, kan?”
“Jadi, uang itu hanya berputar-putar saja, Ril? Dari perusahaan kembali ke perusahaan adalah uang yang sama, begitu? Tapi untuk apa?” tanyanya mempertegas.
“Supaya kamu bisa menghasilkan uang setiap hari untuk mereka berdua. Dari bunga-bunga yang kamu bayar itu ada bagian untuk pacarmu,” kataku karena tidak mungkin secara kebetulan pria baik-baik mengenal seorang Sophia jika tidak berurusan sebelumnya.
Luna sepertinya mulai mengerti. Dia seperti kompor yang tersulut. Tiba-tiba meledak dan ingin pergi menemui Sophia untuk menanyakan fakta sebenarnya antara pacarnya dengan Sophia seperti yang kukatakan tadi.
“Lun, kamu mau ke mana?” cegahku.
“Aku mau ke tempat Sophia, Ril. Dia harus memberitahu aku tentang yang sebenarnya terjadi,” jawabnya penuh emosi.
“Terus kalau dia ngaku kamu bisa apa, Lun? Kamu hanya akan ditertawakan olehnya. Jangan pergi!” cegah ku.
Luna yang emosi tiba-tiba menangis kencang seperti anak kecil. Dia menjedot jedotkan kepalanya di dadaku. Gadis ini benar-benar menyedihkan sekali. Tangisannya menjadi semakin kuat tidak menghiraukan kalau ada tetangga yang datang dikiranya ada apa dengan kami berdua.
Selekas kemudian, dia memelukku, membuat gundukan bulat, besar, lembut itu menempel di tubuhku. Aku pria normal tidak mungkin tidak tergoda. Sayangnya, Luna sedang dalam keadaan terlalu menyedihkan dan tak elok mengambil kesempatan dalam kesempatan semacam ini.
Jadi, aku hanya bisa mengelus punggung Luna. Di dalam otakku tengah merangkai kata-kata untuk kuucapkan agar dia sedikit terhibur. Sayangnya aku pun sama menyedihkan seperti dia juga.
Lama aku berdiam diri sampai tangisan Luna berhenti. Gadis itu melepaskan pelukannya padaku dan mengusap air matanya sendiri.
“Makasih, Ril,” ucapnya.
Entah terima kasih untuk apa. Aku merasa tidak melakukan apa-apa untuk dia. Jadi aku hanya diam saja tidak menjawab. Tapi, tiba-tiba kurasakan remasan lembut pada milikku.
"Lun?!"
"Ril, aku kalau sedih begini pengennya dikentot. Boleh kah aku minta tolong? Tolong kentot aku, ya...," pintanya dengan tatapan mengiba.
"Aduh, gimana ya? Seperti yang kubilang, aku belum pernah begituan. Maaf ya, Lun. Aku...," tolak ku terpotong.
"Tapi, tadi kamu pergi dengan Mbak Sophia. Seharusnya kamu sudah —"
"Sebenarnya nggak!" potong ku. "Tamu yang kuterima menundanya lain kali. Katanya dia akan menghubungi ku," jawabku yang entah benar atau tidak wanita di hotel tadi akan menghubungi aku lagi. Malam ini, aku dan Luna sama-sama sangat kecewa. Masing-masing memiliki rasa kecewa tersendiri, tapi sama-sama merasa masa depan sangatlah gelap, bagaikan berjalan di dalam goa. Keesokan harinya, pagi-pagi aku sudah pergi ke rumah sakit untuk menjenguk bapakku. Mimpi apa aku semalam? Baru sampai di lobi rumah sakit, aku justru bertemu dengan wanita cantik yang waktu itu. Wanita yang memberiku cek senilai 50 juta rupiah. “Wow! Kamu pemain gladiator rupanya, ya? Pagi-pagi begini sudah mengunjungi rumah sakit dengan wajah babak belur begitu,” cibirnya mengomentari penampilanku yang aku akui sangat berantakan karena biru-biru di beberapa bagian wajahku. “Aku nggak suka berkelahi, Kak. Ini ulah orang-orang Sophia,” jawabku yang kuakhiri dengan sunggingan senyum pahit. “Oiya? Kok, bisa? Makanya jangan nakal!” ejeknya padaku. “Apanya? Dia bahkan merampas cek 50 juta darimu, Kak," aduku padanya. Kukira dia akan prihatin dan kasihan setelah mendengar aku dipukuli dan cek darinya dirampas oleh Sophia. Ternyata salah besar. Wanita yang kupanggil kakak itu malah tertawa terbahak-bahak sudah pasti menertawakan aku. “Kamu yang datang padanya berarti kamu yang cari masalah. Sekarang kamu harusnya tahu sebaiknya jauhi dia,” ucapannya di akhiri tawa. Wanita ini sepertinya salah paham padaku. Namun, aku merasa tidak punya alasan untuk menjelaskan apa pun. Toh, dia bukan siapa-siapa bagiku. Jadi, kuputuskan untuk tidak membahasnya lagi meskipun kami kemudian masuk ke dalam lift yang sama. Aku menekan tombol angka 4 di sana lah poli ortopedi berada. “Lantai 4 itu poli ortopedi, emang apanya kamu yang patah? Masih sehat walafiat gitu, kok. Harusnya kamu ke lantai 2 tuh poli bedah. Bedah plastik biar ganteng, hahaha!” Lagi-lagi dia mengejekku. Wanita itu masih saja menertawakan aku. Tapi, ya sudahlah. Aku juga tidak merasa terganggu olehnya. Setidaknya dia juga pernah memberiku cek senilai 50 juta rupiah, meskipun karena itu juga aku jadi babak belur sekarang. “Aku nggak perlu berobat, Kak. Aku datang karena bapakku dirawat di sini. Beliau beberapa hari yang lalu mengalami kecelakaan karena ditabrak mobil,” jawabku setenang mungkin. “Oooo ...!” Wanita itu terlihat sedikit menyesal tapi tidak mengatakan sorry sebagai basa basi. Dia hanya mengangguk dan tidak berkata apa-apa setelahnya sampai kami berada di lantai 4 barulah dia bertanya padaku. “Apa kamu berhutang pada Sophia karena untuk biaya rumah sakit bapakmu?” tanya wanita itu. “Iya, Kak. Permisi!” Begitu pintu lift terbuka, aku bergegas melangkah keluar dan meninggalkan wanita banyak bicara itu. Pagi ini kulihat kedua orang tuaku sangat kacau dengan mata bengkak merah karena terus menerus menangis memikirkan kemiskinan yang tidak berdaya ketika dihadapkan pada sebuah biaya besar untuk operasi. “Pak, Bu. Jangan terlalu banyak berpikir. Aku akan cari solusinya supaya bapak bisa dioperasi secepatnya,” hiburku pada kedua orang tuaku. Kemudian aku meninggalkan mereka untuk bertemu dengan dokter. Dokter itu lantas memberi tahu padaku kalau saat ini kondisi bapak meski sudah melewati masa kritis, tetapi tetap harus segera melakukan operasi untuk menyelamatkan kedua kaki beliau. Jika terlambat maka harus dilakukan amputasi. Oleh sebab itu, aku harus segera mengumpulkan uang untuk membayar biaya operasi tersebut.