Bab 5. Qi Lin yang cerdik
Tiba tiba Ang Lin merasa bahwa ada pernikahan berbau settingan. Dan bukan karena wangsit itu. Ia melihat sang Raja Watanabe memang benar benar menyukai Qi Lin. Ia khawatir kedudukannya akan terganggu dengan kehadiran Qi Lin.
"Tunggu"
Ketika upacara hendak dilakukan Ang Lin sang permaisuri berteriak.
"Ada apa lagi?"
"Tangkap perempuan ini"
"Kenapa?"
"Dia adalah pencuri"
Sontak saja Qi Lin kaget.
"Apa"
"Iya kamu pencuri"
"Mana mungkin raja, saya bukanlah pencuri"
"Coba cek saja gaun pada pakaian itu dan Bra yang dia kenakan"
"Maksud kamu"
"Buka saja gaun itu"
"Apa? Kamu menyuruh aku membuka gaun dihadapan semua orang?"
"Ya ... biar semua orang tahu bahwa kamu seorang pencuri"
"Tidak ... aku tidak akan mempermalukan didepan semua orang"
"Kamu takut melakukannya karena kamu memang pencuri"
"Raja Aku tidak mencuri"
Watanabe berusaha netral.
"Bohong dia pencuri. Kalau pencuri pasti takut melakukannya ya kan"
"Tidak, aku bukanlah pencuri "
"Kalau begitu lakukanlah, copot seluruh pakaian kamu"
"Baik"
Lalu Qi Lin mencopot pakaiannya.
Hanya meninggalkan Bra dan Celana dalamnya.
Raja sangat terkagum kagum dengan tubuh Qi Lin.
Melihat gelagat itu. Langsung Ang Lin kaget keheranan. Ia sebelumnya telah menyuruh dayang dayang untuk menaruh perhiasan itu dibalik gaun pernikahan Qi Lin. Tapi ternyata perhiasan itu tidak ada.
"Mungkin didalam bra dan pakaian dalam itu"
"Mana ... kamu hanya mengada ngada. Aku tidak mencuri"
"Lucuti pakaiannya semuanya"
"Apa ... tidak mungkin aku melakukannya. Aku tidak akan telanjang dihadapan semua orang"
"Karena kamu pencuri pasti takut melakukannya. Kalau bukan pencuri maka akan berani melakukannya"
"Baiklah"
Qi Lin melucuti bra dan pakaian dalamnya hingga telanjang.
"Astaga..."
Raja bergumam. Terlihat jelas kemolekan tubuh Qi Lin tanpa busana membuat Raja semakin kagum melihatnya.
Tapi perhiasan itu tidak ada.
"Ya khan saya bukan seorang pencuri "
Ang Lin melihat dayang dayang.
Dan melotot. Mengapa perhiasan itu tidak ada.
"Haha haha ... lihatlah sang Raja. Permaisuri anda seorang pembohong dan pendusta. Juga tukang fitnah. Saya bukan pencuri. Tapi dia yang pendusta. Maka hukumlah dia"
"Kamu... lancang"
Ujar sang permaisuri.
"Wahai sang Raja. Anda sangat bijaksana. Anda harus tegas dan adil. Kalau pendusta maka bukankah hukumannya pancung?"
"Kamu ..."
Raja Watanabe yang memang terkenal tegas dan bengis mulai terpengaruh.
"Sudah sudah biar saya yang memutuskan. Kamu berpakaian dulu"
Raja Watanabe tak kuat melihat kemolekan tubuh Qi Lin. Dan menyuruh nya berpakaian.
Akhirnya Qi Lin berpakaian kembali.
Ang Lin harap harap cemas. Hukuman apa yang akan diberikan raja.
***
Di kerajaan sebelah ...
Malam itu, dalam pesta perpisahan sederhana, tiap orang memperlihatkan rasa sayangnya pada Otsu, dan pada pagi berikutnya yang terang dan jernih, seluruh keluarga dan para pembantu berkumpul di gerbang depan, melepas kepergian Otsu.
Sukekuro mengirim orang untuk memanggil Ushinosuke, karena menurut perkiraannya Otsu dapat menunggang sapinya sampai Uji. Dan ketika orang itu kembali dengan laporan bahwa anak itu sudah pulang malam sebelumnya, Sukekuro memerintahkan supaya diambilkan kuda.
Otsu merasa statusnya terlampau rendah untuk mendapatkan perlakuan seperti itu, dan ia menolak tawaran tersebut, namun Hyogo bersikeras. Kuda kelabu berbintik-bintik itu dituntun oleh seorang samurai magang, menuruni lereng landai yang menuju gerbang luar.
Hyogo berjalan sebentar, kemudian berhenti. Ia tak dapat menyangkal, kadang-kadang ia merasa iri pada Musashi, sebagaimana ia iri pada siapa pun yang dicintai Otsu. Walaupun hati Otsu menjadi milik orang lain, rasa sayangnya pada Otsu tidak berkurang. Otsu telah menjadi teman perjalanan yang menyenangkan dalam perjalanan dari Edo, dan berminggu-minggu dan berbulan-bulan sesudahnya ia mengagumi pengabdian yang diberikan gadis itu dalam merawat kakeknya. Walaupun cintanya lebih dalam daripada sebelumnya, cinta itu tidaklah mementingkan diri sendiri. Sekishusai memerintahkan ia membawa gadis itu dengan selamat kepada Musashi, dan Hyogo bermaksud melakukannya. Bukanlah sifatnya untuk mendambakan peruntungan orang lain, ataupun merampas peruntungan itu dari orang yang bersangkutan. Tak dapat ia membayangkan tindakan yang terpisah dari Jalan Samurai. Melaksanakan keinginan kakeknya itu sendiri merupakan pernyataan cintanya.
Ia sedang tenggelam dalam angan-angan itu, ketika Otsu menoleh dan membungkuk menyatakan terima kasih pada orang-orang yang telah menunjukkan jasa baik kepadanya. Ia berangkat, dan menyentuh beberapa kembang prem. Melihat secara tak sengaja daun bunga yang berguguran itu, hampir-hampir Hyogo dapat mencium semerbak baunya. Ia merasa itulah terakhir kali ia melihat Otsu, dan ia senang dapat berdoa diam-diam demi kebaikan masa depan Otsu. Ia tetap berdiri dan memandang, sementara Otsu menghilang dari pandangan.
"Pak."
Hyogo menoleh dan senyuman tersungging pada wajahnya. "Ushinosuke. Ya, ya. Kudengar kau pulang juga semalam, biarpun kularang."
"Ya, Pak, ibu saya..." Ushinosuke memang masih terlalu muda, hingga menyebut berpisah dengan ibunya saja bisa membuat ia menangis.
"Baiklah. Bagus kalau seorang anak lelaki memperhatikan ibunya. Tapi bagaimana kau bisa menyelamatkan diri dan ronin-ronin di Tsukigase itu?"
"Oh, mudah, Pak."
"Betul mudah?"
Anak itu tersenyum. "Mereka tak ada di sana. Mereka mendengar Otsu datang dari benteng, karena itu mereka takut akan diserang. Saya kira mereka tentunya pindah ke seberang gunung itu."
"Ha, ha. Kalau begitu, kita tak perlu lagi kuatir dengan mereka, kan? Kau sudah sarapan belum?"
"Belum," jawab Ushinosuke sedikit malu. "Saya tadi bangun pagi, supaya dapat menggali kentang liar buat Pak Kimura. Kalau Bapak suka, nanti saya bawakan."
"Terima kasih."
"Apa Bapak tahu di mana Otsu sekarang?"
"Dia baru saja berangkat ke Edo."
"Ke Edo?..." Dan dengan ragu-ragu, katanya, "Saya ingin tahu, apakah dia sudah menyampaikan pada Bapak atau Pak Kimura tentang keinginan saya."
"Dan apa keinginanmu?"
"Selama mi, saya ingin Bapak menjadikan saya pembantu samurai."
"Kau masih terlalu muda buat pekerjaan itu. Barangkali nanti, kalau kau sudah lebih besar." '
"Tapi saya ingin belajar main pedang. Pak, bantulah saya. Saya mesti belajar selagi ibu saya masih hidup."
"Apa kau belajar pada orang lain?"
"Tidak, tapi saya sudah latihan menggunakan pedang kayu, dengan pohon dan binatang."
"Oh, itu bagus juga buat permulaan. Kalau nanti kau sudah sedikit lebih besar, kau bisa ikut aku ke Nagoya. Sebentar lagi aku akan tinggal di sana."
"Tempat itu di Owari, kan? Tak bisa saya pergi sejauh itu, selagi ibu saya masih hidup."
Hyogo jadi tergerak hatinya, katanya, "Sini ikut aku!" Ushinosuke ikut tanpa berkata-kata. "Kita pergi ke dojo. Akan kulihat, apa kau punya bakat jadi pemain pedang."
"Ke dojo?" Ushinosuke pun bertanya pada diri sendiri, apakah ia sedang bermimpi. Sejak kecil ia sudah menganggap dojo Yagyu yang kuno itu sebagai lambang segala yang paling diinginkannya di dunia ini. Sukekuro memang pernah mengatakan ia boleh masuk, hanya saja itu belum pernah dilakukannya. Tapi sekarang ia diundang masuk oleh salah seorang anggota keluarga!
"Cuci kakimu."
"Baik, Pak." Ushinosuke pergi ke kolam kecil di dekat pintu masuk, dan dengan hati-hati sekali mencuci kakinya. Dengan cermat dibersihkannya kotoran yang ada di sela-sela kukunya.
Begitu berada di dalam, ia merasa kecil dan tidak berarti. Kayu-kayu blandar dan kaso itu tua dan pejal, dan lantai dipoles sampai mengilap, hingga ia dapat berkaca di sana. Suara Hyogo terdengar lain ketika mengatakan, "Ambil pedang."
Ushinosuke memilih sebilah pedang kayu ek hitam dari antara senjatasenjata yang tergantung di dinding. Hyogo mengambil juga sebilah, dan dengan ujung pedang diarahkan ke lantai, ia berjalan ke tengah ruangan.
"Siap?" tanyanya dingin.
"Ya," jawab Ushinosuke sambil mengangkat senjatanya setinggi dada.
Hyogo membuka jurus, sedikit menyudut. Ushinosuke menggembungkan badan seperti landak. Alisnya terangkat, wajahnya mengerut ganas, dan darahnya menderas. Ketika Hyogo memberikan isyarat dengan mata bahwa ia akan menyerang, Ushinosuke menggeram keras. Sambil mengentakkan kaki ke lantai, Hyogo maju cepat ke depan, dan melancarkan serangan menyamping ke pinggang Ushinosuke.
***
"Baiklah karena kegaduhan ini Raja Watanabe akan menjatuhkan kepada sang permaisuri Raja"
"Baik semua, karena Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan, maka saya perintahkan hukuman pancung untuk Ang Lin, permaisuri Raja"
Sontak aja Ang Lin, bersimpuh.
"Janganlah wahai suamiku"
"Tidak. Siapapun yang melakukan fitnah maka akan dibunuh"
