Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 06 : Harus bersetubuh

Cahaya api kecil menari di dinding goa. Suaranya berdesir lembut, bersaing pelan dengan hembusan angin malam yang menyusup dari celah-celah bebatuan. Shen Li Xuan berlutut di sisi Hua Zhen yang terbaring lemah, keringat dingin membasahi pelipisnya meski tubuhnya menggigil karena kehilangan banyak darah.

Tangannya sibuk mengganti kain balutan di dada Hua Zhen, memastikan ikatan itu cukup kuat menahan aliran darah yang mulai mengering.

“Sedikit lagi,” ucapnya pelan. Suaranya dalam namun lembut, berbeda dari nada perintah yang biasa ia keluarkan.

Hua Zhen mengangguk perlahan. Nafasnya berat tapi senyumnya masih berusaha merekah.

“Hamba… tidak apa-apa…” katanya lirih.

Shen Li Xuan menatap wajah pucat gadis itu dengan ekspresi rumit. “Kau bodoh,” gumamnya. “Kau pikir tubuhmu bisa menahan luka seperti itu? Kalau panah itu menembus lebih dalam, kau sudah mati.”

Namun Hua Zhen hanya menutup matanya sebentar, lalu membukanya kembali dan berkata, “Tapi… hamba senang. Bisa menyelamatkan Yang Mulia, meski hanya sekali seumur hidup…”

Shen Li Xuan memalingkan wajahnya, menyembunyikan sorot mata yang entah mengapa terasa perih.

Tiba-tiba, suara lirih Hua Zhen menyusul, “Yang Mulia… hamba haus.”

Shen Li Xuan menoleh cepat. “Haus?”

Hua Zhen mengangguk pelan. “Sejak di rumah hiburan… hamba tak pernah benar-benar minum air bersih. Yang ada hanya tangis. Hari ini hamba terlalu banyak menangis... jadi haus sekali.”

Untuk sesaat, Shen Li Xuan terdiam. Lalu ia berdiri, mengambil jubahnya dan menatap keluar mulut goa.

“Baik. Aku akan cari air. Kau diam di sini. Jangan bergerak sedikit pun. Mengerti?”

Hua Zhen kembali mengangguk pelan.

“Maaf telah merepotkan Yang Mulia… hamba tidak bermaksud—”

Belum sempat kalimatnya selesai, suara Shen Li Xuan memotong, tajam dan dingin seperti angin malam.

“Diam. Kau sama sekali tidak merepotkanku. Kalau merepotkan, mungkin sudah dari tadi kau kubuang ke jurang karena tak berguna untukku.”

Ucapan itu seperti bilah tipis yang menyayat perasaan. Wajah Hua Zhen sontak berubah. Matanya membelalak, lalu menunduk, menyembunyikan guratan kecewa yang sempat muncul sekilas.

“Maaf…” gumamnya pelan.

Shen Li Xuan menoleh, dan melihat ekspresi itu—mata yang sempat bersinar malu-malu kini terlihat suram dan terluka. Baru ia sadari, nada bicaranya terlalu keras… padahal, ia hanya bercanda.

Namun, bagaimana mungkin seorang kaisar seperti dirinya—yang selalu dilatih untuk bersikap dingin dan mematikan—bisa menunjukkan niat bercanda dengan benar?

“Aku tidak serius mengatakan itu,” ucap Shen Li Xuan akhirnya. Suaranya sedikit lebih lembut. “Jangan ke mana-mana. Diamlah di sini dan jangan bersuara. Kalau tidak, kau bisa mengundang binatang buas.”

“Yang Mulia…” lirih Hua Zhen. Suaranya terdengar seperti rengekan kecil, nyaris tak terdengar, namun dipenuhi rasa takut yang tulus.

Mendengar itu, Shen Li Xuan tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di sudut bibirnya. Ia menggeleng pelan, lalu terkekeh.

“Aku hanya bercanda,” katanya, kali ini dengan nada yang benar-benar ringan.

Hua Zhen menatapnya sebentar, lalu mengangguk malu.

Shen Li Xuan bangkit dan mengambil wadah kulit yang biasa dipakai membawa air. “Aku akan cari sungai. Tunggu aku kembali.”

Ia melangkah keluar dari goa, membelah dinginnya malam dan keremangan hutan. Daun-daun berbisik dihembus angin. Langkah kakinya mantap, menyusuri jalur samar yang hanya diterangi cahaya remang dari langit.

Dan di ujung pencarian sunyi itu, suara gemericik air menuntunnya ke sebuah sungai kecil yang tersembunyi di balik rimbunan semak.

Shen Li Xuan mendekat. Ia menunduk, mencelupkan tangannya ke dalam air dingin, lalu membasuh wajahnya. Keringat di pelipisnya mengalir bersama aliran air.

Namun saat ia mengangkat kepala… matanya tertumbuk pada bayangan bulan yang terpantul sempurna di permukaan sungai.

Bulan purnama. Bundar. Terang. Keperakan.

Seketika, jantungnya berdetak lebih cepat.

Ia menegang. Dada terasa sesak. Ada sesuatu yang bergolak dari dalam tubuhnya—sesuatu yang perlahan bangkit dari kedalaman darah keturunan keluarganya yang selama ini selalu berhasil ia redam.

Tidak malam ini.

Shen Li Xuan mengatup rahangnya. Tangannya mengepal erat hingga buku-bukunya memutih.

Waktu perkiraan. Tinggal sepuluh menit sebelum darah yang mengalir dalam dirinya menuntut satu hal yang tak bisa dihindari: persetubuhan. Dorongan yang tak bisa dibendung. Semacam ritual alami yang diwariskan turun-temurun. Bukan kutukan. Tapi lebih buruk dari itu—naluri.

Dan kembali ke istana dalam sepuluh menit untuk melakukannya bersama permaisuri? Mustahil.

Ia menatap air yang tenang itu sekali lagi, sebelum berbalik, melangkah cepat kembali menuju goa. Semakin dekat, tubuhnya mulai terasa panas. Nafasnya memburu. Dan dari balik cakrawala, cahaya bulan terus membuntutinya, menyinari malam yang tak akan lagi sama.

Shen Li Xuan kembali dengan napas memburu, membawa air dalam wadah kulit yang kini terasa ringan dibanding beban yang bergolak di dadanya. Setiap langkahnya semakin berat. Dada berdegup kencang. Panas tubuhnya mulai tak tertahankan. Nafasnya hangat, kasar, mendesis di antara gigi.

Bulan purnama menggantung penuh di langit, cahaya keperakannya menyelinap masuk lewat celah bebatuan goa, memantul samar di dinding.

Begitu memasuki goa… langkahnya terhenti mendadak.

Matanya membelalak.

Di sana—di tengah cahaya redup itu—Hua Zhen duduk membelakangi pintu masuk. Bajunya tergelak ke samping, terbuka dari punggung hingga ke sisi dadanya. Kulitnya pucat, lembut, dan tampak kontras dengan darah kering di sekitarnya. Ia tengah menyeka luka di tubuhnya dengan dedaunan yang telah ditumbuk dan diikatkan dengan robekan kain dalam keterbatasan.

Gadis itu mengerang pelan saat menyentuh lukanya, tak menyadari bahwa ia tak lagi sendiri.

Dan di saat itu pula… tubuh Shen Li Xuan terasa seperti terbakar dari dalam. Pandangannya menggelap. Instingnya mendesak. Dorongan itu menuntut—menggila.

Tidak.

Ini bukan saatnya. Bukan caranya. Dia adalah kaisar… dan dia laki-laki yang pernah bersumpah tak akan menyentuh seorang gadis yang belum siap, terlebih seorang gadis belia yang belum mengerti apa-apa soal dunia.

Shen Li Xuan menggigit bibir, berusaha menahan napasnya yang semakin tak beraturan.

Tapi kemudian Hua Zhen bergerak.

Tubuhnya menoleh sedikit, hendak meraih kembali kain yang tergeletak, saat itulah ia melihat bayangan besar berdiri di belakangnya.

Matanya membelalak.

“Yang Mulia!” serunya panik. Seketika itu juga, tubuhnya membungkuk dan meraih baju yang terlepas, menutup dadanya dengan gemetar.

“A-Ampun… hamba kira Yang Mulia belum kembali…” suara Hua Zhen bergetar, malu dan takut bercampur menjadi satu. Nafasnya memburu, pipinya merona merah, tidak tahu apa yang dipikirkan Kaisar melihat dirinya seperti ini.

Shen Li Xuan memalingkan wajah. Rahangnya mengeras.

Dia berdiri kaku, tubuhnya bergetar menahan. Tapi suara itu—wajah itu—tatapan polos yang ketakutan itu justru memperparah gejolak dalam dirinya.

Ia berbalik, mundur beberapa langkah, dan meletakkan air di dekat pintu masuk tanpa menatap Hua Zhen.

“Kau… tidak salah. Aku yang datang terlalu cepat,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. Suaranya serak, dalam, dan menahan sesuatu yang lebih buas dari sekadar amarah.

Hua Zhen memeluk tubuhnya sendiri. “Hamba… hamba hanya mencoba membersihkan luka sendiri.”

“Aku tahu…” Shen Li Xuan menarik napas dalam-dalam. “Tapi mulai sekarang, jangan… buka bajumu lagi… tanpaku.”

Ucapan itu menggantung, samar, mengandung arti yang bahkan Shen Li Xuan sendiri tak yakin ingin dijelaskan lebih lanjut.

Dia menolehkan kepala sedikit, matanya menatap Hua Zhen sekilas—dan hanya sekilas, tapi cukup untuk menguatkan keputusan berat di hatinya.

Kalau dia tak segera menjauh… dia akan kehilangan kendali.

Shen Li Xuan duduk bersandar di dinding goa, tubuhnya mulai menggigil. Nafasnya berat, kasar, seolah menahan badai dari dalam dadanya. Tangan kirinya mengepal, menekan sisi perutnya. Sementara tangan kanan mencengkram tanah, keras. Urat di lehernya menegang. Wajahnya memucat. Matanya mulai memerah—bercampur antara amarah, hasrat, dan sesuatu yang lebih mengerikan… penderitaan.

Hua Zhen yang sudah mengenakan kembali pakaiannya perlahan melangkah mendekat.

“Yang Mulia… Anda kenapa?” bisiknya pelan.

Shen Li Xuan tidak menjawab. Kepalanya tertunduk, rambutnya menutupi wajah. Tapi suara napasnya begitu jelas, nyaris menggeram.

Hua Zhen semakin takut. Tapi hatinya menolak untuk hanya diam. Ia tahu, apa pun yang terjadi… pria itu sedang menahan sesuatu. Sesuatu yang berat. Sesuatu yang menyakitkan.

“Yang Mulia…” panggilnya lagi, lebih berani. “Apa Anda… sedang dalam bahaya? Dari luar? Atau… dari dalam tubuh Anda sendiri?”

Shen Li Xuan akhirnya mendongak. Mata merahnya bertemu dengan pandangan Hua Zhen. Tapi yang membuat gadis itu terpaku bukan sorot buasnya… melainkan kesedihan yang dalam di baliknya.

“Aku bilang menjauh, kan…” desis Shen Li Xuan lirih, hampir seperti auman. “Kau tidak mengerti…”

Hua Zhen maju setapak. “Tapi saya ingin mengerti.”

“Aku bisa membunuhmu kalau kau tetap di sini, Hua Zhen.”

Gadis itu menahan napas.

Shen Li Xuan menatapnya tajam, lalu dengan suara bergetar ia berkata, “Setiap malam purnama… darah dari leluhurku akan membangkitkan dorongan yang tidak bisa ditahan. Ini semacam… warisan. Tidak bisa dicegah. Tidak bisa dihentikan—kecuali…”

“Penetrasi,” bisik Hua Zhen nyaris tak terdengar, matanya membulat.

Shen Li Xuan mengalihkan wajah, seakan malu mengakuinya.

“Jika tidak…?” tanya Hua Zhen pelan.

“Tubuhku akan membakar dari dalam. Ototku akan pecah. Uratku bisa putus. Dalam kondisi ekstrim, bisa… gila. Atau mati.”

Hua Zhen terdiam, dadanya sesak. Dia tahu, dia tak boleh gegabah. Tapi dia juga tahu… jika tak ada yang dilakukan, pria yang barusan menyelamatkannya itu bisa mati dalam hitungan menit.

Sementara itu Shen Li Xuan meremas rambutnya sendiri, tubuhnya mulai panas. Ia mendesis, nyaris mengerang. Urat di pelipis dan lehernya tampak mencuat jelas. Tubuhnya mulai berkeringat dan gemetar.

Hua Zhen menatapnya dengan perasaan campur aduk. Ketakutan. Belas kasih. Dan dorongan aneh dari dalam dirinya—hasrat untuk menyelamatkan lelaki itu.

Lalu tanpa sadar, langkah kakinya membawa tubuhnya lebih dekat. Ia berlutut di hadapan Shen Li Xuan. Tangannya terulur, ingin menyentuh bahu pria itu.

“Aku bilang JANGAN MENDEKAT!!” bentak Shen Li Xuan keras, memukul dinding di sampingnya. Batu pecah dan berjatuhan.

Tapi justru karena itu, Hua Zhen bisa melihat lebih jelas—wajahnya penuh penderitaan. Tapi bukan karena haus kekuasaan atau nafsu. Tapi karena dia sedang berjuang menahan monster dalam dirinya agar tidak menyakiti orang lain—agar tidak menyakiti dirinya.

Hua Zhen menggigit bibirnya.

Lalu dia bicara dengan suara pelan dan pasti.

“Kalau begitu… hamba akan bantu.”

Shen Li Xuan membelalak.

“Jangan bercanda, Hua Zhen.”

“Hamba tidak bercanda.”

“KAU ANAK KECIL!”

“Hamba bukan anak kecil!” suara Hua Zhen naik sedikit, “Hamba tahu tubuh hamba. Hamba tahu risiko. Tapi hamba juga tahu, hamba tidak akan tinggal diam melihat Anda mati di depan hamba. Kalau hanya tubuh hamba yang bisa menyelamatkan Anda… hamba rela.”

Shen Li Xuan terdiam. Matanya terbuka lebar. Napasnya tercekat. Untuk pertama kalinya, ia tak tahu harus berkata apa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel