Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 02 : Meja Lelang

Paviliun Baihua hari itu diterangi sinar matahari yang menyusup dari celah tirai sutra. Harum mawar dari taman menyelinap masuk, menyatu dengan aroma hidangan mewah yang tersaji di meja bundar.

Kaisar Shen Li Xuan duduk di kursi utama, mengenakan jubah naga berwarna biru gelap tanpa banyak ornamen. Sikapnya tenang, namun dingin. Sejak duduk, ia hanya memindahkan makanan ke mangkuknya tanpa bicara sepatah kata pun.

Di seberangnya, Permaisuri Xie Wanru duduk anggun dalam balutan hanfu putih gading bersulam bunga plum. Tangan halusnya menuang teh dengan gerakan terlatih, lalu menyodorkan cangkir ke arah Kaisar.

“Yang Mulia,” ucapnya pelan, suaranya jernih seperti aliran air, “ini teh qingxiang dari pegunungan timur. Kuperoleh dari utusan pagi tadi. Baunya harum dan menenangkan.”

Shen Li Xuan hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia meraih cangkir itu dan meminumnya dalam sekali teguk, lalu kembali pada nasi dan lauknya.

Hening kembali menyelimuti ruangan.

Wanru menahan napas. Bibirnya tersenyum tipis, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam. “Hamba dengar, Yang Mulia akan memimpin sidang agung tiga hari lagi. Apakah ada yang perlu hamba siapkan?”

Kali ini, Shen Li Xuan hanya menjawab singkat, “Tidak perlu.”

Wanru menunduk sopan, menyembunyikan perasaannya di balik lirikan samar. Ia sudah terbiasa—sejak menikah dua tahun lalu, suaminya yang juga Kaisar, jarang berbicara dengannya lebih dari tiga kalimat.

Ia cantik. Ia sempurna. Tapi bukan dirinya yang Kaisar cari.

Hening itu berlangsung lama, sampai akhirnya Shen Li Xuan meletakkan sumpitnya. Ia berdiri. “Aku akan keluar malam ini.”

Wanru tertegun. “Malam ini, Yang Mulia?”

“Iya.” Suaranya tetap datar. “Jangan kirim pengawal. Aku tidak ingin diikuti.”

Ia melangkah pergi tanpa menunggu jawaban. Bayangan jubahnya lenyap di balik pintu ukiran naga.

Wanru duduk diam di tempatnya. Jemarinya mengepal pelan di atas pangkuan, meski wajahnya tetap tenang.

“Sampai kapan aku hanya akan menjadi permaisuri tanpa suami…” bisiknya lirih, lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.

Di dalam ruang pribadi Kaisar, tirai sutra telah ditutup rapat. Lilin menyala lembut di sudut ruangan, menciptakan bayangan halus di dinding ukiran kayu.

Kaisar Shen Li Xuan berdiri tegap di depan cermin perunggu besar. Tubuhnya tinggi dan berotot, dadanya bidang, lengan kekar dengan garis urat yang menonjol jelas di bawah kulit. Ia sedang mengenakan pakaian rakyat biasa—kain abu gelap tanpa bordiran, ikat pinggang kulit, dan jubah luar sederhana yang menutupi sebagian wajahnya.

Kasim Mo Liu, yang setia melayaninya sejak muda, berdiri di belakang sambil memegang ikat kepala kain lusuh.

“Yang Mulia, biarkan hamba saja yang mengikatkan ini—”

“Tidak perlu,” potong Shen Li Xuan, nadanya tenang tapi tegas.

Mo Liu menarik napas pelan, lalu mundur setengah langkah. Tapi kekhawatiran tak bisa disembunyikan dari raut wajahnya yang sudah mulai menua.

“Yang Mulia... meski ini bukan pertama kalinya Paduka turun ke kota, izinkanlah setidaknya satu pengawal menemani. Hamba khawatir, jalan malam tidak bisa ditebak…”

“Aku akan lebih mencolok jika membawa pengawal,” jawab Shen Li Xuan tanpa menoleh, kini sedang mengikat sabuk kain dengan gerakan cepat. “Jangan ulangi lagi permintaan itu.”

Mo Liu menunduk dalam-dalam. “Baik, Yang Mulia.”

Setelah semua siap, Shen Li Xuan meraih tudung kepalanya dan mengenakannya, menutupi sebagian wajah tampannya yang sudah dikenal rakyat.

Tanpa suara, ia berjalan keluar melalui lorong belakang istana, langkahnya mantap dan ringan. Dalam gelap, ia terlihat bukan sebagai Kaisar, tapi rakyat jelata biasa.

Begitu bayangannya hilang di balik tembok istana, Mo Liu berbalik cepat dan memberi isyarat pada dua bayangan yang sudah menunggu di kegelapan.

“Jaga beliau dari jauh. Jangan biarkan Yang Mulia tahu kalian ada,” bisiknya.

Dua pria bertopeng hitam, pengawal bayangan elit, mengangguk dan segera menghilang ke arah yang sama seperti Kaisar.

Mo Liu berdiri diam menatap langit malam yang tenang.

“Semoga malam ini berjalan damai, Paduka…”

***

“Berhenti menangis! Mau merusak riasan mahal ini, hah?”

Suara bentakan disertai cubitan keras mendarat di lengan atas Hua Zhen. Gadis itu terperanjat, tubuhnya gemetar saat tangan dingin dan kasar pelayan rias terus mengarahkan wajahnya ke cermin besar yang dipenuhi lilin-lilin redup.

Air matanya menetes tanpa suara, tapi cepat diseka paksa dengan tisu halus. “Kau pikir bisa kabur? Di luar ada delapan penjaga, di dalam dua pengawal bersenjata. Sekali loncat jendela, tubuhmu tinggal jadi daging remuk.”

Hua Zhen menggigit bibir. Hatinya berontak, namun tubuhnya tak berkutik. Ia duduk di kursi ukir dengan bantalan merah marun, pakaiannya masih lusuh, rambutnya belum tersisir. Tapi tak lama kemudian, beberapa perempuan cantik berdandan lengkap satu per satu keluar dari balik tirai, tertawa genit dan saling menjatuhkan pandang.

Mereka adalah empat wanita terpilih malam ini. Namun Hua Zhen, si budak baru yang dijual ayahnya sendiri, akan menjadi yang kelima.

Madame Yue Niang, pemilik rumah hiburan Qingluo Fang, masuk dengan kipas lipat berkilau di tangan. Wajahnya anggun namun tajam, matanya menyapu kelima wanita, lalu berhenti pada Hua Zhen.

“Hmm... kau ini, tadinya seperti burung gereja, sekarang mulai terlihat seperti burung phoenix yang baru menetas,” gumamnya sambil mendekat.

Ia mengangkat dagu Hua Zhen. “Tulang pipi yang tinggi... alis alami yang jarang... kulit putih pucat seperti porselen... Mata besar, walau sembab... Tapi lihat hasil riasan ini.”

Kepala perias selesai mengikat sanggul tinggi pada rambut hitam panjang Hua Zhen, dihiasi pin emas berbentuk bunga prem yang gemerlap. Bibirnya dipulas merah delima, pipinya halus bersemu. Gaun sutra ungu tipis dengan detail bordir emas melingkari tubuh rampingnya dengan indah.

Hua Zhen menatap dirinya di cermin, nyaris tak mengenali sosok di balik pantulan itu.

“Wanita baru kita ini... bisa jadi permata di antara bunga-bunga lama,” kata Yue Niang lantang, membuat keempat wanita lain saling berpandangan sinis.

“Tak sepadan!” bisik salah satu dengan nada dengki. “Budak baru pun dipoles tetap saja budak.”

Namun pujian sang Madame sudah menancap kuat di udara. Mata para pelayan bersinar, dan kasak-kusuk mulai terdengar dari para pengintai yang siap mengumumkan kelima wanita ini kepada para tamu kehormatan malam ini.

Sementara itu, Hua Zhen hanya bisa menunduk, jantungnya berdegup keras. Malam ini, hidupnya akan dilelang. Dan ia tidak tahu akan jatuh ke tangan siapa.

***

Langit malam menggantung tenang di atas Kota Changyang. Di antara lampion-lampion merah yang bergoyang lembut dihembus angin malam, seorang pria bertubuh tinggi dengan jubah sederhana warna coklat tua berjalan pelan menyusuri jalanan pasar malam. Tak ada yang tahu bahwa pria biasa itu adalah Kaisar Shen Li Xuan.

Ia menatap sekeliling dengan tenang. Aroma daging panggang, manisan bunga osmanthus, dan teh hangat bercampur dalam udara. Anak-anak kecil tertawa mengejar lampion kecil yang mereka gantung di tongkat, sementara para pedagang sibuk menjajakan dagangan dengan suara lantang.

Senyum tipis muncul di wajahnya. Kedamaian semacam ini, yang jarang ia temui di istana, justru terasa nyata di tengah keramaian rakyat biasa.

Namun ketenangan itu buyar ketika sekumpulan pemuda berlari tergesa dari arah seberang jalan, tertawa-tawa dan saling mendorong.

“Cepat! Telat sedikit kita bisa duduk paling belakang!”

“Aku dengar ada yang perawan! Ayo lebih cepat!”

Shen Li Xuan menoleh. Alisnya terangkat. Ia menghentikan langkah, lalu mengulurkan tangan dan menahan bahu salah satu pemuda yang hampir menabraknya.

“Maaf, sedang ada apa?”

Pemuda itu, awalnya kaget, lalu malah nyengir. “Wah, kau dari luar kota ya? Rumah hiburan Qingluo Fang malam ini lelang lagi! Lima wanita baru, salah satunya... perawan, katanya.” Ia menekankan kata terakhir itu dengan nada penuh rahasia, lalu berbisik. “Rumornya wanita itu cantik sekali, dibeli oleh bangsawan pun pantas.”

Sebelum Shen Li Xuan sempat membalas, pemuda itu malah menarik lengannya. “Ayolah, ikut saja! Kau pasti menyesal jika tidak melihat!”

“Hei—tunggu, aku tidak—”

Terlambat. Lelaki itu terlalu semangat dan kuat nariknya. Dalam sekejap, Shen Li Xuan sudah terseret ke dalam arus pengunjung yang makin ramai menuju rumah hiburan. Ia dibawa duduk di bangku panjang kayu bersama para pria lain yang tampaknya sudah siap mengeluarkan uang.

“Kau punya uang tidak? Tertarik tidak?” tanya si pemuda dengan mata berbinar.

Shen Li Xuan mengangkat alis, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Kukira hanya ingin melihat pasar malam. Tapi ternyata, pasar hiburan lebih menarik, ya?”

Madame Yue Niang berdiri di atas panggung kecil di depan ruangan yang dipenuhi oleh pria-pria berkekuatan dan berpengaruh, yang saling bersaing dengan mata berbinar penuh nafsu. Udara tebal dengan aroma dupa yang menguar, mengambang di antara gelak tawa dan bisikan yang penuh godaan.

“Selamat malam, Tuan-tuan yang terhormat.” Suaranya lembut dan menggoda, penuh karisma yang menahan perhatian. “Malam ini adalah kesempatan langka. Setelah lima bulan vakum, kami kembali membuka lelang wanita-wanita cantik pilihan kami. Masing-masing adalah permata yang berbeda, yang siap menemani dan melayani tuan-tuan yang beruntung. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Harganya? Tentu saja, sebanding dengan keindahannya.”

Para pria itu tidak sabar lagi, berbisik dengan antusias tentang wanita-wanita yang akan diperkenalkan. Mereka tahu, malam ini adalah malam yang penuh dengan godaan.

Madame Yue Niang melambaikan tangannya, memberi isyarat pada pelayan untuk memperkenalkan wanita pertama. Lampu-lampu berkelap-kelip, menciptakan suasana tegang yang menegangkan. Pelayan pertama datang membawa seorang wanita dengan wajah tersembunyi di balik kain halus.

“Wanita pertama,” Madame Yue Niang melanjutkan, “adalah seorang penyanyi terkenal. Wajahnya menawan, suaranya laksana melodi surgawi. Harga mulai sepuluh ribu tael perak.”

Seorang bangsawan tua di belakang segera angkat tangan, menunjukkan minatnya, dan harga langsung melambung. Begitu seterusnya, wanita demi wanita dipamerkan satu per satu. Setiap harga melesat lebih tinggi, dan para pria terus berlomba-lomba menaikkan tawaran mereka.

Namun, ketika tibalah giliran Hua Zhen, ada sesuatu yang berbeda. Tidak seperti wanita lainnya yang tampak tenang, ia tampak gelisah. Wajahnya tertutup sebagian, hanya sepasang mata besar yang bersinar cemas di balik kain tipis. Meskipun tubuhnya ramping dan indah, aura ketakutannya begitu jelas.

Madame Yue Niang menatapnya dengan senyum misterius. “Dan sekarang, Tuan-tuan... Wanita terakhir, seorang bintang malam. Seorang perawan yang indah. Tidak ada yang pernah melihat keindahan sepertinya, dan malam ini, ia akan menjadi milik salah satu dari kalian.”

Madame Yue Niang menyentuh kain penutup wajah Hua Zhen dengan lembut, mengangkatnya dengan penuh dramatis. Mata pria-pria di ruangan itu langsung tertuju padanya, dan seketika itu juga, kegemparan kecil pun terjadi. Bisikan berdengung di udara.

“Ada yang berminat? Mulai harga lima belas ribu tael perak,” seru Madame Yue Niang, suaranya menggoda.

Para pria terdiam sejenak, lalu terpecah menjadi sorak-sorai. Harga langsung melonjak tinggi. Ada yang menawar dua puluh ribu, tiga puluh ribu, bahkan lebih.

Namun, sebuah suara terdengar dari sudut ruangan. Seorang bangsawan tua dengan wajah keriput dan pakaian mewah melangkah maju. “Tiga puluh lima ribu tael! Aku ambil dia!”

Hua Zhen terkejut. Hatinya berdebar, dan matanya mulai berair. Saat pelayan berusaha membawa dirinya menuju pria itu, instingnya membara. Dia tak bisa! Dia tak bisa membiarkan dirinya dijual begitu saja.

Mata bengkak Hua Zhen yang dipenuhi air mata berputar-putar, mencoba mencari jalan keluar dari tempat yang menjeratnya. Tanpa berpikir panjang, ia mendorong pelayan yang membawanya dan berlari dengan sekuat tenaga, berusaha kabur dari ruangan itu.

Suara langkahnya terdengar terhuyung, setiap detik seolah lebih berat dari yang terakhir. Pikirannya hanya dipenuhi satu hal—lari dari takdir yang ditentukan untuknya.

Namun, keberuntungan tidak berpihak padanya. Kakinya tergelincir di atas lantai yang licin, dan tubuhnya terjatuh dengan keras, hampir tak bisa menahan beban tubuhnya yang lelah. Tepat di depan seseorang yang duduk dengan tenang.

Shen Li Xuan. Pria itu menatapnya, tanpa ekspresi, namun sorot matanya tak bisa disembunyikan. Ada ketertarikan yang aneh, seolah dunia di sekitar mereka berhenti sejenak.

Tak ada kata yang keluar dari mulutnya, hanya pandangan tajam yang menelusuri wajah dan tubuh Hua Zhen yang tersungkur di hadapannya.

Hua Zhen, dengan tubuh gemetar, merasakan ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa... aman. Instingnya berkata pria ini bisa menolongnya.

Dengan suara hampir tak terdengar, dia berkata, "Tolong... tolong saya..."

Tatapan mata Shen Li Xuan semakin dalam, seolah menembus ke dalam hati Hua Zhen. Untuk pertama kalinya, ada kegugupan di matanya yang begitu dalam. Tanpa sadar, tangan kanannya terkepal erat, jantungnya berdebar lebih cepat.

Tapi, tak semudah itu.

Madame Yue Niang yang melihat situasi itu dengan cermat segera memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya, "Kejar dia! Jangan biarkan wanita itu kabur!"

Dengan cepat, dua pengawal berlari mengejar Hua Zhen yang masih terjatuh dan mencoba bangkit dengan panik. Mereka tidak akan membiarkan pelarian itu berlangsung lama. Pria tua yang telah menaikkan harga untuk membeli Hua Zhen juga berdiri, wajahnya penuh amarah karena kehilangan kesempatan yang hampir ada di tangannya.

"Aku tidak akan membiarkan wanita ini lolos begitu saja!" serunya, melangkah maju dengan marah, mencoba mendekati Hua Zhen yang masih terbaring lemas di lantai.

Shen Li Xuan memandang situasi itu dengan mata yang berubah tajam. Saat pengawal dan pria tua itu mendekat, Hua Zhen menggigil ketakutan, matanya memohon. Instingnya berkata bahwa pria yang sekarang berdiri di hadapannya adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkannya.

"Tolong saya, saya dijual ayah saya untuk membayar hutang-hutangnya... tolong saya... saya tidak mau ini..." kata Hua Zhen dengan suara serak, penuh keputusasaan. Semua tubuhnya bergetar, tak ada jalan keluar selain berharap pada pria itu.

Shen Li Xuan menatapnya tanpa ekspresi, tetapi di balik matanya, ada ketegangan yang kian memuncak. Apa yang dilihatnya adalah lebih dari sekadar wanita yang terjebak dalam takdir yang kejam. Ada sesuatu dalam diri Hua Zhen yang mengusik hatinya.

Dia mendekatkan dirinya, tubuhnya menutupi Hua Zhen, dan menatap tajam pada para pengawal yang semakin mendekat. "Cukup," ucapnya dengan suara yang dalam, namun penuh perintah.

Para pengawal terhenti sejenak, ragu dengan aura yang terpancar dari tubuhnya. Sebuah aura yang tidak bisa dianggap remeh.

"Dia milikku," lanjut Shen Li Xuan dengan suara yang penuh kekuatan, tanpa memberikan ruang bagi siapa pun untuk meragukan ucapannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel