Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

6

Angkasa duduk di ruang tamu rumah keluarganya, menatap kosong ke arah cangkir kopi di depannya. Di sebelahnya, Jenny duduk dengan tenang, mengaduk-aduk teh sambil sesekali tersenyum. Senyum Jenny selalu menenangkan, tapi anehnya, Angkasa tetap merasa ada sesuatu yang kurang. Sejak keluarganya mulai membicarakan pernikahan, Angkasa berusaha sebaik mungkin untuk menerima kenyataan bahwa Jenny mungkin adalah pilihan terbaik untuknya. Dia adalah gadis yang baik, perhatian, dan sesuai dengan harapan orang tua mereka.

Namun, dalam diam, bayangan Sahara masih mengintai pikirannya. Setiap kali dia mencoba tersenyum pada Jenny, Sahara muncul dalam ingatannya. Wajah Sahara, tawa Sahara, semuanya seperti hantu yang tak bisa dia usir.

“Mau tambah kopinya?” Jenny bertanya lembut, memecah keheningan.

Angkasa menggeleng pelan, lalu tersenyum samar. “Nggak, terima kasih.”

Jenny membalas dengan senyum hangatnya. “Aku senang kita bisa menghabiskan waktu bareng gini. Mungkin kita bisa pergi makan malam nanti? Aku tahu tempat yang baru buka di dekat sini, makanannya enak banget, katanya.”

Angkasa berusaha memasang wajah ceria. “Boleh juga. Kamu pilih tempatnya, ya.”

Di dalam hatinya, Angkasa merasa bersalah. Jenny sudah berusaha keras untuk mendekatinya, tapi dia sendiri belum bisa sepenuhnya membuka hati. Setiap kali mereka bersama, dia hanya merasa ada yang mengganjal. Mungkin karena Jenny terlalu sempurna di atas kertas, tapi entah kenapa, rasanya tidak pernah benar-benar cocok.

---

Setelah makan malam di restoran baru itu, Angkasa mengantar Jenny pulang. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol ringan, tapi pikiran Angkasa terus melayang. Ketika tiba di depan rumah Jenny, dia menatapnya sejenak, ingin mengucapkan sesuatu yang lebih dari sekadar ucapan selamat malam. Namun, tak ada yang keluar dari mulutnya.

“Kamu oke?” Jenny bertanya lembut, melihat Angkasa yang tampak berpikir.

Angkasa tersentak sedikit, lalu mengangguk cepat. “Iya, maaf. Aku cuma lagi banyak pikiran.”

Jenny tersenyum. “Aku ngerti. Kamu nggak harus selalu kelihatan ceria, Angkasa. Aku tahu ini mungkin masih baru buat kita berdua, tapi aku percaya kalau kita pelan-pelan pasti bisa cocok.”

Angkasa ingin membalas senyuman Jenny, tapi yang keluar hanya anggukan kaku. Ketika Jenny melangkah masuk ke rumahnya, Angkasa menatap punggungnya dengan perasaan bingung. Kenapa dia tidak bisa merasa lega dengan hubungan ini? Jenny adalah gadis yang sempurna untuk keluarganya, tapi di dalam hatinya, Sahara masih mendominasi.

---

Di hari berikutnya, di kampus, Angkasa bertemu dengan Aldo di kantin. Seperti biasa, Aldo adalah orang pertama yang mengajak bercanda untuk mencairkan suasana.

“Gue denger lu udah mulai sering jalan sama Jenny,” kata Aldo sambil menyeringai. “Akhirnya, bro! Udah move on dari Sahara, ya?”

Angkasa hanya tersenyum tipis. “Gue coba, Do. Tapi... susah.”

Aldo tertawa kecil, tapi lalu menatap Angkasa dengan lebih serius. “Gue ngerti, men. Gue tahu lu sama Sahara punya cerita panjang, tapi kadang lu harus terima kenyataan. Lu sama Sahara nggak mungkin bareng lagi. Beda agama itu bukan hal yang bisa lu abaikan gitu aja.”

Angkasa menunduk, mengaduk-aduk kopi di depannya. “Gue tahu, Do. Gue tahu ini nggak mungkin. Tapi kadang hati gue nggak sejalan sama logika.”

Aldo menepuk bahu Angkasa. “Gue ngerti kok. Tapi lu harus kasih kesempatan buat diri lu sendiri untuk bahagia. Jenny itu gadis yang baik, dan lu tahu keluarga lu udah berharap banyak sama hubungan ini. Kalau lu terus stuck di masa lalu, lu bakal kehilangan banyak hal.”

Angkasa terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Aldo. Mungkin dia memang perlu memberi kesempatan lebih besar pada Jenny, tapi kenapa rasanya begitu sulit? Apa yang salah dengannya?

---

Beberapa minggu berlalu, dan Angkasa terus mencoba membangun hubungan dengan Jenny. Mereka sering keluar bersama, menonton film, makan malam, dan menghabiskan waktu berdua. Di permukaan, semuanya terlihat baik-baik saja. Bahkan teman-teman mereka mulai mengira bahwa Angkasa telah move on dan mulai menerima Jenny sebagai calon istrinya. Namun, setiap kali Angkasa pulang ke rumah, ketika dia sendirian di kamarnya, pikiran tentang Sahara kembali menghantuinya.

Sore itu, setelah selesai mengerjakan tugas, Angkasa memutuskan untuk menghubungi Jenny. Dia merasa perlu bicara jujur, setidaknya mencoba menyelesaikan kekacauan di hatinya.

“Jenny, aku bisa ketemu kamu sebentar?” tanya Angkasa di telepon.

“Boleh, kamu mau aku datang ke rumah kamu?” jawab Jenny cepat.

“Enggak, aku yang ke tempat kamu aja. Ada yang pengen aku omongin.”

Mereka bertemu di taman dekat rumah Jenny, tempat mereka sering duduk santai bersama. Jenny tampak ceria seperti biasa, tapi wajah Angkasa menunjukkan ada sesuatu yang berat di dalam pikirannya.

“Ada apa, Angkasa?” tanya Jenny, suaranya lembut.

Angkasa menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. “Jenny, aku mau jujur sama kamu. Aku udah berusaha sebaik mungkin untuk membuka hati buat kamu, tapi aku nggak bisa bohong. Sampai sekarang, aku masih... masih kepikiran Sahara.”

Jenny terdiam sejenak, tapi dia tidak tampak terkejut. “Aku tahu,” katanya pelan. “Aku bisa lihat dari cara kamu bersikap. Tapi aku nggak masalah. Aku tahu kamu masih butuh waktu.”

“Tapi... aku nggak tahu berapa lama waktu yang aku butuhkan. Dan aku nggak mau kamu menunggu tanpa kepastian. Kamu gadis yang baik, kamu pantas dapat lebih dari ini.”

Jenny menatap Angkasa dengan mata yang penuh pengertian. “Angkasa, aku tahu kamu masih belum bisa sepenuhnya melupakan Sahara. Tapi aku percaya kalau seiring waktu, kamu akan bisa melepaskan dia. Aku nggak akan maksa kamu untuk langsung mencintai aku sekarang juga.”

“Tapi gimana kalau aku nggak pernah bisa, Jen? Gimana kalau aku terus terjebak di masa lalu?”

Jenny tersenyum lembut. “Aku percaya, Angkasa. Aku percaya kamu akan bisa berdamai dengan masa lalu kamu. Aku nggak buru-buru. Aku tahu kamu orang yang baik, dan aku siap menunggu sampai kamu siap.”

Angkasa menunduk, merasa bersalah sekaligus lega. Jenny begitu sabar, begitu pengertian, tapi di dalam hatinya, dia masih meragukan apakah dia bisa memberi Jenny cinta yang pantas.

---

Di tempat lain, Sahara juga masih terjebak dalam dilema yang sama. Setiap kali dia bertemu Nares, perasaannya semakin campur aduk. Nares adalah pria yang sempurna di atas kertas, selalu sabar, penuh pengertian, dan selalu mendukung Sahara. Tapi di dalam hatinya, Sahara merasa ada sesuatu yang hilang. Setiap kali dia bersama Nares, bayangan Angkasa selalu muncul, membuat Sahara merasa semakin bersalah.

Suatu hari, saat sedang bersama Maryam, Sahara akhirnya memutuskan untuk menceritakan semua yang dia rasakan.

“Yam, aku udah nggak kuat lagi nahan ini semua. Aku bener-bener bingung,” Sahara berkata dengan suara gemetar.

Maryam menatap sahabatnya dengan penuh simpati. “Ra, aku udah bilang dari awal, kamu harus jujur sama diri kamu sendiri. Kalau kamu nggak yakin sama pernikahan ini, kamu harus bicara sama Nares.”

“Tapi aku takut, Yam. Aku takut menyakiti dia. Nares terlalu baik buat disakitin.”

“Tapi kamu juga nggak bisa terus-terusan hidup dengan perasaan bersalah ini, Sah. Kalau kamu terus memaksakan diri, itu justru akan lebih menyakitkan buat dia di kemudian hari.”

Sahara menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi melepaskan Angkasa juga nggak gampang. Aku nggak bisa terus-terusan hidup di bayangannya, tapi aku juga nggak bisa membohongi perasaan aku.”

Maryam meraih tangan Sahara, menggenggamnya erat. “Sahara, cinta itu memang nggak selalu mudah. Tapi kamu harus ingat, kebahagiaan kamu juga penting. Kalau kamu merasa nggak bahagia dengan pilihan ini, kamu berhak untuk mencari jalan yang lain.”

Sahara terdiam, merenungkan kata-kata Maryam. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia harus segera mengambil keputusan. Tapi keberanian untuk melakukannya masih belum dia temukan.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel