Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5

Setelah malam yang panjang dan penuh kebingungan, Sahara akhirnya memutuskan untuk tidur. Tapi tidurnya tidak nyenyak. Pikirannya terus berkeliaran, kembali ke masa-masa dia bersama Angkasa. Meski sudah mencoba move on dan menerima kenyataan bahwa dia sekarang bertunangan dengan Nares, ada perasaan aneh yang masih menghantuinya. Setiap kali Nares bersikap baik, pengertian, dan sabar, Sahara malah semakin merasa bersalah.

Sementara itu, Nares juga bukan tidak menyadari hal ini. Dia tahu kalau Sahara belum sepenuhnya jatuh cinta padanya, dan itu membuatnya berpikir ulang. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Pernikahan yang penuh cinta, atau pernikahan yang dia jalani dengan seseorang yang setengah hati? Di sisi lain, Nares juga tahu bahwa cinta tidak selalu datang di awal. Ia percaya, seiring berjalannya waktu, Sahara akan belajar mencintainya. Untuk sementara, ia hanya bisa memberikan ruang dan waktu.

Di pagi yang cerah, Nares datang ke rumah Sahara, seperti biasa membawa bunga mawar putih kesukaannya. Mereka berdua duduk di teras, menikmati teh sambil berbicara tentang persiapan pernikahan. Sahara terlihat lelah, meski dia berusaha tetap tersenyum.

"Ra, aku bisa lihat kamu lagi banyak pikiran," kata Nares sambil menatap wajah Sahara yang terlihat letih.

Sahara terdiam sejenak, kemudian menarik napas panjang. "Mas Nares, aku jujur... aku nggak tahu apakah ini keputusan yang tepat. Semuanya terasa terlalu cepat."

Nares meletakkan cangkir tehnya, lalu menatap Sahara dengan lembut. "Aku ngerti, Ra. Aku nggak akan maksa kamu. Aku bisa nunggu, nggak apa-apa. Cinta itu bisa tumbuh, kan? Kita punya waktu, nggak perlu buru-buru."

Sahara merasa lega mendengar kata-kata Nares. Namun, di dalam hatinya, ada kebimbangan yang tidak hilang begitu saja. "Tapi, Mas... gimana kalau aku nggak pernah bisa cinta sama kamu seperti yang kamu harapkan?"

Nares tersenyum tipis. "Aku nggak minta kamu cinta sama aku sekarang juga, Ra. Aku cuma minta satu hal: kasih aku kesempatan. Kita lihat nanti, perasaan itu bisa datang atau nggak."

Sahara mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh keraguan. Nares benar-benar pria yang baik, tapi entah mengapa, Sahara merasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungannya. Mungkin karena hatinya masih terikat pada Angkasa, mungkin juga karena dia belum siap sepenuhnya untuk memasuki babak baru dalam hidupnya.

Hari-hari di kampus seolah menjadi pelarian bagi Angkasa, tapi di dalam dirinya, ada rasa kehilangan yang tidak bisa hilang begitu saja. Di antara tumpukan tugas dan diskusi kelompok, bayang-bayang Sahara tetap menghantui pikirannya.

Setiap kali Aldo mencoba mengajaknya untuk lebih terbuka atau berusaha move on, Angkasa hanya tersenyum datar dan mengalihkan topik pembicaraan. Namun, di balik semua itu, dia tahu bahwa dia harus menemukan cara untuk melanjutkan hidupnya tanpa Sahara.

Begitu juga dengan Sahara. Setiap kali dia dan Nares bertemu untuk membahas persiapan pernikahan, Sahara merasakan perasaan yang campur aduk. Nares yang sabar dan selalu mendukungnya membuat Sahara merasa tertekan. Bukan karena Nares, tapi karena dirinya sendiri.

____

Di sebuah kafe kecil yang tenang di sudut kota, Sahara duduk berhadapan dengan Maryam, sahabat yang selalu bisa diandalkannya. Sore itu, udara terasa hangat dan lembut, tapi hati Sahara masih terasa berat. Di depannya, Maryam menatapnya penuh perhatian, menunggu Sahara berbicara.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Yam,” Sahara memulai percakapan dengan nada suara yang lelah.

Maryam tersenyum lembut, mendorong cangkir kopi ke arah Sahara. “Nggak usah dipaksa, Ra. Ceritain aja pelan-pelan.”

Sahara mengambil napas panjang, mencoba mengatur emosinya. “Aku bingung banget akhir-akhir ini. Nares itu baik, pengertian, sabar banget. Tapi aku merasa seperti aku menghianati dia, dan bahkan diriku sendiri.” Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak tahu apakah aku bisa cinta sama dia, Yam. Bukan karena dia nggak pantas dicintai, tapi hatiku masih di tempat lain.”

Maryam mengangguk, tanpa memotong pembicaraan. Dia tahu sahabatnya sedang berjuang keras dengan perasaannya. “Tempat lain itu... Angkasa?”

Sahara mengangguk, air matanya mulai mengalir. “Aku udah mencoba move on, Yam. Aku udah bilang sama diriku sendiri kalau aku harus menerima kenyataan. Tapi semakin aku mencoba, semakin aku merasa terjebak. Dan Nares... dia terlalu baik. Aku merasa bersalah terus setiap kali aku bertemu dia.”

“Masalahnya bukan di Nares, kan?” tanya Maryam lembut.

Sahara menatap sahabatnya, lalu menggeleng. “Iya, masalahnya bukan di dia. Masalahnya di aku. Aku nggak tahu apakah ini keputusan yang benar. Aku udah bertunangan sama Nares, dan pernikahan kami tinggal beberapa bulan lagi. Tapi hatiku masih ragu.”

Maryam meraih tangan Sahara, menggenggamnya erat. “Sah, aku ngerti ini berat buat kamu. Tapi kamu harus ingat satu hal: kamu punya hak untuk memilih apa yang terbaik buat kamu. Kamu nggak harus terus jalan di jalan yang kamu rasa nggak benar, hanya karena orang lain berharap begitu.”

“Tapi... bagaimana dengan keluargaku? Mereka sudah begitu berharap. Apalagi, aku udah bertunangan. Kalau aku mundur sekarang, aku nggak cuma mengecewakan Nares, tapi juga semua orang yang sudah terlibat dalam pernikahan ini.”

Maryam menarik napas dalam. “Sahara, keluarga kamu pasti ingin yang terbaik untuk kamu. Tapi kebahagiaan kamu nggak bisa diukur dari apa yang orang lain pikirkan. Kamu yang menjalani hidup ini, bukan mereka. Dan kalau kamu merasa bahwa ini bukan jalan yang tepat, nggak ada salahnya untuk jujur pada diri sendiri.”

Sahara menunduk, merenungkan kata-kata Maryam. “Aku takut, Yam. Aku takut membuat keputusan yang salah. Nares bilang cinta bisa tumbuh seiring waktu, tapi gimana kalau aku nggak pernah bisa mencintai dia seperti dia pantas dicintai?”

Maryam tersenyum tipis. “Cinta memang bisa tumbuh, tapi itu juga butuh ruang untuk tumbuh. Kalau dari awal kamu sudah merasa tertekan, apa kamu yakin bisa memberi ruang bagi perasaan itu? Dan lebih penting lagi, gimana dengan keyakinan kamu? Kamu sendiri tahu gimana rasanya saat kamu bersama Angkasa. Apakah kamu bisa merasakan hal yang sama dengan Nares?”

Sahara terdiam, air matanya jatuh perlahan ke pipinya. “Aku nggak tahu, Yam. Aku nggak tahu apakah aku bisa merasakan hal yang sama. Angkasa itu bagian besar dari hidupku, meskipun kami harus berpisah karena perbedaan agama. Sampai sekarang, bayangannya masih ada di setiap sudut pikiranku. Dan aku tahu, itu nggak adil buat Nares.”

“Jadi kamu masih cinta sama Angkasa?”

Sahara menunduk, matanya terasa berat. “Iya, aku masih cinta. Tapi... perbedaan kami terlalu besar. Aku nggak bisa egois mempertahankan hubungan yang nggak mungkin. Aku tahu aku harus menerima kenyataan, tapi kenapa rasanya susah banget?”

Maryam terdiam sejenak, berpikir sebelum berbicara lagi. “Ra, aku tahu ini terdengar klise, tapi kadang kita perlu waktu untuk benar-benar sembuh. Kamu baru aja kehilangan cinta yang besar, lalu langsung masuk ke dalam hubungan yang lain. Itu bukan salah Nares atau kamu. Cuma, mungkin kamu butuh lebih banyak waktu untuk berdamai dengan dirimu sendiri sebelum melanjutkan ke tahap pernikahan.”

Sahara menghela napas panjang. “Tapi aku takut mengecewakan Nares. Dia selalu bilang dia bisa menunggu, tapi gimana kalau aku nggak pernah siap? Gimana kalau aku malah menyakiti dia lebih dalam?”

Maryam menatap Sahara dengan penuh empati. “Nares memang baik, tapi kamu juga harus jujur sama dia. Dia pantas tahu perasaan kamu yang sebenarnya. Kalau kamu terus menahan ini, itu justru bisa lebih menyakitkan buat dia di kemudian hari.”

Sahara merenung, membiarkan kata-kata Maryam meresap. Di dalam hatinya, dia tahu Maryam benar. Dia harus jujur, bukan hanya pada Nares, tapi juga pada dirinya sendiri. Tapi keberanian untuk melakukannya masih belum ia temukan.

“Aku takut, Yam,” Sahara berbisik, suaranya gemetar. “Aku takut keputusan apapun yang aku buat akan menyakiti seseorang.”

Maryam merangkul sahabatnya, memberikan dukungan yang begitu dibutuhkan Sahara. “Itu wajar, Ra. Kamu takut karena kamu peduli. Tapi ingat, kamu nggak bisa terus hidup dengan rasa bersalah atau kebimbangan ini. Suatu saat, kamu harus memilih jalan yang menurut kamu benar, meskipun itu berat.”

Sahara menghapus air matanya dan menatap Maryam. “Aku tahu, Yam. Tapi aku butuh waktu. Mungkin aku harus bicara dengan Nares... dan mungkin juga aku harus benar-benar melepaskan Angkasa.”

“Ambil waktu yang kamu butuhkan,” jawab Maryam lembut. “Dan apapun yang kamu putuskan nanti, aku selalu ada di sini buat kamu.”

Sahara tersenyum lemah, merasa sedikit lebih ringan. Meski dilema hatinya belum terpecahkan, setidaknya dia tahu bahwa dia punya sahabat yang akan selalu mendukungnya, apapun yang terjadi. Dengan Maryam di sisinya, Sahara merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi langkah-langkah sulit yang menanti di depan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel