Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7

Sahara duduk di ruang tamu sambil menatap tumpukan undangan pernikahan yang baru saja datang. Warna emas yang elegan menghiasi setiap kartu, sementara namanya dan Nares tertulis besar-besar di bagian depan. Rasanya begitu nyata, tapi juga begitu asing. Setiap kali dia melihat namanya disandingkan dengan Nares, ada sesuatu yang menyesakkan di dadanya.

Ibunya, Bu Fatimah, sibuk mondar-mandir di ruang tamu, memastikan semua persiapan berjalan lancar. “Sahara, udah lihat undangannya, kan? Bagus, kan? Ibu pilih yang terbaik biar semuanya sempurna buat pernikahan kamu.”

Sahara tersenyum tipis, meski di dalam hati ia merasa semakin terjebak. “Iya, Bu. Bagus.”

“Ya udah, nanti kamu sama Nares tinggal bagiin undangannya, ya. Mulai minggu depan aja biar waktunya pas. Nggak usah mikir berat-berat, yang penting kamu santai. Semua sudah Ibu urus kok.”

Sahara hanya mengangguk, merasa seperti robot yang menjalankan perintah tanpa perasaan. Pernikahan ini begitu cepat, begitu mendadak, tapi ia tak bisa menolak. Orang tuanya sudah terlalu bahagia dengan Nares, dan setiap kali ia ingin membicarakan perasaannya, mereka selalu bilang hal yang sama: “Nares pria yang baik, Sahara. Kamu beruntung.”

Malam itu, setelah semua kesibukan berakhir, Sahara kembali ke kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya melayang ke tempat yang jauh. Meskipun Nares adalah pria yang baik, perhatian, dan penuh pengertian, hati kecilnya tetap berteriak. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa dia abaikan. Dan setiap kali ia mencoba mengabaikan perasaan itu, bayangan Angkasa kembali menghantui.

---

Di rumahnya, Angkasa sedang duduk di meja makan bersama keluarganya. Suasana makan malam tampak tenang, tapi pikiran Angkasa jauh dari hidangan di depannya. Ayahnya, Pak Herman, baru saja membicarakan rencana pernikahan dengan Jenny, gadis yang keluarganya anggap sebagai pasangan yang cocok untuk Angkasa. Namun, setiap kali mereka membahas Jenny, Angkasa merasa semakin sulit untuk fokus.

“Angkasa, kamu dengerin nggak, sih?” tanya mamanya, bu Ria sambil menatap Angkasa dengan mata menyipit.

Angkasa tersadar dari lamunannya. “Eh, apa, Ma?”

“Aduh, kamu ini gimana, sih? Kita lagi ngomongin tanggal pertunangan sama Jenny. Kamu nggak ikut mikirin?”

“Oh... iya, Ma. Aku denger kok,” jawab Angkasa dengan senyum yang dipaksakan.

Bu Ria menggeleng pelan. “Kamu harus lebih serius, Nak. Jenny itu pilihan yang tepat buat kamu. Lagipula, keluarganya baik, dan kalian udah cocok dari awal.”

Angkasa hanya mengangguk, tak ingin memperdebatkan lebih jauh. Ia tahu keluarganya hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi perasaannya terhadap Sahara belum bisa ia lupakan. Setiap kali ia berusaha mendekatkan diri dengan Jenny, bayangan Sahara kembali muncul, seperti luka yang belum sembuh.

---

Beberapa hari kemudian, Nares datang ke rumah Sahara dengan wajah sumringah. Seperti biasa, dia membawa bunga mawar putih—bunga favorit Sahara yang entah kenapa akhir-akhir ini justru membuatnya merasa semakin bersalah. Mereka duduk di ruang tamu, berbicara tentang persiapan pernikahan yang semakin mendekat.

“Kamu udah siap bagiin undangannya, Ra?” tanya Nares sambil menyodorkan seikat bunga ke arah Sahara.

Sahara tersenyum tipis dan mengambil bunga itu dengan hati-hati. “Iya, Mas. Besok aku sama Maryam bakal mulai bagiin ke temen-temen.”

Nares tersenyum, tapi ia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sahara tampak lelah, dan meski ia berusaha menyembunyikannya, Nares tahu bahwa tunangannya itu masih menyimpan keraguan di hatinya.

“Ra, aku tahu kamu masih ragu,” kata Nares tiba-tiba, suaranya lembut tapi tegas.

Sahara terkejut, menatap Nares dengan mata besar. “Kenapa kamu bilang gitu?”

“Aku bisa lihat dari cara kamu bersikap. Aku nggak marah, Ra. Aku ngerti kok. Mungkin semuanya terlalu cepat, dan aku juga nggak mau kamu merasa terpaksa. Tapi aku mau kamu tahu, aku serius sama hubungan ini. Aku akan kasih kamu waktu, tapi aku juga berharap kamu bisa jujur sama dirimu sendiri.”

Sahara terdiam, hatinya bergemuruh. Di satu sisi, Nares adalah sosok yang begitu sempurna dan sabar. Tapi di sisi lain, perasaannya terhadap Angkasa tak pernah benar-benar hilang.

---

Setelah Nares pulang, Sahara segera menghubungi Maryam. Ia butuh teman bicara, seseorang yang bisa mengerti kebingungannya. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi, dan Sahara langsung menceritakan semuanya.

“Maryam, aku bener-bener bingung. Semua ini terasa salah, tapi aku nggak tahu harus gimana. Orang tua aku udah terlalu berharap, dan aku juga nggak mau nyakitin Nares. Tapi... aku juga masih nggak bisa ngelupain Angkasa.”

Maryam menatap sahabatnya dengan penuh simpati. “Sahara, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Aku tahu kamu nggak mau ngecewain keluarga kamu, tapi kamu juga nggak bisa bohong sama perasaan kamu sendiri.”

“Tapi, Yam, kalau aku nolak pernikahan ini, orang tua aku pasti kecewa. Mereka udah terlalu jauh dalam persiapan. Aku nggak bisa bikin mereka malu.”

“Tapi apa kamu mau hidup dengan seseorang yang nggak kamu cintai sepenuhnya, cuma demi nyenengin orang lain?” Maryam menimpali cepat.

Sahara menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Yam. Nares itu baik banget. Dia selalu sabar sama aku, selalu ngertiin aku. Tapi... aku ngerasa kayak ada yang kurang.”

Maryam tersenyum lembut. “Denger ya, Sah, cinta itu nggak cuma soal baik atau sabar. Kamu harus bahagia juga. Kalau kamu terus merasa kayak ada yang kurang, mungkin itu pertanda kalau kamu belum sepenuhnya siap untuk ini. Kamu harus ngomong sama Nares dan keluarga kamu, sebelum semuanya terlambat.”

Sahara terdiam, menimbang kata-kata Maryam. Mungkin Maryam benar. Tapi keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya masih sulit ia temukan.

---

Sementara itu, di tempat lain, Angkasa terus berusaha membuka diri untuk Jenny. Setiap kali mereka bertemu, Angkasa berusaha untuk lebih banyak bicara, lebih banyak tersenyum, dan lebih banyak mendengarkan cerita-cerita Jenny. Tapi sekeras apapun usahanya, ia tetap merasa ada jarak yang tak bisa ia jembatani.

Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di sebuah kafe, Jenny akhirnya angkat bicara. “Angkasa, aku tahu kamu lagi berusaha keras buat hubungan ini. Aku lihat kok, kamu bener-bener mencoba. Tapi jujur aja, aku bisa ngerasain kalau hati kamu masih di tempat lain.”

Angkasa terkejut mendengar kata-kata Jenny. “Jenny, aku...”

“Kamu nggak perlu jelasin, Angkasa. Aku ngerti. Aku tahu dari awal kamu masih belum sepenuhnya move on dari Sahara. Tapi aku juga nggak bisa terus kayak gini. Aku nggak mau hubungan kita jadi kayak beban buat kamu.”

Angkasa terdiam. Jenny benar. Meskipun ia berusaha, perasaan terhadap Sahara masih terlalu kuat. “Jenny, aku minta maaf. Aku nggak bermaksud buat nyakitin kamu. Kamu orang yang baik, dan aku pengen hubungan ini berhasil. Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku masih kepikiran tentang Sahara.”

Jenny tersenyum kecil, meskipun matanya tampak sedih. “Angkasa, aku ngerti. Aku nggak marah. Aku cuma pengen kamu jujur sama perasaan kamu. Kalau kamu belum siap buat hubungan ini, aku bisa terima.”

“Jenny, kamu pantas dapat yang lebih baik dari ini. Aku nggak bisa kasih kamu sepenuhnya karena hati aku masih di tempat lain. Mungkin ini nggak adil buat kamu.”

Jenny menatap Angkasa dengan pandangan penuh pengertian. “Kamu nggak usah khawatir. Aku akan baik-baik aja. Aku cuma pengen kamu bahagia, Angkasa. Kalau bersama aku bukan jalannya, aku nggak apa-apa. Yang penting kamu bisa jujur sama diri kamu sendiri.”

Malam itu, mereka berpisah dengan perasaan lega, meskipun ada sedikit kesedihan yang menyelip di antara mereka. Jenny adalah gadis yang baik, dan Angkasa tahu bahwa ia telah menyia-nyiakan kesempatan. Tapi setidaknya, kini ia bisa lebih jujur pada perasaannya.

---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel