Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Di taman yang sunyi itu, mereka terdiam. Hanya suara angin yang berbisik, membawa harapan dan rasa was-was. Nares memang pria yang sabar, dan Sahara tahu itu. Namun dalam dirinya, masih ada kebingungan yang harus dia pecahkan sendiri.

Sementara itu, di tempat lain, Angkasa masih terpuruk dalam kesedihan. Meskipun dia mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa, perasaan kehilangan Sahara terus menghantuinya. Hubungan yang berakhir tanpa sepenuhnya dia pahami membuat luka di hatinya semakin dalam. Dia tahu, dengan Sahara yang sekarang telah bertunangan dengan Nares, peluang untuk kembali bersama sudah sangat tipis, jika tidak mustahil.

Di kamarnya yang sepi, Angkasa menatap foto Sahara di ponselnya. Dia teringat kembali senyuman manis gadis itu, tawa mereka bersama, dan semua kenangan yang pernah mereka buat. Hatinya terasa sesak, namun dia tidak bisa menghindari perasaan itu. "Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?" gumamnya dalam hati.

Sahabat terdekat Angkasa, Aldo, mencoba mendekati dan menghiburnya beberapa kali. Namun, Angkasa selalu menolak untuk membicarakan perasaannya secara terbuka. Hari-hari berlalu dengan Angkasa yang tenggelam dalam pekerjaannya dan rutinitas, berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan pikirannya dari Sahara, meski itu tidak pernah berhasil sepenuhnya.

"Bro, lo nggak bisa terus-terusan kayak gini," ujar Aldo suatu hari saat mereka bertemu di kedai kopi dekat kampus. "Gue tahu lo masih belum bisa move on dari Rara, tapi hidup lo nggak berhenti cuma gara-gara itu."

Angkasa hanya tersenyum pahit sambil mengaduk kopi di depannya. "Lo nggak ngerti, Do. Gue bener-bener cinta sama dia. Kita udah rencanain banyak hal bareng, masa depan, cita-cita, semuanya... Dan tiba-tiba semuanya hilang. Gimana gue bisa move on begitu aja?"

Aldo menghela napas panjang. "Gue ngerti, Bro. Tapi lo juga harus ingat, kalau Rara udah bikin pilihan. Sekarang dia sama Nares. Lo nggak bisa terus-terusan berharap yang udah nggak mungkin."

Angkasa mengangguk pelan, meski hatinya menolak untuk menerima kenyataan itu. "Iya, gue ngerti. Tapi ngerti sama bisa nerima itu beda, Do."

Percakapan itu terhenti ketika telepon Angkasa berbunyi. Dia melihat layar ponselnya dan terkejut melihat nama "Jenny" terpampang di sana. Ingat bahwa Jenny akan segera menjadi bagian dari hidupnya, Angkasa menjawab telepon itu dengan ragu.

"Hallo, Jenny," sapa Angkasa, berusaha terdengar ramah.

"Hai, Angkasa! Kamu sibuk nggak? Aku di kampus sekarang, dan aku agak bingung mau ke mana. Bisa nggak kamu tunjukin aku tempat-tempat di sekitar sini?"

Angkasa melirik Aldo, yang langsung mengangkat alis, seakan mengatakan "Pergilah, bantu dia." Dengan enggan, Angkasa setuju. "Oke, tunggu di depan gedung utama. Aku ke sana sekarang."

Tak lama kemudian, Angkasa sudah berjalan bersama Jenny di sekitar kampus. Mereka berbicara tentang hal-hal ringan, seperti kegiatan di kampus dan mata kuliah yang sedang mereka ambil. Jenny ternyata cukup menyenangkan, dengan tawa yang renyah dan kepribadian yang ceria. Meskipun demikian, hati Angkasa masih tertutup oleh bayang-bayang Sahara, dan dia sulit untuk sepenuhnya terlibat dalam percakapan.

"Angkasa, kamu baik-baik aja?" tanya Jenny tiba-tiba, menghentikan langkah mereka. "Aku merasa kamu sedikit... jauh."

Angkasa tersenyum tipis, mencoba menenangkan diri. "Maaf, Jenny. Aku cuma lagi banyak pikiran aja."

Jenny memandangnya dengan penuh pengertian. "Aku ngerti, pasti ini nggak mudah buat kamu. Tapi aku harap kita bisa jadi teman baik, meski mungkin awalnya canggung."

Angkasa mengangguk, menghargai kebaikan hati Jenny. Namun, dalam hati kecilnya, dia tahu bahwa hubungan ini tidak akan semudah itu. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa dia gantikan begitu saja.

---

Di sisi lain, Sahara menjalani persiapan pernikahannya dengan Nares. Setiap hari, ia merasa semakin tertekan oleh keputusan yang harus ia jalani. Kedua orang tuanya, terutama ibunya, selalu mendorongnya untuk menerima kenyataan bahwa Nares adalah pilihan terbaik. Nares adalah pria yang baik, perhatian, dan selalu ada untuknya. Namun, Sahara merasa seolah-olah sedang mengkhianati perasaannya sendiri dengan mengikuti kehendak orang lain.

"Ra, kamu jangan terlalu khawatir," ujar Nares suatu malam saat mereka sedang duduk bersama di rumah Sahara. "Aku nggak akan memaksamu untuk cinta sama aku sekarang. Kita bisa mulai dari mana pun kamu merasa nyaman."

Sahara tersenyum tipis. "Aku tahu, Mas. Tapi ini sulit buatku. Aku takut aku nggak bisa memberikan perasaan yang kamu harapkan."

Nares menatapnya dengan lembut, seperti biasa. "Perasaan itu akan datang, Ra. Aku yakin. Yang penting, kita saling percaya dan menghormati. Cinta bisa berkembang dari situ."

Meskipun kata-kata Nares menenangkan, hati Sahara masih penuh dengan kebingungan. Dia sering kali terjaga di malam hari, memikirkan keputusannya dan apa yang sebenarnya dia inginkan dalam hidup. Nares memang pria yang sempurna, tetapi apakah dia benar-benar bisa mencintainya dengan tulus? Ataukah hatinya akan selamanya terikat pada masa lalunya bersama Angkasa?

Pada suatu malam, Sahara memutuskan untuk menghubungi Angkasa lagi. Dia merasa butuh untuk berbicara, setidaknya untuk menenangkan hatinya.

"Sa, udah tidur?" Sahara mengetik pesan singkat itu di ponselnya.

Butuh beberapa saat sebelum Angkasa membalas. "Belum. Ada apa, Ra?"

"Aku cuma mau tahu kabarmu. Kamu baik-baik aja?"

Angkasa membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa Sahara sudah menjadi bagian dari masa lalunya, tapi masih ada rasa yang belum tuntas. "Aku baik, Ra. Kamu gimana? Sudah siap dengan semuanya?"

Sahara menahan napas sejenak sebelum membalas. "Aku nggak tahu, Sa. Ini semua terasa terlalu cepat."

Ada jeda panjang sebelum Angkasa mengetik balasannya. "Kamu masih punya waktu untuk berubah pikiran, Ra. Kalau kamu merasa ini bukan yang terbaik buat kamu, jangan paksakan."

Sahara menghela napas panjang. "Aku nggak tahu, Sa. Aku cuma ingin semuanya beres. Aku nggak ingin membuat masalah lebih besar."

Percakapan itu tidak berlangsung lama, tapi cukup untuk membuat Sahara merasa lebih tenang. Meski dia tahu bahwa dia dan Angkasa sudah tidak mungkin kembali bersama, ada kenyamanan dalam mengetahui bahwa dia tidak sepenuhnya sendirian dalam kebingungannya.

---

Hari pernikahan Sahara semakin dekat. Setiap hari, persiapan semakin intens, dan tekanan semakin besar. Sahara merasa terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kendalikan, meski di luar, dia berusaha tersenyum dan tampak tenang. Kedua orang tuanya begitu antusias, dan Nares juga terlihat sangat bersemangat untuk hari besar mereka.

Sementara itu, Angkasa mulai menerima kenyataan bahwa Sahara akan menikah dengan orang lain. Meskipun hatinya masih terasa sakit, dia tahu bahwa tidak ada yang bisa dia lakukan selain menerima takdir. Hubungannya dengan Jenny juga perlahan mulai membaik, meski Angkasa belum bisa memberikan perasaan yang tulus seperti yang dia miliki untuk Sahara.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel