3
Angkasa bergerak mendekati Sahara, menggenggam erat tangan kekasihnya, seolah menyalurkan kekuatan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Aku mau kita udahan, Sa!" Ucap Sahara yang sudah tidak bisa membendung air matanya.
"Kenapa?" tanya Angkasa pelan.
"Aku sudah menerima orang lain untuk masa depanku, dan mungkin memang ini yang terbaik buat Kita." Jawab Sahara.
"Siapa? Apa Nares?"
Diamnya Sahara, berarti membenarkan tebakan Angkasa.
"Kita masih bisa berteman. Nantinya juga pasti akan terbiasa." Ucap Sahara, padahal dirinya sendiri saja harus menahan rasa sesak itu.
"Bila semuanya sudah tak seperti biasanya. Maka, mulailah terbiasa tanpa semuanya. Seperti Aku yang akan membiasakan diri tanpa kamu disisiku lagi." Lanjut Sahara.
"???? ?????? ?????? ?????????, ???? ??? ????? ???? ????????? ???? ???? ???????. ????? ??? ??? ???????, ????????? ???? ???? ???????, ???? ?????????." ?????? ?????.
"???? ?????? ????? ????????????? ????? ???????????, ????? ???????? ????? ???????? ?????? ?????????, ?????????? ???? ???????? ????? ???????????????. ????? ?? ?????? ???????? ???????, ?????? ?????? ????????? ??????, ?????? ??????? ?????? ????????????." ??????? ???????.
"??? ???????????? ?????? ??????? ???????, ???????? ??????? ???? ??? ?????-????? ?????." ????? ?????????.
***
Malam hari, Angkasa berdiam diri di dalam kamarnya. Pikirannya kacau, Sahara benar-benar telah memutuskannya. Gadis itu, akan menjadi milik orang lain.
Angkasa benci Takdir ini. Andaikan waktu bisa diputar kembali, lebih baik dirinya tidak bertemu dengan gadis itu.
Ucapan Sahara terus terngiang-ngiang. Membuat dirinya tidak bisa menahan air matanya. Namun, semua yang diucapkannya benar.
"Sa, Kamu di dalam?" suara Ibunya membuat Angkasa mengusap air matanya secara kasar.
"Iya, Mah!" Angkasa berteriak dari dalam kamar.
"Boleh Mama masuk?" izinnya pada sang Putra.
Ceklek,
Angkasa membuka pintu kamarnya, lalu membukanya lebar agar Mamanya bisa masuk.
"Masuklah, Ma!" Ucap Angkasa.
"Kamu nangis?" tanya Ria – Mama Angkasa.
Melihat mata anaknya memerah, membuat Ria tau kalau Putranya itu abis menangis.
"Kenapa? mau cerita sama Mama?" tanyanya lagi.
Angkasa, meskipun berusaha tidak menangis di hadapan siapapun, namun ketika ditanya seperti itu, membuat dirinya tidak bisa membohongi dirinya sendiri, kalau dia tidak bisa menahannya.
"Sakit, Ma! Rara mutusin Aku!" adunya pada sang Mama sambil memeluknya.
"Tidak apa-apa, ini sudah Takdir Tuhan. Kamu boleh menangis sekarang, tapi nanti kamu tidak boleh menangis lagi. Mama setuju dengan keputusan Rara, mungkin ini yang terbaik buat kalian. Lagi pula keluarga kita ada tradisi perjodohan, dan kamu tidak bisa menolaknya. Besok Jenny akan main kemari. Belajar dari sekarang menerima kehadiran Jenny!." Terang Ria pada putranya.
"Aku tidak bisa berjanji, Ma!" Ucap Angkasa.
"It's okay, tidak masalah. Tapi perlu kamu ingat, Kamu boleh saja berhubungan dengan siapapun, tapi kamu hanya akan menikah dengan Jenny!" Ria mengatakan itu dengan tegas.
"Ingat! Besok Jenny akan kemari, lembutkan perkataanmu pada Jenny, Mama hanya ingin menyampaikan itu!" Lanjutnya lagi.
Setelah kepergian Mamanya dari kamarnya, Angkasa mencoba menghubungi Sahara lewat pesan.
??????? : Ra, sudah tidur?
?????? : Belum, Kenapa?
??????? : Kita masih bisa berteman, kan? Aku harap kamu nggak menghindari aku!
?????? : Tentu, Sa! Kita akan berteman ?
Selanjutnya mereka terus berbalas pesan seperti biasanya.
Angkasa akan mencoba berdamai dengan keadaan.
***
Seperti yang sudah Mamanya katakan, kalau Jenny akan datang berkunjung. Namun, hal yang mengejutkan Angkasa adalah, ternyata Jenny juga akan pindah kamu yang sama dengan dirinya. Mamanya juga sudah berpesan agar dia selalu menemai Jenny saat Jenny membutuhkannya.
Seperti saat ini, Angkasa diminta untuk mengajak keliling kampus itu untuk mengenalkan pada Jenny. Mau tidak mau, Angkasa menurut.
Banyak orang-orang berbisik tentang mereka seperti,
"??? ??????? ???? ??????"
"????? ??????? ????? ????? ???? ?????? ???"
"?? ????? ??????? ?????, ????????! ???????? ??? ???? ??????? ????."
"??????? ???? ???? ??????? ?????, ???? ??????, ???? ?????????!"
Angkasa tidak memperdulikan nya. Dia terus berjalan di samping Jenny, sesekali menjelaskan sesuatu pada Jenny.
Dari kejauhan, Sahara melihat mantan kekasihnya itu berjalan berdampingan dengan gadis lain. Ternyata, rasanya masih tidak rela. Padahal dia juga harus membiasakan ini.
"Lo nggak apa-apa, Ra?" tanya Maryam yang juga melihat Angkasa dengan perempuan lain.
"Nggak apa-apa, lagian kita udah putus kok!" Ucap Sahara dengan menampilkan senyumnya. Namun Maryam tahu, kalau temannya itu, pasti sedang tidak baik-baik saja.
"Ya udah, kita ke kantin aja yuk!" Ajak Maryam yang tidak ingin membahas Angkasa lagi, agar temannya itu secepatnya move on.
Di tempatnya bekerja, Nares menatap layar handphonenya. Saat ini memang pekerjaannya agak senggang. Entah apa yang ada di layar ponselnya itu, membuat Nares tersenyum sendiri.
"Sepertinya Takdir sedang berpihak padaku. Entah Do'a ku yang mana, yang Tuhan kabulkan, yang jelas aku bahagia. Bukan berarti aku bahagia di atas lukamu. Selama ini aku memendamnya, karena kamu mempunyai seseorang di dalam hatimu. Tapi ternyata,Tuhan menjawab Do'a-do'a ku sekarang." Gumam Nares yang ternyata tengah menatap foto Sahara di ponselnya.
Semilir angin pagi berpadu dengan semburat sinar sang surya yang mulai menyapa. Buliran embun yang sebening kristal, menetes dan pecah, mengeluarkan aroma basah. Sahara berjalan perlahan menyusuri taman di pagi hari, menghirup udaranya yang masih segar.
Sudah satu bulan dia putus dengan Angkasa. Dan dalam kurun waktu satu bulan itu juga, kehidupannya berubah. Kedua orang tuanya telah mempersiapkan pernikahannya dengan Nares. Sangat cepat, dan Sahara tidak bisa menolaknya.
Lagi pula, tidak ada alasan untuk Sahara menolak. Nares pemuda yang baik, dan terlebih lagi, Nares juga memahami apa yang tengah dia rasakan.
Nares bilang, meskipun nantinya mereka sudah menikah, Nares akan memberikan waktu untuk Sahara agar bisa menyesuaikan dirinya.
"Hai, Ra!" sapa Nares pada Sahara yang saat itu sedang duduk di bangku taman.
"Mas Nares ngikutin aku, ya?" tuduh Sahara dengan mata memicing.
"Mana ada! Mas kan lagi jogging, nggak liat nih Mas pakai baju olah raga?" ucap Nares menunjuk dirinya sendiri.
"Oh gitu," gumam Sahara.
Nares ikut mendudukkan dirinya di samping Sahara. Menepuk pelan punggung itu.
"Jangan terlalu banyak pikiran," ujar Nares.
"Gimana nggak banyak pikiran, ini pernikahan loh Mas, dan kamu tahu sendiri, aku belum bisa mencintai kamu!" ucap Sahara.
Nares tersenyum kecil, penuh pengertian. "Aku tahu, Ra. Dan aku juga nggak memaksa. Aku ingin kamu menjalani semuanya dengan tenang, tanpa tekanan."
Sahara menunduk, merasa semakin berat. "Aku takut, Mas. Takut nggak bisa menjalani ini dengan baik."
Nares menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, "Kamu nggak perlu takut. Aku akan ada di sampingmu, apa pun yang terjadi. Kita mulai dari dasar, dari kepercayaan dan penghargaan. Cinta... itu akan datang sendiri, seiring waktu."
Sahara hanya bisa terdiam. Sebenarnya Nares adalah pria yang sempurna untuknya, namun hatinya masih terikat pada masa lalunya dengan Angkasa. Dia merasa begitu tertekan oleh kenyataan bahwa perasaannya tidak sejalan dengan keputusan hidup yang telah diatur oleh kedua orang tuanya.
"Mas Nares..." Sahara membuka mulut setelah beberapa saat, suaranya terdengar lemah.
Nares menatapnya lembut. "Ya, Ra?"
"Aku janji akan mencoba. Aku janji akan memberikan yang terbaik. Tapi tolong, jangan berharap terlalu banyak dariku sekarang."
Nares menepuk punggungnya lagi dengan penuh kasih. "Itu sudah lebih dari cukup, Ra. Aku nggak akan menuntut apa-apa darimu. Kita jalani saja satu langkah demi satu langkah."
Di taman yang sunyi itu, mereka terdiam. Hanya suara angin yang berbisik, membawa harapan dan rasa was-was. Nares memang pria yang sabar, dan Sahara tahu itu. Namun dalam dirinya, masih ada kebingungan yang harus dia pecahkan sendiri.
Sementara itu, di tempat lain, Angkasa masih terpuruk dalam kesedihan. Meskipun dia mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa, perasaan kehilangan Sahara terus menghantuinya. Hubungan yang berakhir tanpa sepenuhnya dia pahami membuat luka di hatinya semakin dalam. Dia tahu, kebersamaan dengan Jenny tidak akan pernah sama seperti saat dia bersama Sahara.
Suatu sore, ketika Angkasa tengah berusaha fokus di kelas, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Sahara: "Bagaimana kabarmu, Sa? Semoga semuanya baik-baik saja."
Angkasa tertegun menatap pesan itu. Ini pertama kalinya Sahara mengirim pesan lebih dulu sejak mereka putus. Dia mengetikkan balasan dengan tangan yang sedikit gemetar.
Angkasa: "Baik, Ra. Kamu bagaimana?"
Jawaban Sahara datang beberapa detik kemudian.
Sahara: "Aku baik. Hanya ingin memastikan kamu juga baik."
Angkasa menghela napas panjang, rasanya begitu asing berkomunikasi dengan Sahara tanpa status mereka sebagai sepasang kekasih. Di balik layar, dia tahu hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.
Di sisi lain, Sahara menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Setiap kali berbicara dengan Angkasa, hatinya masih terasa sakit. Namun, dia tahu, waktu akan menyembuhkan semuanya. Dia harus melanjutkan hidupnya bersama Nares, dan berharap cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu.
Namun, perasaan yang pernah ada di antara Sahara dan Angkasa takkan pernah benar-benar hilang. Keduanya hanya bisa belajar untuk menerima kenyataan bahwa takdir telah membawa mereka ke jalan yang berbeda.
