2
Sahara tiba di rumahnya, dengan diantar oleh Nareswara.
Ternyata benar, keluarganya sedang berkumpul.
"Assalamu'alaikum…" Sahara mengucap salam, lalu menyalami orang-orang yang berada di sana, termasuk orang tua Nares.
Nares juga melakukan hal yang sama, seperti Sahara.
"Ada acara apa ini, Yah, Bun?" tanya Sahara pada Ayah dan Bundanya.
"Mending kamu bersih-bersih dulu, nanti kita akan malam bersama," ucap sang Bunda.
Sahara hanya menurut. Dirinya bergegas naik ke lantai dua, dimana kamarnya berada.
Sepeninggalan Sahara, para orang tua kembali bercengkrama.
"Nares, kamu kok masih di sini? Sana kamu juga siap-siap dulu."
Perintah Mamanya yang baru sadar, ternyata anak laki-laki nya masih di sana.
"Emang mau ngapain sih, Ma. Lagian aku masih rapi dan wangi kok, kalau mau makan doang mah," protes Nares.
"Pokoknya Kamu harus mandi terus ganti baju dulu sekarang!" Titah Mamanya yang tidaj bisa diganggu gugat.
Dengan rasa malas, Nares melangkahkan kakinya menuju ke arah rumahnya yang berada di sebelah Rumah orang tua Sahara.
Makan malam yang diselingi sedikit obrolan kecil dan sesekali gelak tawa terdengar di gendang telinga Sahara, tidak membuat Sahara ikut serta dalam obrolan itu.
Dirinya hanya fokus pada makanan yang ada di hadapannya itu.
"Itu makanan di depan kamu nggak bakalan ilang kali, Ra. Ngeliatnya biasa aja!" Tegur Nares, berusaha menggoda Sahara.
Sahara hanya mencebikkan bibirnya, "Apaan sih, orang aku lagi fokus makan kok!"
"Serius amat kamu, Ra! Biasa aja kali nggak usah ngegas." Ledek Nares membuat Sahara semakin kesal saja.
"Siapa yang ngegas?! Pantes aja udah tua masih jomblo aja, orangnya ngeselin gitu!" Sahara meledek balik Nares.
"Biar nggak jomblo lagi, kamu mau nggak jadi pacar mas?" Nares menaik turunkan alisnya semakin gencar menggoda Sahara.
"Dih apaan sih, nggak jelas banget! Aku udah punya pacar, ya!" Ucap Sahara agak ngegas.
"Kalian kan berbeda Ra, yakin bisa bersama-sama selamanya?" Ucap Nares.
Sahara langsung mati kutu jika menyangkut perbedaan itu. Dirinya tidak bisa mengelak ataupun menghindar, memang pada dasarnya dinding pemisah keduanya begitu kokoh.
Ah, Sahara jadi ingin menyalahkan Nares, karena sudah membuat moodnya menjadi buruk.
"Ck … ngeselin banget sih kamu, Mas!" Decak Sahara.
"Biarpun ngeselin gini, tapi tetep ganteng kan?" ujar Nares narsis.
Nareswara memang pemuda yang mudah akrab dengan siapapun. Pembawaanya yang supel, membuat lawan bicaranya tidak merasa bosan, karena kehilangan topik. Meskipun tadi sempat membuat mood Sahara down, tapi detik itu juga, Nares mampu mengalihkan pembicaraan dan membuat mood Sahara membaik.
Sahara akui kalau Nares tampan, tapi sayang, di hatinya sudah terpaut nama lain yaitu 'Angkasa'.
Mengingat tentang kekasihnya itu, hingga saat ini, belum juga memberi pesan. Sahara berniat mengirimi pesan terdahulu. Namun, suara Ayahnya mengurungkan niatnya ketika dirinya akan membuka layar ponsel.
"Lebih baik kita bicarakan di ruang tengah, Mari!"
Ayah Izal – Ayah dari Sahara menginterupsi semua orang, agar berkumpul di ruang tengah.
Mau tidak mau, Sahara pun mengikutinya.
"Ini ada acara apa sih? Kayaknya resmi banget," gumam Sahara namun masih terdengar oleh Nares yang berjalan di sampingnya.
"Nggak tau!" sambar Nares, membuat Sahara mendengus kesal, dan berjalan mendahului Nares. Nares yang melihat itu hanya tersenyum geli.
***
Ketika seluruh keluarga sudah berkumpul, Papa dari Nares mulai berbicara. Sahara hanya pura-pura menyimak, pikirannya masih mengembara, memikirkan kekasihnya yang sama sekali belum mengabarinya. Hatinya begitu resah. Ia ingin segera menelpon kekasihnya itu, tapi acara dua keluarga ini kenapa belum juga selesai. Sampai-sampai suara Bundanya membuyarkan lamunannya.
"Gimana Ra? Kamu mau?" tanya Bunda Fatimah– Bunda dari Sahara.
Sahara yang tidak tau apa-apa, hanya menganggukan kepalanya, karena semua orang sudah menatapnya. Entah itu karena apa. Apa dirinya kelihatan, kalau sedang melamun? Pikirnya.
"Alhamdulillah."
Ucapan rasa syukur dari orang-orang yang berada di sana, membuat Sahara semakin bingung.
Setelah itu, terlihat keluarga Nares berpamitan untuk pulang. Hal itu membuat Sahara lega, akhirnya mereka pulang juga. Dirinya sungguh sudah tidak sabar untuk menghubungi kekasihnya.
***
Bukannya ikut pulang keluarganya, Nares justru mengajak Sahara berbicara di dekat kolam, yang ada di Rumah orang tua Sahara. Hal itu membuat Sahara kesal. Lagi dan lagi ada saja penghalang, padahal hanya ingin menghubungi kekasihnya.
"Ada apa sih, Mas?" Gerutu Sahara begitu mereka sudah duduk di bangku yang ada di dekat kolam renang.
"Kamu yakin menerima perjodohan ini begitu saja?" tanya Nares dengan serius.
Pertanyaan Nares membuat otak Sahara seketika nge-blank.
"Hah?"
"Maksudnya gimana, Mas? tanya Sahara, yang masih mencoba mencerna apa yang baru saja Nares katakan.
"Mending kamu tanya sama Ayah atau Bunda aja deh, udah malem, Mas mau pulang!"
Tidak menjelaskan apapun, Nares meninggalkan Sahara yang masih belum mengerti.
Akhirnya, Sahara masuk ke dalam, mencari Bundanya.
Terlihat sang Bunda yang tengah mengambil air minum di dapur, Sahara segera menghampirinya.
"Bunda … tadi itu maksudnya apa ya?" Sahara bertanya langsung, karena sudah sangat penasaran.
"Yang tadi yang mana?" Bundanya balik bertanya.
"Itu loh Bun, kata Mas Nares, aku menerima perjodohan sama Mas Nares, itu maksudnya gimana?" Sahara menjelaskan.
"Masa gitu aja nggak paham sih, Ra! Ya itu artinya kamu siap dinikahkan sama Nares." Ujar sang Bunda terlihat santai.
"Aku punya pacar, Bunda!" Protes Sahara.
"Kamu sama pacar kamu itu penghalangnya terlalu tinggi, Ra. Meskipun dia pemuda yang sopan, baik, ramah dan bertanggung jawab, tapi ada dinding pemisah yang tidak bisa kalian lalui. Kecuali kalau pacar kamu itu, rela meninggalkan Tuhannya demi kamu!" Nasehat Bunda Fatimah pada putrinya.
"Lagian kamu tadi sudah menerima lamaran Nares. Meskipun bukan lamaran resmi yang memakai cincin sih, karena Papanya Nares minta buat langsung nikah aja." Sambungnya lagi.
"Tapi Bun … ," Sahara mencoba protes lagi.
"Tidak ada tapi-tapian Ra, tadi kamu sendiri yang menjawab iya, waktu Bunda nanya," sela sang Bunda.
"Lalu gimana dengan Angkasa, Bunda!"
Sahara sungguh sangat bimbang, namun apa yang dikatakan sang Bunda memang benar. Lagi pula, dirinya tidak mungkin meminta Angkasa untuk meninggalkan Tuhannya.
"Kamu bicarakan saja baik-baik dengan Angkasa. Bunda yakin, Angkasa akan bisa menerima dengan lapang dada. Angkasa itu pemuda yang baik." Ucap Bunda Fatimah.
Setelah mengatakan itu, Bunda Inayah meninggalkan sang Putri. Biarlah putrinya itu berpikir bagaimana caranya untuk memutuskan sang kekasih.
Perbedaan agama antara Angkasa dan Sahara membuatnya tidak bisa saling memiliki.
***
Sore itu, di sebuah Taman. Taman yang tidak jauh dari kampusnya, Sahara tengah duduk menunggu sang kekasih. Hatinya berkecamuk, bimbang, rasa nyeri, dan rasa tak rela menjadi satu.
"Hei, Sayang." Angkasa tiba, dan langsung duduk di samping Sahara.
"Capek ya?" Sahara mengusap keringat yang membasahi dahi sang kekasih. Kekasihnya itu baru saja selesai bermain basket.
"Ya lumayan. Kamu mau ngomongin apa, kayaknya serius banget?" Angkasa menatap intens wajah kekasihnya yang terlihat sendu. Entah kenapa, perasaan Angkasa menjadi tidak enak.
