Chapter 2: Tittle
Irene terkejut ketika melihat fotonya berada di ranjang bersama dengan Theo berada di ponsel ibunya. Dia tidak menyangka bahwa ibunya akan mengetahui hubungannya bersama Theo selama ini.
"Aku tidak melakukan apapun, kami hanya tidur bersama di hotel saja malam itu. Aku tidak hamil, percayalah." jelasnya dengan sedikit panik sebab dia tak ingin kedua orangtuanya memarahinya.
"Baguslah kalau kau tidak hamil. Aku tidak ingin kau melakukan kesalahan, Irene. Kau masih muda, saatnya untuk berkarir, memiliki pendidikan yang baik dan yang terpenting adalah menyelesaikan apa yang telah kau mulai." Lara menatap kedua mata putrinya serius, selama ini dia sudah memberikan banyak toleransi kepada Irene namun, sepertinya Irene tak menghiraukan hal itu.
"Bagaimana dengan penelitianmu, Irene? Apakah kau sudah mulai mengerjakan?" Lara meneguk segelas anggur merahnya sementara, suaminya sibuk dengan tablet yang berisi mengenai berita dan pekerjaan.
"Aku baru akan mengajukan judul penelitian besok pagi. Mama tau hari ini dosennya ternyata pergi ke luar kota." Jawab Irene sendu. Dia sebenarnya sangat khawatir dengan respon ibunya apalagi ibunya adalah seorang profesor yang selalu ingin dia lulus tepat waktu.
"Apa yang kau lakukan selama ini? Ellen mengatakan bahwa kau sempat tidak masuk perkuliahan selama sebulan di semester ini. Bahkan ketika teman-temanmu sudah masuk pada fase ujian, kau? Kau baru mengajukan judul penelitian?!!" Bentak Lara memarahi Irene, tatapan matanya penuh dengan kekecewaan.
"Lara, dia mungkin butuh waktu. Kau tidak bisa menyamakan dia dengan saudara-saudaranya maupun teman sebayanya. Setiap anak lahir berbeda dan-"
"Tentu saja dia berbeda, Zach! Kau sangat menyayangi dan terlalu memanjakannya!" bentak Lara memotong kalimat suaminya. Dia beranjak dari kursi untuk melanjutkan pekerjaannya. Lara yang sebenarnya tak betah dengan suaminya sebenarnya ingin tinggal di apartemen yang disediakan oleh kampus hanya saja dia tak mau Irene mengetahui apapun yang terjadi tahun lalu.
Setelah mendengar perkataan ibunya yang memarahinya, Irene menangis tersedu-sedu dipelukan ayahnya. Dia tidak tau harus bercerita mulai darimana sebab dia merasa keduanya tak perlu tau tentang apa yang dia rasakan. Dia ingin memendam semuanya sendirian sampai dia dapat melupakannya dan selesai dengan rasa itu.
Zach dengan kelembutan hati memeluk putrinya, membelai rambutnya dan menenangkan putrinya. Dia mengerti perasaan Irene pasti kacau saat ini apalagi mengingat istrinya mungkin masih marah atas kejadian tempo hari. Lara kembali sebab Irene dijadwalkan pulang setelah wisuda akan tetapi, sepertinya Irene sedang memiliki kendala yang tidak bisa dia ceritakan kepada siapapun. Lara sepertinya sangat kecewa apalagi dia telah rela pulang ke rumah suaminya setelah kejadian tahun lalu.
Semua itu Lara lakukan agar putrinya tidak mengetahui apa yang telah terjadi sebenarnya. Dia tak ingin jika hati Irene tersayat ketika mengetahui bahwa ayahnya telah berselingkuh dengan tiga wanita sepanjang pernikahan mereka. Dia tak ingin Irene mengetahui apapun tentang rahasia keluarga Foster sebab itu dapat menyakitinya. Dia sadar benar bahwa ketika mengetahui perselingkuhan ayahnya hal itu juga mempengaruhi hidupnya saat ini.
Lara meminum anggur merah seraya menatap jendela dimana dia melihat suaminya menjadi seorang ayah yang penyanyang untuk putrinya. Sesuatu yang tidak dia dapatkan dari ayahnya semasa dia muda yang hanya dia habiskan untuk pendidikan dan karir. Keduanya terlihat sedang berjalan mengitari taman, bercanda, tertawa satu sama lain. Lara senang melihat hal itu, mana mungkin dia tega menghancurkan kebahagiaan putri semata wayangnya. Dia tak mungkin melakukan sesuatu yang akan menyakitinya sebagai seorang perempuan. Meskipun harus berbohong, mungkin ini adalah jalan terbaik.
"Jangan menghiraukan ucapan ibumu, apapun yang terjadi Papa akan selalu menyanyangimu sebab kau adalah anak kesayangan Papa. Jika perlu, Papa akan menemanimu pergi besok." ucap Zach menawarkan.
"Tidak usah, Papa kan ada pekerjaan besok. Aku tidak ingin merepotkan Papa, nanti Mama marah jika mengetahui hal ini. Nanti dia semakin bilang kalau Papa terlalu memanjakan aku." Irene menyandarkan kepalanya ke pundak ayahnya selama berjalan ke taman.
"Memangnya mengapa kalau Papa memanjakanmu? Apakah itu hal yang salah ketika dilakukan oleh seorang ayah terhadap putri semata wayangnya." Zach berhenti sejenak sembari menatap putrinya dalam, dia tau dia sangat menyanyangi putrinya. Dia melakukan apapun untuk bertahan dengan istrinya termasuk meninggalkan selingkuhannya hanya demi putrinya tetap memiliki keluarga yang utuh.
"Papa terlalu baik untukku, nanti kalau aku sudah menikah. Papa masih ada untuk aku, kan?"
"Papa akan selalu ada, apapun yang terjadi." Zach mencium kening putrinya, mereka kembali melanjutkan berjalan-jalan ke taman untuk memetik beberapa bunga.
Setidaknya Irene merasa sedikit semangat untuk pergi mengajukan judul penelitiannya sebab ayahnya selalu mendukungnya kendati ibunya masih terlihat kesal pagi ini. Padahal Lara kesal sebab ada telpon pagi buta dari asisten pribadinya. Dia hari ini harus bertemu dengan seseorang di kampus. Makanya dia pergi bersama Irene yang akan mengajukan judul penelitian dengan dosennya hari ini.
"Jika butuh bantuan, kau bisa menelpon Anne. Dia akan membantu mencari buku referensi untukmu atau jika kau kesulitan mengerjakan penelitian atau ada yang salah dengan judulnya." Irene sedikit tercengang mendengar kalimat itu keluar dari mulut ibunya.
"Mama serius sayang, jangan terkejut begitu. Kau sesekali harus ingat bahwa ibumu adalah seorang profesor hukum." Lara tertawa kecil merasa sedikit bangga terhadap dirinya sendiri.
"Baiklah, aku akan menelpon Mama jika membutuhkan sesuatu atau Anne jika membutuhkan buku." jawab Irene.
"Baiklah, Mama akan meminta Anne untuk membantumu, hubungi dia sesegera mungkin. Kau tidak akan sendirian mengerjakan penelitian ini." Lara memegang pundak putrinya sebelum akhirnya dia keluar menuju ke gedung dekanat sementara, Irene menuju ke kantor dosen untuk bertemu dengan kepala dosen.
Irene harap ibunya serius mau membantunya daripada hanya menuntutnya untuk cepat selesai tanpa berkontribusi apapun. Jika ibunya membantu, dia pasti akan cepat selesai apalagi jika ibunya melakukan negoisasi dengan dosen untuk cepat meluluskannya sebab hampir semua dosen di Melbourne Law School mengenal Lara yang sering mengisi kegiatan penelitian, pelatihan dan seminar. Namun, Irene tak mau hal itu terjadi sebab ibunya menyukai hasil yang sehat dari pendidikan berbeda dengan hasil-hasil bisnis keluarganya. Irene sedikit mengetahui hal itu walaupun dia tak ingin tau banyak hal tentang keluarganya.
Bagi Irene, dia telah hidup di Melbourne hampir belasan tahun. Dia lupa apa saja yang berubah dari keluarganya selain wajah beberapa anggota keluarganya yang mulai keriput dengan tubuh yang rapuh dan ada yang sudah tumbuh dewasa. Irene tak mau banyak tau tentang keluarganya sebab dia tak ingin ikut campur. Penelitian saja terasa sangat sulit untuknya saat ini apalagi ketika dia ditanyai bermacam-macam mengenai judul penelitian yang dia ajukan. Meski sulit namun, ternyata dia bisa menjawab semuanya yang membuat judul penelitiannya diterima.
Tadinya Irene ingin segera berkonsultasi dengan dosen pembimbing yang telah ditunjuk sesuai dengan tema penelitiannya. Namun, sang dosen sepertinya tak berada di dalam ruangan. Irene manatap sinis ke arah foto yang ditempel di depan pintu ruangan dosen ini. Jika tidak salah, dosen yang ditunjuk untuk Irene merupakan dosen muda yang memiliki banyak penggemar. Namun, Irene hanya menatap sinis mengingat hal itu apalagi dosen itu membuatnya kesal sebab tak hadir hari ini.
"Makan gaji buta!!! Dia ini keterlaluan sekali! Dosen lain biasanya memasang tulisan berisi alasan mereka tidak ada di kantor akan tetapi, dosen ini justru memasang fotonya!! Memangnya siapa yang mau melihat fotonya penuh dengan brewok rimbun seperti itu!!" geram Irene seraya menggigit giginya mengumpat kepada dosen yang kepalang membuatnya kesal.
"Apakah dia terlalu tampan sampai kau menatapnya begitu, hmm?" Irene terpaku ketika mendengar suara gagah itu, tubuhnya seperti masih tersihir oleh suara yang menggelora di hatinya itu.
"Tidak, dia memang tidak tampan!" dia semakin terkejut setelah nyeletuk di hadapan dosen yang merupakan dosen pembimbingnya. Pria itu terlihat seperti pria matang dengan tubuh tinggi, hidung mancung ditambah mata birunya yang terlihat sedikit menggoda Irene.
Dia mengedipkan matanya kepada Irene yang masih terpaku, "Masuk saja, Nona Muda." dia seketika menarik lengan Irene kemudian, menutup pintunya.
"Sekarang, duduklah. Katakan apa yang kau butuhkan?" dia tersenyum tipis menatap Irene yang menelan ludahnya sebab khawatir dosen ini mendengar apa yang sempat dia umpatkan ketika melihat foto dosennya terpasang di depan pintu.
"Pak David telah menyetujui judul penelitian saya jadi, saya ingin berkonsultasi dengan anda, Pak Felix." Felix tertawa kecil mendengar kalimat Irene yang terbata-bata.
"Baiklah, mana judul beserta proposal penelitiannya?" Felix mengangkat alisnya sebelah sebab dia tak diberikan dokumen. Irene seketika menyodorkan dokumen proposal penelitian yang langsung dibaca oleh Felix.
"Baiklah, ini sudah bagus. Jika telah mengerjakan seluruh proposalnya sampai selesai, kau bisa berkonsultasi ulang." Irene terpaku mendengar respon Felix seraya menyerahkan dokumennya kembali. Dia sepertinya tidak membaca dengan benar, gumam Irene dalam hati.
"Tidak ada yang perlu direvisi?" Irene bertanya sebab berkasnya hanya dibaca, itupun sebentar.
"Ibumu itukan seorang profesor yang sudah mengajar tahunan di West Island University. Mengapa tidak tanya dia atau minta dia yang mengerjakan, kau pasti lulus dengan cepat." Felix menatap dalam ke arah Irene yang masih terpaku.
"Jadi, sebenarnya masalahnya apa, Pak?" tanya Irene yang masih heran.
"Tidak ada masalah, Irene. Kerjakan sesuai prosedur penelitian dan judul yang kau ajukan. Setelah selesai mengerjakan, kau bisa bertemu denganku lagi." tegas Felix yang kemudian membuka laptopnya untuk melanjutkan pekerjaannya setelah kembali dari rapat.
Irene masih sangat shock, dia terpaku di hadapan Felix yang sudah terlihat sibuk dengan laptopnya. Dia rasa-rasanya berpikir bahwa berkonsultasi tidak akan sesingkat ini.
"Jika tidak ada keperluan lain maka, kau bisa keluar." ucap Felix yang membangunkan lamunan Irene.
Irene mengucapkan terima kasih sebelum akhirnya meninggalkan ruangan Felix dengan penuh tanda tanya. Dia selalu berpikir bahwa berkonsultasi membutuhkan waktu paling singkat setengah jam atau mungkin lebih dari itu. Teman-temannya selalu bercerita bahwa butuh waktu lama untuk konsultasi sebab dosen mereka yang telalu banyak permintaan. Dosen teman-temannya cenderung banyak bicara, memberikan tanggal kapan penelitiannya harus selesai. Wajar saja teman-temannya seringkali kewalahan ketika masa penelitian tempo hari. Berbeda dengan Irene yang bertemu dalam waktu singkat.
Dia menyempatkan waktu sejenak di perpustakaan untuk mengerjakan ulang penelitiannya sebelum dia kembali ke rumah. Dia sedikit bingung dengan apa yang dimaksud Felix. Dia membaca setiap inti dari penelitian yang dia tulis, ternyata memang banyak yang salah. Penelitiannya juga belum terkonsep dengan baik. Dia mulai mencatat konsep penelitian untuk dia kerjakan minggu ini.
"Irene, ku pikir kau sedang konsultasi?" Claudia duduk di hadapan Irene dengan heran, "Dosennya aneh, dia hanya membaca secara singkat tanpa mengatakan apakah ada yang salah atau tidak, huh." jawab Irene sedikit kesal.
"Beberapa dosen memang begitu tapi, setidaknya kau tidak dimarahi seperti kami." ucap Audrey sembari tertawa ringan.
"Yah, setidaknya dia memang tidak marah akan tetapi, aku rasanya tidak puas apalagi dia mengatakan bahwa ibuku seorang profesor yang sudah mengajar bertahun-tahun dan aku bisa meminta bantuan ibuku. Memangnya semudah itu!!" ucap Irene dengan raut wajah kesal.
Claudia dan Audrey justru tertawa mendengar ucapan Irene, "Sepertinya pak dosen itu benar, apa gunanya memiliki ibu seorang profesor." ucap Audrey.
"Hihh kalian ini! Mama itu tidak seperti yang kalian pikirkan. Dia itu sebenarnya sangat keras, jika bukan karena dia mungkin sekarang aku masih sedih karena Theo." kedua sahabatnya seketika iba mendengar hal itu mengingat mereka selama ini tau tentang hubungan Irene dan Theo.
"Tapi, kami bisa membantu sebisanya saja, Irene." Claudia menepuk lengan Irene.
"Terima kasih, setidaknya aku memiliki sahabat seperti kalian." ucap Irene.
"Mengingat hal itu sebenarnya malam ini Valencia mengadakan pesta ulang tahun di klub. Kita diundang untuk datang." ucap Audrey seraya menunjukkan undangan digital yang dikirim melalui ponselnya.
"Aku tidak akan datang, kalian saja." ucap Irene sendu.
"Ayolah, jangan hiraukan dia jika datang nanti. Kita cukup bersenang-senang saja, hitung-hitung menghadiahi diri sebab judul penelitianmu telah diterima dan selamat mengerjakan penelitian dengan dosen menyebalkan itu." Audrey tertawa kecil.
"Tidak, aku tidak mau datang. Aku akan menghadiri makan malam dengan kedua orangtuaku di Grand Foster Hall Melbourne. Mereka mengadakan acara lelang sekaligus makan malam untuk menyambut investor baru." ucap Irene beralasan walaupun sebenarnya kedua orangtuanya tak mengizinkan dia ikut dalam kegiatan itu.
"Benarkah? Oh, baiklah kami akan pergi. Jika terjadi sesuatu nanti malam, kami akan memberitaumu besok." ucap Claudia.
Claudia dan Audrey membantu Irene mencari sumber data untuk penelitian mereka. Keduanya juga mengerjakan penelitian mereka bersama Irene sebelum akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing. Irene bersiap lebih awal, dia ingin menyusup kali ini sebab dia juga ingin tau alasan mengapa orangtuanya melarangnya untuk pergi dalam kegiatan itu. Dia pergi ke acara itu tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya yang datang paling akhir membuka acara itu. Irene berada di kursi paling belakang dengan menutupi wajahnya dengan membaca buku. Dia mengikuti sepanjang kegiatan lelang yang tidak pernah dia duga.
Ya, lelang manusia. Mendengar saja Irene sudah merasakan kegilaan dari acara ini.
"Alexander Grant Foster won over the price." ucap pembawa acara yang mengumumkan Alexander sebagai pemenang lelang.
"Alexander memang selalu mencoba untuk menang, dia itu sangat populer di pasar gelap. Dia merupakan penyedia organ fresh dan obat-obatan terbaik." ucap salah seorang pria di samping Irene yang tidak asing di telinganya.
"Perhatikan harga yang ditawarkan, harga yang tinggi menunjukkan dominasi Foster di pasar." ucapnya lebih lanjut.
Irene menatapnya, "Apa yang anda lakukan di sini?" Irene terpaku menatap wajah Felix yang tersenyum tipis menatapnya.
To be continued...
