Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

8. Bercinta Dengan Siapa pun

Felix tersenyum getir melihat bagaimana Vivian tengah menari di sana bersama pengunjung lain. Di tangan ada gelas bening berisi wine yang tinggal setengah. Dia meliukkan badan begitu indah mengikuti irama music yang diputar.

Hampir tidak pernah Felix melihat Vivian berjoget seperti itu. kalau pun datang ke bar, dia biasanya hanya akan menikmati minuman saja dan melihat teman-teman yang lain. Ketika satu karyawan kantor pergi karaoke untuk menghibur waktu lelah seharian bekerja, Vivian juga hanya terlihat duduk melihat yang lain.

Ada apa dengannya?

Felix masih memantau dengan jeli. Sekarang dirinya juga sudah menghabiskan wine beberapa gelas, tapi otaknya masih sempurna untuk berpikir dengan jelas. Sementara Wanita di antara kerumunan itu, ada kemungkinan sudah mulai teler.

“Halo Felix, Sayang …” seorang Wanita seksi datang menghampiri. Wanita itu mengusap Felix—megurutnya—mulai dari bagian lengan menuju leher dan pipi.

Felix diam saja membiarkan Wanita itu membelainya. Biasanya juga begini ketika dirinya tengah berada di kelab malam. Namun, bedanya kali ini mata itu focus pada satu titik pada Wanita yang meliuk teler itu.

“Malam ini mungkin kita bisa bermain. Aku bisa memuaskanmu, Felix.” Tangan Wanita itu merambat kebagian celana. Dia meremas sesuatu di sana sambil menggigit lidah.

Felix akan tergoda. Dia merasakan remasan itu dan sekarang merasakan endusan di bagian tengkuk. Dua matanya, bertemu tatap dengan Vivian yang ternyata sudah menoleh ke arah sini sedari tadi. Vivian tampak tersenyum. Senyum dengan kedipan mata, tapi semakin ditatap, semakin terlihat mengerikan.

“Hentikan!” perintah Felix tiba-tiba. “Enyah dari hadapanku!” Felix mendorong Wanita itu dengan cepat sampai kursi dengan tiga kaki di hadapannya bergeser.

“Felix, apa yang kamu—”

“Aku sedang tidak mood malam ini,” ucap Felix dengan cepat sebelum Wanita itu kembali mendekat.

Wanita itu belum menyerah, sampai akhirnya Felix sedikit membentaknya dan membuang muka. Ini cukup kasar, tapi Felix benar-benar sedang tidak mau diganggu. Wanita yang masih meliuk di sana yang saat ini harus ia perhatikan sepenuhnya.

“Kamu di mana?” seseorang bicara dari balik ponsel.

“Kenapa?”

“Aku tanya, kamu di mana? Kenapa bising sekali?”

“Aku di kelab.”

“Dengan siapa?”

“Teman kantorku.”

“Oh ya?”

“Kalau tidak ada yang penting, aku matikan teleponnya.”

Belum sempat si penelpon bicara lagi, Felix sudah menutup panggilannya. Dia memasukkan ponselnya kembali, lalu berbalik badan dan …

“Astaga!” umpat Felix saat itu juga. Gelas yang baru ia raih hampir saja tumpah di meja bar. “Kamu mengagetkanku.”

Vivian hanya meringis dan duduk di kursi kosong di depan Felix. Dia merebut minuman milik Felix lantas meneguknya sampai habis. Felix cukup ngeri sekarang. ketika Vivian menghel nafas dan menjatuhkan kepala di atas meja, hampir saja Felix menjerit. Namun, pada saat itu juga Vivian kembali menegak.

“Hei, apa tadi itu pacarmu?” tanya Vivian.

Felix tidak langsung paham dan sempat berpikir beberapa saat. “Oh, Wanita baju hitam itu?”

“Hemm.”

“Oh, dia hanya orang asing.”

“Aah? Apa dia teman malammu? Sepertinya dia sangat pandai merayumu.”

Felix tahu kalau Vivian mulai teler. Mungkin dia baru saja menghabiskan sekitar empat gelas, tapi anehnya sudah terlihat lunglai. Mungkin karena efek dari masalah yang sedang dihadapi saat ini.

“Kamu mabuk,” ucap Felix.

Vivian menggeleng dengan cepat. “Aku tidak mabuk. Aku hanya sedikit pusing.”

Sekarang Vivian duduk tertegak dengan dada membusung, seperti menunjukkan pada Felix kalau dirinya masih dalam kesadaran yang stabil.

“Sebaiknya aku antar kamu pulang.”

“Tapi aku malas pulang sekarang.”

“Bagaimana kalau orang tuamu mencarimu?”

“Aku sudah mengirim pesan tadi, mereka tidak akan mencariku.”

“Kamu yakin?”

“Iya. Duh! Kenapa kamu cerewet sekali sih!”

Vivian mendesis lalu memutar posisi duduk menghadap meja bar. Dia meminta segelas wine lagi, tapi Felix langsung menggeleng—memberi kode—pada bartender untuk tidak usah memperdulikan Vivian.

“Sebaiknya kita ke luar.” Felix turun dari kursinya. “Aku bosan di sini. Kita cari angin saja di luar.”

“Boleh.”

Felix mengulurkan tangan untuk membantu Vivian turun dari kursi. Ketika sudah melompat dan kakinya menapak di lantai, gandingan itu terlepas, Felix membiarkan Vivian berjalan lebih dulu. Dari jarak sekitar setengah meter saja, diam-diam Felix mengamati lekuk tubuh Vivian yang masih mengenakan pakaian kerja. Rok rempel selutut dan kemeja ketat, membentuk tubuh itu dengan sempurna.

Sebenarnya bukan itu yang ada di dalam otak Felix saat ini. akan tetapi ini tentang pembicaraan siang tadi. Setelah beberapa jam di sini, Felix berpikir mungkin tadi Vivian hanya bercanda. Toh sekarang tidak ada lagi pembahasan tentang itu.

Mereka sekarang sudah sampai di halaman. Di luar tidak terlalu ramai, tidak juga sepi. Beberapa banyak yang berjalan-jalan seperti yang dilakukan Vivian dan Felix. Mereka berjalan santai menyusuri trotoar kota.

“Felix.”

“Ya.”

Felix menoleh. Vivian berjalan dengan kepala menoleh menatap Felix. Matanya terlihat sayu dan lelah.

“Apa menurutmu cinta itu memang tidak ada?”

“Hei, hati-hati.” Felix dengan sigap meraih tubuh Vivian yang tiba-tiba sempoyongan.

Vivian justru terkekeh sekarang. dia kembali mencoba berjalan dengan dipegangi oleh Felix di bagian pinggang. Felix ingin menarik tangannya sendiri, tapi dia takut Vivian lunglai lagi. barulah ketika Vivian kembali berjalan dengan santai, Felix menarik tangannya perlahan.

“Kenapa kamu peduli padaku?” tanya Vivian.

Felix berdengung seperti sedang berpikir. Dia berjalan lebih maju menyeimbangi langkah Vivian. “Kamu teman kerjaku. Bukankah memang seharusnya seperti itu?”

“Mungkin. Tentang yang tadi, apa menurutmu tidak ada hubungan yang serius?”

“Tergantung. Tapi menurutku memang lebih banyak jawaban tidak.”

“Sudah berapa banyak Wanita yang tidur denganmu?”

Felix cukup terkejut dengan jawaban itu. dia berdehem mencoba mengatur dirinya sendiri supaya tidak gugup.

“Kamu yakin ingin tahu?”

“Tidak juga. Aku hanya sedikit penasaran. Kamu sudah sering berkencan, pasti lebih banyak memiliki pengalaman.”

Felix tertawa. Dia sampai menggelengkan kepala lalu menarik napas kemudian sambil menyugar rambutnya. “Memang kamu tidak pengalaman?”

“Hei, aku bukan kamu ya! Aku tidak bercinta dengan siapa pun. Camkan itu!”

“Oke, oke. Tapi kupikir kamu sering melakukannya dengan kekasihmu, kan?”

Seketika Vivian memalingkan wajah dan terdiam. Vivian menunduk dan berjalan sambil menendangi batu kerikil di jalanan.

“Oh, apa aku salah bertanya?” Felix maju lalu berjalan mundur tepat di hadapan Vivian.

“Semua orang begitu, kan?”

Vivian mendongak. “Memang. Tapi tentunya tidak seharusnya tiap malam berganti pasangan kan?”

“Kamu sedang membicarakanku atau kekasihmu?”

Vivian terdiam lagi dan menunduk menatap kakinya yang masih memandangi jalanan. Berikutnya, Vivian mendongak sambil tersenyum tipis.

“Apa aku boleh melakukan hal itu dengan pria lain?”

Langkah mundur Felix terhenti. Kini, keduanya saling menatap beberapa saat seperti sedang bertukar pikiran masing-masing.

“Jika kekasih ku bisa melakukannya dengan yang lain, bukankah aku juga boleh?”

Felix menelan ludah saat itu juga.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel