Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Aku Ingin Mencobanya

Selesai jam makan siang, Felix kembali masuk ke ruang kerjanya. Beberapa karyawan lain juga sudah kembali sibuk bekerja dengan tugas masing-masing.

“Kamu lihat Vivian?” tanya Felix pada Ginnie yang sedang berada di ruang print.

“Aku tidak melihatnya dari tadi. Bukankah tadi denganmu di ruangan packing.”

Felix mengangguk sambil menyapu pandangan barangkali melihat keberadaan Vivian.

“Aku cari saja ke dalam.”

Felix berlalu pergi. Sebelumnya, dia sudah lebih dulu ke ruang packing, tapi Vivian tidak berada di sana. Felix ke luar sejak Vivian mendapatkan panggilan dari sang kekasih, jadi dia memutuskan untuk pergi makan siang bersama Pete. Sekarang dia kembali masuk ke kantor membawakan makan siang untuk Vivian.

Felix berjalan sampai ke lantai tengah. Dia bertanya pada siapa pun yang berpapasan dengannya, namun jawabannya tetap sama. Mereka tidak melihat keberadaan Vivian. Hingga ketika Felix hendak berbalik badan menuju lantai depan lagi, dia berpapasan lagi dengan karyawan lagi.

“Kamu melihat Vivian?”

“Oh, Vivian ya? Tadi aku bertemu dengannya di toilet.”

“Oke, thanks.”

Felix langsung mempercepat langkahnya menuju toilet di belakang. Tepatnya di dekat penyimpanan barang-barang. Sampai dinding yang terbuka, Felix berdiri di sana sambil bersandar. Ini toilet perempuan, Felix tidak mungkin nyelonong masuk ke dalam.

Felix menunggu sambil sesekali bibirnya bergerak mendendangkan lagu kesukaannya. Dia juga sempat mengamati ke sekitar supaya tidak merasa bosan. Namun, ketika sekitar sepuluh menit berlalu dan Vivian tidak kunjung muncul Felix pun merasa khawatir.

Felix menerobos masuk, kemudian memeriksa setiap pintu toilet. Dia mengetuk satu persatu dan membukanya ketika tidak ada yang menyahut. Beberapa kali Felix juga memanggil nama Vivian.

“Vi, kamu di dalam?”

Felix mengetuk pintu toilet yang terakhir. Pintu tersebut terkunci, tapi sama sekali tidak ada yang menyahut dari dalam sana. Mengetuk semakin kencang juga tidak ada tanggapan. Sampai ketika Felix mulai mendorong paksa, terdengar suara lenguhan berat dari dalam sana.

“Ya, aku di sini.”

Felix membulatkan mata seketika. Dia semakin menggedor pintu lebih kuat karena panik.

“Hei, Vi, Buka pintunya. Kamu baik-baik saja.”

Klek!

Pintu terbuka, dan muncullah sosok Vivian yang terlihat lunglai. “Aku tidak kenapa-kenapa,” ucapnya lirih.

Felix tidak yakin kalau Vivian memang baik-baik saja. Dari suaranya yang berat dan parau, pasti baru saja terjadi sesuatu. Felix menjatuhkan bungkusan makanan di lantai, lalu dia sedikit mencondong untuk memeriksa keadaan Vivian. Dua tangan yang kuat, sekarang juga sudah mencengkeram lengan Vivian.

“Kamu kenapa? Apa kakimu sakit lagi?”

Vivian menggeleng. “Aku hanya sedikit pusing.”

“Astaga! aku antar kamu pulang sekarang.”

“Tidak usah!” dengan cepat Vivian meraih tangan Felix. Wajah itu menatap, lalu menggeleng. “Antar aku ke ruanganku. Aku duduk sebentar nanti juga tidak pusing lagi.”

“Kamu yakin.”

“Hm.”

Felix meraih pinggang Vivian yang ramping lalu menuntunnya menuju ruangan yang berada di dekat loker. Ruangan khusus para karyawan untuk beristirahat di jam makan siang.

Sampai di sana, Felix membantu Vivian duduk di sofa. Dia mengangkat kedua kaki Vivian supaya bisa selonjor lurus dan bersandar pada dinding sofa.

“Aku ambilkan minum dulu. Kamu juga belum makan siang, kan?”

Vivian mengangguk.

Selepas Felix ke luar meninggalkan ruangan tersebut, Vivian menghela nafas panjang. Dia mengusap wajahnya yang berkeringat kemudian memijat keningnya. Kepalanya benar-benar pusing sekarang. tubuhnya sangat lelah padahal Vivian belum mulai kerja yang terlalu berat sedari tadi. Rekaman video yang tadi dilihatnya, benar-benar membuat perasaannya hancur.

Saat pintu terbuka, Vivian mencoba untuk duduk dengan tegak meskipun kedua kakinya masih selonjoran. Dia menatap langkah Felix yang mendekat sambil membawa sekotak makan siang dan sebotol minuman. Felix lalu duduk di lantai dan meletakkan makanan itu di atas meja.

“Mau makan sendiri atau aku suapi?”

Vivian menaikkan satu ujung bibirnya dan memutar mata. “Tentu saja makan sendiri.”

“Ya, barangkali kamu mau romantic denganku, kan?”

Vivian menarik dagu mundur ketika mendengar celotehan Felix yang garing itu. dia lalu merebut kotak makanan yang dipegang Felix dengan cepat.

“Aku bisa makan sendiri. Terima kasih.”

Felix tersenyum sambil mendesah dari hidung. Dia merasa lega melihat Vivian sudah terlihat baik-baik saja. Jujur saja, tadi Felix melihat wajah Vivian sangat pucat.

Felix bergeser mundur lalu bersandar pada meja. Dia mengamati Vivian yang begitu lahap dengan makan siang yang dibelinya tadi. Wajah itu benar-benar sangat manis. Bibir bawah yang memiliki garis di tengah, ingin rasanya untuk mencicipi. Wajah itu tidak bulat, tidak juga lonjong. Ini sangat sempurna dengan mata indah berlensa coklat. Bulu matanya tidak terlalu lentik, tapi cukup tebal dari kebanyakan orang. Alis yang melengkung itu, juga semakin memperindah semuanya.

“Apa sedang ada masalah?” Felix membuka pembicaraan.

Vivian hanya menggeleng. Mulutnya sedang penuh, akan kesulitan untuk menjawab. Namun, nyatanya Felix tidak peduli itu. dia mengharapkan sebuah jawaban.

“Apa aku terlihat tidak meyakinkan? Seperti kamu terlalu tertutup denganku?”

Vivian menelan makanan dengan paksa sampai kedua matanya sempat membulat. Dia lalu menatap jengkel ke arah Felix.

“Memang aku harus apa? cerita semua masalahku padamu? Gila!” Vivian sampai mengacungkan sendok ketika sedang bicara. setelahnya, dia kembali menyantap makan siangnya.

“Memang kenapa? Aku bisa dengar cerita kamu. Bukankah kita teman kerja? Ini akan lebih mudah, kan? Ah, atau menurutmu kita harus menjadi teman ranjang.”

Uhuk!

Seketika Vivian tersedak makanannya sendiri. Dia terbatuk-batuk sampai beberapa makanan yang berada di dalam mulutnya menyembur ke luar. Mulanya terkejut, tapi Felix buru-buru mengulurkan membuka botol minuman dan memberikannya pada Vivian.

“Hati-hati, dong!” ucap Felix tanpa rasa bersalah.

Vivian hanya menahan rasa kesalnya sekarang sambil menenggak minumannya. Cukup banyak air yang masuk ke dalam perutnya sampai akhirnya merasa lega.

“Sialan kamu!”

“Maaf, aku kan hanya bercanda.”

“Bercandamu kelewatan.”

“Hei, ayolah. Ini negara bebas. Kamu jangan terlalu serius begitu. Semua hubungan memang begitu, kan?”

Vivian menelan sisa air minumnya lalu meletakkan botol dengan perlahan di atas meja. Kedua kakinya sudah turun ke atas lantai dan dia termenung beberapa saat. Sementara Felix, pria itu sekarang sedang mengambil tisu dan mulai membereskan makanan yang tadi tersembur mengotori lantai.

“Felix …”

“Hm.”

“Apa menurutmu memang tidak ada percintaan yang serius?”

Felix berhenti mengelap lantai dan tertegun. Dia kemudian menarik diri dan duduk kembali ke tempat semula.

“Apa maksud kamu?”

“Tidak, aku hanya penasaran dengan hubungan orang-orang di luar sana. Mereka sampai menikah dan mempunyai anak.”

“Lalu?”

“Apa pasangan itu dijamin saling setia?”

Felix memanyunkan bibir dan manggut-manggut mencoba untuk mencerna pertanyaan Vivian. Dia duduk melipat kedua kaki, dan wajahnya terangkat menatap Vivian yang duduk di atas sofa.

“Tergantung. Tapi … kupikir tidak ada yang serius seratus persen. Banyan pasangan yang aku jumpai di luar sana.”

“Aaaa … tepatnya banyak Wanita yang kamu tiduri, kan? Cih!” seloroh Vivian memotong ucapan Felix.

“Memang kenyataannya begitu, kan? Semua hanya sebatas teman tidur. Tidak ada yang serius.”

Vivian cukup tersinggung dengan kalimat itu. dirinya menyadari kalau hati ini tulus mencintai seseorang, tapi mengingat bagaimana kelakuan sang kekasih di luar sana, sepertinya ucapan Felix memang benar adanya.

“Felix.”

“Ya.”

“Menurutmu bagaimana tentang teman tidur? Em, maksudku teman ranjang?”

Felix mengerutkan dahi dengan wajah bingung sekarang. “Maksud kamu ….”

“Aku ingin mencobanya.”

Dua mata Felix membulat sempurna dengan bibir terbuka. Dia melongo tidak bergerak sama sekali.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel