6. Sebuah Video
Vivian pikir Cleve yang akan datang pagi untuk menjemputnya. Namun, kenyataanya pria itu sama sekali tidak muncul sejak semalam pamit untuk pulang. Sampai pagi datang, bahkan Vivian tidak mendapatkan panggilan atau pesan dari Cleve.
“Vi, ada apa denganmu?” tanya Ginnie. Dia membungkuk menatap cara berjalan yang sedikit berjinjit itu, lalu beralih menatap wajah Vivian. “Kakimu sakit?”
Vivian mengangguk. “Kakiku terkilir kemarin.”
“Kok bisa?”
Felix memukul punggung Ginnie menggunakan tasnya. “Tidak usah banyak tanya. Ambilkan bantal untuk mengganjal kakinya saja, cepat.”
“Huh! Kenapa harus aku. Kamu kan bisa?”
Ginnie menghentak kaki, tapi tetap berangkat mematuhi perintah Felix. Sementara Felix dia masih perlahan beranjak setelah membantu Vivian duduk di karpet dengan kaki selonjor.
“Aku tinggal tidak apa-apa, kan?”
“Hm.”
Ketika Ginnie kembali, dia membawa bantal sofa bentuk kotak. Sebelum menyerahkan bantal itu kepada Vivian, Ginnie mengerutkan dahi seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
“Tempat kerjamu di sana. Apa sebaiknya aku antar kamu ke ruangan packing sekalian?”
Vivian terdiam beberapa saat, lalu menjawab, “Benar juga. Bantu aku berdiri. Aku masih harus membereskan kertas resi kemarin.”
“Oke.”
Ginnie membungkuk, lalu mengulurkan kedua tangan untuk membantu Vivian berdiri. Setelah tubuhnya terangkat dan berdiri, Ginnie menggandeng tangan Vivian—menuntun—ke ruang packing. Sampai di sana, Ginnie meletakkan bantal yang ia tentang, lalu meletakkan di atas karpet yang di sampingnya penuh dengan buku-buku yang sudah dibungkus dengan kertas dan juga plastik merah.
“Aku tinggal tidak apa-apa, kan?”
Vivian mengangguk.
“Kalau butuh apa-apa, kamu bisa memanggilku atau yang lain.”
“Oke.”
Vivian ditinggal sendiri di ruangan ini. masih dengan posisi duduk, Vivian mencoba bergeser untuk mengambil gulungan kertas resi dan juga plastik bening yang semalam ia letakkan di dalam laci.
“Di mana Vivian?” tanya Felix. Terlihat di tangannya ada secangkir coklat hangat.
“Dia di ruang packing. Aku membantunya ke sana.”
Felix tidak bicara apapun lagi dan langsung berjalan cepat menuju ruang packing di belakang sana. Sebenarnya dia juga harus bekerja di ruangan itu, jadi cukup menyenangkan seharian ini Felix akan bersama Vivian.
Mendengar langkah mendekat, Vivian menoleh ke belakang. Melihat dari ujung kaki lebih dulu, perlahan Vivian menaikkan pandangan.
“Felix?”
Felix berjalan masuk begitu saja. “Kenapa melihatku begitu? Apa aku sangat mengerikan?”
Vivian terdiam menatap secangkir coklat yang disodorkan ke arahnya. “Ini untukku?” tanyanya kemudian.
“Memang untuk siapa?”
Felix menghela nafas lalu ikut duduk. Pekerjaan sangat banyak hari ini. namun, bersama Wanita cantik di ruangan ini, sepertinya tidak terlalu membosankan.
Sekarang, Vivian mulai sibuk dengan kertas-kertasnya yang satu persatu ia tempel pada bungkusan buku. Dia terlihat begitu teliti sampai tidak memikirkan area sekitar.
“Kemarikan kakimu.”
“Ha?”
“Kakimu.”
“Kenapa dengan kakiku?”
Felix berdecak lalu membungkuk dan berjalan mendekat ke arah Vivian menggunakan kedua lutut dan tangannya. Setelah benar-benar dekat, Felix kembali duduk dengan kedua kaki terlipat.
“Ulurkan kakimu.”
“Hei, apa yang kamu lakukan?” Vivian setengah menjerit. Dia mencoba mempertahankan kakinya yang hendak ditarik oleh Felix.
“Diamlah… aku tidak akan memakanmu. Kamu tinggal fokus saja dengan pekerjaan kamu.”
Felix kembali meraih satu kaki Vivian, lalu meletakkan di atas pangkuannya dengan sangat hati-hati. Meski sempat meringis karena sedikit nyeri ketika diangkat, tapi Vivian tidak menolak. Sekarang, dia membiarkan tangan Felix mulai memijat kakinya.
“Pelan-pelan!” bentak Vivian tiba-tiba.
“Sialan! Kamu membuatku kaget!” decak Felix.
“Kamu terlalu keras memijatnya.”
“Ya, sorry. Ini juga sudah sangat hati-hati.”
Felix kembali memijat pergelangan kaki itu sampai Vivian tidak menyadari kalau rasa nyeri benar-benar berkurang dan bisa dikatakan menghilang. Ketika telapak kaki bergerak, bahkan Vivian sudah tidak kesakitan lagi.
Detik, menit dan jam berlalu, Vivian tidak menyadari kalau sedari tadi Felix memijatnya begitu lama. Dia hanya fokus dengan pekerjaanya, sementara di samping itu, Felix diam memijat Vivian tanpa lelah.
Ada apa dengannya? Kenapa dia peduli padaku?
“Hei, kalian di sini rupanya.” Kepala Pete menyembul dari balik pintu. Dia kemudian nyelonong masuk. “Apa sudah selesai?”
Pete berdiri—berkacak pinggang—mengamati beberapa barang yang sudah dibungkus dengan rapi. Ketika pandangannya beralih, dia menemukan satu kaki yang putih bersih sedang berada di atas pangkuan Felix. Pete mengerutkan dahi dan mengusap dagunya. Dia mencoba mencerna apa yang ia lihat sekarang.
“Ekhem!”
Mereka berdua mendongak bersamaan ke arah Pete. Mata Pete bergerak-gerak menunjuk ke arah bawah. Vivian dan Felix pun mengikuti. Lalu, dengan cepat Vivian menarik kakinya sampai tubuhnya hampir terjengkang.
Sekarang Pete terkekeh sambil menunjuk-nunjuk. Matanya masih melebar mencurigai sesuatu, bibirnya juga terbuka membuat mereka berdua jadi salah tingkah.
Drt! Drt!
Selalu saja ponsel Vivian berdering di saat sedang bersama Felix. Mereka sekarang terdiam semua membiarkan Vivian mengambil ponselnya di dalam tas. Melihat Vivian sulit menjangkau tas yang berada di atas meja, Pete bergerak untuk membantu karena posisi dirinyalah yang paling dekat.
Vivian bergeser lebih menjauh untuk menjawab panggilan. Felix dan Pete mencoba untuk tidak menguping dan memilih untuk membereskan pekerjaan karena semua buku sudah harus dikirim hari ini sesuai dengan permintaan.
Vivian menghela napas begitu panggilan sudah berakhir. Ketika berbalik badan, dia sudah tidak melihat ada siapa pun di sini. Vivian hanya angkat bahu, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun, belum sempat Vivian duduk dengan posisi nyaman, ponselnya kembali bergetar dengan nada notifikasi sebuah pesan masuk.
Vivian mengerutkan dahi sebelum membuka pesan dari nomor tak dikenal tersebut. Ketika pesan terbuka, ada file media yang sepertinya sebuah rekaman video. Vivian yang cukup penasaran akhirnya menekan file tersebut sampai terbuka.
Wajah Vivian sangat serius sekarang. dia melihat sebuah kamar, yang entah kamar hotel atau kamar milik seseorang. Ada suara tawa manja di sana. Rekaman itu terus berjalan, sampai detik berikutnya seorang Wanita cantik terlihat dengan jelas sedang melenggak mundur sambil mengerlingkan mata. Dua tangan melambai lurus ke depan, seperti tengah merayu orang di hadapannya untuk segera mendekat.
Mereka sampai di atas ranjang. Namun, hanya seorang Wanita cantik itu yang masih terlihat dengan jelas. Seseorang yang merekam, belum menampakkan diri sampai rekaman berjalan sekitar satu menit lebih.
Dua mata yang semula membulat sedang, tiba-tiba melebar sampai hampir melompat dari tempatnya. Mulut Vivian terbuka lebar dan langsung ia tutup dengan telapak tangan. Dua mata yang membulat itu terlihat berkedut-kedut dan memerah. Ujung kelopak mata yang semual kering, sekarang mulai basah membendung sesuatu yang perih.
“Ce-Cleve … kamu …” Vivian mematikan rekaman itu, lalu menjatuhkan ponselnya begitu saja. Dia meringsut, memeluk kedua lututnya dan menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Sekalipun kakinya tidak nyaman, Vivian tidak peduli. Hatinya benar-benar hancur sekarang. dia masih mencoba untuk mengabaikan kejadian malam itu yang hanya terlihat sekilas meskipun berakhir masuk ke dalam motel, tapi mengenai rekaman mesum yang dilihatnya dengan jelas tadi sama sekali sudah tidak bisa ditoleran lagi.
***
