5. Menjemput
“Di mana rumahmu?” tanya Felix.
“Di ujung sana.”
Mobil melaju lebih lambat karena sudah memasuki kompleks perumahan. Tidak ada pintu gerbang yang tinggi, melainkan hanya ada pagar kayu di setiap rumah. Sisanya tidak terlalu begitu jelas, karena memang ini sudah malam.
Mobil berhenti di rumah paling ujung. Felix lebih dulu turun dari mobil, lalu membuka pintu belakang.
Felix meraih pinggang Vivian dengan erat. Setelahnya, Felix meminta Vivian untuk merangkul pundaknya supaya lebih mudah saat membantu untuk melangkah.
“Hei, ada apa ini?” suara dari teras rumah menyalak. Cleve datang menghampiri dan dengan cepat mendorong tubuh Felix hingga mundur beberapa langkah.
Vivian hampir saja jatuh saat terlepas dari Felix. Untung saja dia langsung mendaratkan telapak tangan pada pintu mobil yang masih terbuka untuk berpegangan tangan.
“Berani sekali kamu menyentuh kekasihku!” salah Cleve sembari merangkul Vivian.
Felix mengeraskan rahang, lalu berdiri tegak lagi. wajah itu terlihat mengeratkan gigi, tapi Felix tidak ada niatan untuk membalas.
“Tenang, tidak usah marah-marah,” desah Vivian. “Dia teman kerjaku.”
Wajah Vivian merengut-merengut menahan sakit di kakinya. Felix yang khawatir hampir saja maju untuk membantu, tapi Cleve lebih dulu memberi tatapan tajam dan acungan jari telunjuk supaya Felix tetap diam di tempat.
“Kamu kenapa? Apa yang sakit?” tanya Cleve.
“Kakiku terkilir tadi.”
“Oh, Sayang. Ayo kita masuk.”
Vivian mengangguk.
Melihat percakapan sepasang kekasih itu membuat Felix seperti nyamuk di sini. Rasa kesal juga muncul, apalagi ketika melihat Cleve memegang pipi Vivian.
“Ini kunci mobil kamu.” Felix mengulurkan ke arah Vivian. “Sebaiknya aku pulang.”
“Tunggu!”
Felix menoleh, lalu dua tangannya dengan sigap menangkap kunci mobil yang dilempar oleh Vivian.
“Kamu bawa mobilku.”
“Oke.”
Ketika sudah masuk ke dalam rumah, ibu dan ayah yang sedang berbincang di ruang tengah langsung berdiri begitu melihat keadaan Vivian. Sekarang, Vivian duduk dengan dibantu Cleve yang ikut duduk di sampingnya.
“Kamu kenapa, Sayang?” tanya Lily.
“Kakimu terlihat memerah,” timbruk William.
“Kakiku terkilir tadi.”
“Mungkin sebaiknya dikompres.” Cleve beranjak dan berjalan cepat menuju dapur.
Lily duduk di samping Vivian dengan wajah khawatir. “Sebaiknya kita ke rumah sakit.”
“Tidak perlu, Bu. Aku akan mengompresnya saja. Nanti juga aku bisa mengatasinya dengan obat urut.”
“Kamu yakin?”
Vivian mengangguk.
Tidak lama setelah itu, Cleve muncul membawa baskom kecil sedang bersisi air kompres. Pria itu berjongkok di bawah Vivian yang masih duduk, lalu mulai mengompres dengan perlahan. Ayah ibu yang melihat calon menantunya begitu perhatian. Terlihat senyum-senyum penuh kebangggaan. Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Vivian. Perhatian ini mungkin dia sedikit tersentuh, tapi mengingat kembali malam itu, rasa kecewa masih tetap berkecamuk.
“Apa masih sakit?” tanya Cleve.
Vivian menggeleng. Bukan karena tidak sakit, tapi entah kenapa Vivian malas berada di sini. Dia ingin segera berbaring di kamar dan melanjutkan hari esok.
“Aku mau ke kamar. Aku ngantuk.”
Ayah dan ibu saling menatap seperti berbicara dengan mata mereka yang bergerak.
“Tapi, Sayang … Cleve kan masih di sini. Masa kamu mau tidur.”
“Aku capek seharian ini, Bu. Pekerjaanku banyak sekali.”
“Tapi—”
Cleve menyela dengan senyum. “Tidak apa-apa, Bibi. Biarkan Cleve istirahat. Besok aku bisa datang lagi ke sini.”
Malam ini memang cukup melelahkan. Vivian terus mengingat kejadian malam itu yang membuat hatinya benar-benar hancur. Meski begitu, untuk saat ini Vivian masih memilih diam saja. Semua sudah dibahas, kalau Vivian membicarakan hal ini tanpa bukti, semuanya pasti akan sangat kacau. Dan juga …
“Aku bahkan sangat mencintai kamu, Steve. Tapi kenapa kamu tega padaku,” decah Vivian.
Vivian meraih krim pijat di dalam laci. Perlahan dia mulai mengurut di bagian pergelangan kakinya yang nyeri. Setelah Cleve pulang, Vivian tidak lagi bicara dengan kedua orang tuanya. Lily hendak menemani di kamar, tapi Vivian menyuruh ya untuk meninggalkan sendirian di kamar.
***
“Kamu yakin mau berangkat?” tanya Lily.
Vivian berjalan dengan kaki kiri yang sedikit pincang. “Tentu saja. Aku banyak kerjaan hari ini. kasihan yang lain kalau aku tidak berangkat.”
“Tapi kaki kamu masih sakit.”
“Tidak apa-apa, toh sudah mendingan sekarang.”
Sampai di luar rumah, Vivian baru ingat kalau mobil dia tidak ada di rumah. Semalam mobil miliknya dibawa oleh Felix.
“Duh! Bagaimana ini? aku lupa kalau mobilku tidak di rumah. tidak mungkin aku ke luar dari komplek dengan jalan kaki, kan?”
Vivian terlihat gelisah sekarang. kakinya memang sudah tidak terlalu sakit, tapi untuk berjalan jauh tentu saja belum mampu. Namun, kalau berdiam diri di sini juga percuma, bisa-bisa ibu keluar dan melarang Vivian untuk berangkat kerja.
“Sebaiknya aku jalan saja.”
Vivian memantapkan hati untuk melangkahkan kakinya meskipun pincang. Dia berjalan dengan satu kaki terseret dan juga terkadang meringis ketika merasakan nyeri.
Dari kejauhan, sebuah mobil melaju mendekat. Vivian sama sekali tidak memperhatikan karena memang dia sedang fokus dengan kakinya supaya tetap bisa berjalan. Sementara mobil hitam yang tadi melintas, sekarang sudah berputar arah menyusul langkah Vivian yang terseok-seok.
Tin! Tin!
Vivian spontan melompat kecil karena terkejut. Dia menoleh ke belakang dan menyadari kalau itu mobil miliknya. Sekarang, seseorang membuka pintu dengan cepat dan memasang wajah kesal.
“Kamu gila ya!” selorohnya saat itu juga. “Kakimu sedang sakit, bisa-bisanya kamu berjalan kaki sejauh ini?”
Vivian terdiam beberapa saat karena cukup terkejut dengan nada bicara Felix yang tinggi. Wajah yang biasanya menyebalkan itu, sekarang jelas sekali tampak serius.
“Bagaimana kalau kamu terjatuh? Dasar bodoh!”
Felix masih saja nyerocos, tapi dia juga dengan sigap membantu Vivian untuk masuk ke dalam mobil. Setelah Vivian duduk, Felix masih membungkuk untuk memasangkan sabuk pengaman. Ini sangat dekat. Vivian bisa dengan jelas menghirup aroma wangi pada tubuh Felix. Wanginya tidak mencolok meskipun sangat dekat. Wajah yang belum pernah ia lihat sedekat ini, sekarang Vivian bisa tahu kalau ada garis luka di bagian ujung alis sebelah kanan.
Ketika tidak sengaja Felix menoleh dan bertatap mata, saat itu juga Vivian mengalihkan pandangan. Dia berdehem lalu meminta Felix untuk segera beranjak dengan alasan kakinya kembali terasa nyeri.
“Kamu kan bisa menelponku. Bagaimana kalau tadi aku tidak menjemput kamu? Bisa -bisa kamu pingsan di jalan.”
Vivian menoleh ke samping dan melipat kedua tangan. “Heh! Tidak bisakah kamu diam? Kamu sangat cerewet. Telingaku sakit mendengarnya.”
Felix sempat melotot meskipun hanya beberapa detik. Dia akhirnya menatap lurus ke depan saat mobil mulai melaju.
Sebenarnya Vivian tidak menyangka kalau Felix akan datang ke sini. Dia pikir Felix akan meletakkan mobil di parkiran kantor karena memang jarak dengan hunian Felix sangat dekat. Namun, melihat Felix yang datang untuk menjemput, entah kenapa rasanya senang.
No Vivian! Kamu jangan terbawa suasana. pria di sampingmu ini bukan pria baik-baik. Dia pria berandal sering bergonta-ganti pasangan.
***
