Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4. Cinta semalam

Felix mengangkat Vivian ke pinggir. Dengan sangat hati-hati, dia menurunkan Vivian di sana, membiarkan dia duduk dengan kaki lurus ke depan. Wajah Vivian terlihat meringis kesakitan sekarang. kaki sebelah kiri sepertinya keseleo.

“Lain kali gunakan sepatu yang rendah saja,” ucap Felix.

“Kalau tidak mau membantu, sebaiknya diam.”

“Hei, kalau aku tidak mau membantu, tentu saja aku membiarkanmu di sana.”

“Kalau begitu, lakukan saja.”

Felix membuang wajah ke samping lantas memejamkan mata dengan rahang mengeras. Dia ingin sekali menggeram keras sekarang, tapi akhirnya ia urungkan dan berakhir dengan helaan napas. Sekarang Felix kembali menatap Vivian.

“Tidak bisakah kamu bersikap lebih baik padaku? Biasanya kamu tidak menjengkelkan ini?”

Vivian menunduk diam menatap kakinya yang lurus itu. rasa nyeri masih terasa dan akan sulit untuk ditegakkan jika berdiri nanti.

Felix mengamati wajah itu. mungkin Felix akan menebak kalau Vivian sedang ada sedikit masalah sekarang. tanpa bicara, Felix bergeser maju lalu duduk di samping Vivian. Dia meletakkan tas punggungnya di samping ia duduk, lalu menyugar rambutnya.

“Apa sakit sekali?” tanya Felix.

Vivian mengangguk.

Suasana hening beberapa saat. Felix mendadak kaku sekarang. dua tangan yang bergerak di depan lutus, jelas sekali sedang gelisah.

“Em … boleh aku tanya?”

“Hm.”

“Kudengar kamu akan menikah?”

Vivian menoleh sekilas lalu kembali menunduk menatap kakinya. “Ya.”

Jadi gossip itu memang benar. Felix tahu tentang hubungan Vivian dengan Cleve. Yang Felix tahu, hubungan mereka sudah berlangsung sekitar satu tahun.

“Huh! Sepertinya aku sudah terlambat,” desah Felix tiba-tiba.

Vivian kembali menoleh dengan alis saling menaut. “Apa maksud kamu?”

Felix mengangkat telapak tangan ke udara diikuti kedua pundaknya. “Kamu tahu, kalau aku sedang berusaha mendekati kamu, kan?”

Saat itu juga Vivian tertawa. Tawa itu cukup lebar sampai ujung mata mengeluarkan buliran bening. Saat tidak sengaja kakinya terangkat, saat itu juga Vivian mendesis dan menghentikan tawanya secara mendadak.

“Senang? Rasakan itu!” cerca Felix yang langsung dibalas pelototan mata Vivian.

Vivian mencoba menjangkau mata kakinya yang sakit. Dia sampai membungkuk karena memang kakinya akan sakit jika ditekuk.

“Jadi memang benar?”

“Apanya?”

“Pernikahan kamu?”

Vivian berdecak sebal. “Apa jawaban tadi belum cukup? Dan lagi, apa urusan kamu menanyakan hal itu? gila!”

“Hei! Aku juga sudah mengatakannya tadi kan?”

Vivian kembali tertawa. Kali ini seperti tawa yang mengejek. “Kamu pikir aku akan percaya. Pria seperti kamu menyimpan banyak Wanita di luar sana.”

“Memang.”

“Lalu?”

“Ya, memang begitu.” Nada suara Felix cukup meninggi dan tegas. “Tapi aku Cuma bermain dengannya. Mereka semua hanya sekedar teman ranjang.”

“Oho! Lucu sekali kamu. Kamu pikir aku mau menjadi teman ranjangmu. Apa untungnya untukku?”

“Entahlah …” Felix memutar badan ke samping sambil angkat bahu. Dia menatap ke arah motornya yang terparkir di ujung sana.

Hari ini suasana sangat cerah, sampai malam juga tidak akan turun hujan. Tempat tinggalnya yang memang dekat dengan tempat kerja, Felix tentu akan memilih mengendarai motor saja.

“Bukankah semua orang melakukan itu?” Felix menoleh. “Mereka tidak ada yang serius. Semua berakhir ketika turun dari ranjang.”

Vivian seketika terdiam. Tentang yang ia lihat malam itu, kembali datang merasuki otaknya. Seharian ini dia sangat tersiksa karena mencoba melupakan kejadian itu. pikiran yang terus berpikir negatif, sebisa mungkin Vivian kendalikan supaya tetap berpikir positif.

Hubungan berlalu sudah cukup lama. Tidak mungkin jika semua hanya main-main, kan? Vivian begitu sungguh-sungguh menjalin hubungan dengan Cleve. Selama ini semua tampak baik-baik saja, sama takdir memperlihatkan kalau Cleve sudah main belakang.

“Aku melihat banyak orang berganti-ganti pasangan setiap harinya. Jadi, untuk apa kita setia?”

Vivian menatap Felix dengan pikiran kosong. Entah apa yangs sekarang sedang ia pikirkan, tapi matanya begitu focus menatap Felix.

“Jadi setiap malam kamu membawa satu Wanita ke ranjangmu?”

Felix menaikkan satu alisnya. “Tidak juga. Aku juga tipe yang memilih.”

“Hah! Menjijikkan sekali!”

“Jangan begitu … biar begini, aku tipe pria yang setia jika dengan Wanita yang tepat.”

Vivian mendengkus lagi dengan mata menjuling. “Lucu sekali.”

Vivian melihat pergelangan tangan. Pada benda yang melingkar di sana, sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

“Ya Tuhan!” ucap Vivian tiba-tiba. dia spontan berdiri sampai lupa kalau kakinya sedang sakit.

“Aw!”

Benar saja, kaki itu akan terasa sakit jika Vivian berdiri terlalu tegak. Felix yang sempat terkejut karena umpatan Vivian, sekarang sudah ikut berdiri dan dengan cepat menangkap kedua lengan Vivian.

“Kamu tidak apa-apa?”

Wajah itu masih berkerut—meringis—menahan sakit. Satu kaki juga terlihat sudah mengambang tidak berani untuk menapak.

“Di mana mobil kamu? Aku akan mengantar kamu.”

Vivian menunjuk pada satu mobil yang tersisa di sana. Jarak parkir cukup jauh dari sini, dan itu membuat Felix terpaksa harus memapah Vivian lagi.

“Kamu bisa jalan?”

“Sepertinya.”

“Hati-hati.”

Vivian mencoba melangkahkan kakinya, tapi ini benar-benar sangat sakit. Akan semakin sakit jika dipaksa untuk berjalan.

“Biar aku bantu.”

“Felix, apa yang kamu lakukan!” jerit Vivian saat tiba-tiba Felix membopongnya. “Turunkan aku!”

“Diamlah!”

Ketika hampir sampai di samping mobil, ponsel Vivian bergetar. Suara nada dering juga terdengar keras karena memang suasana sudah sangat sunyi di sini.

“Turunkan aku,” pinta Vivian.

Dengan sangat hati-hati, Felix menurunkan Vivian. Felix membuka pintu mobil, lalu meminta Vivian untuk masuk ketika ponsel sudah dalam genggaman. Vivian membungkuk masuk dengan bantuan Felix tentunya. Dia mengatur bagaimana posisi yang nyaman supaya kakinya tidak terlalu sakit.

Di jok belakang, Vivian duduk dengan kedua kaki naik semua ke atas jok. Dia bersandar pada pintu mobil yang sudah tertutup sambil menempelkan ponsel pada daun telinga.

“Di mana kamu? Kenapa belum pulang. Aku di rumah kamu sekarang.”

Vivian menelan ludah mendengar suara dari balik ponselnya. Dia lupa kalau malam ini Cleve akan datang ke rumah.

Di jok depan, Felix sudah duduk dan menyalakan mesin mobil. Dia mencoba untuk focus supaya telinganya tidak berniat untuk menguping.

“Aku sedang dalam perjalanan. Kakiku keseleo tadi, jadi aku duduk sebentar di parkiran.”

“Kenapa tidak menelpon? Aku bisa menjemputmu sekarang.”

“Tidak usah. Aku akan segera sampai.”

Ada wajah cemberut di depan sini. Felix tidak mendengar orang dibalik ponsel itu, tapi dari cara Vivian menyahut, tentu saja itu pasti kekasih Vivian.

“Kita jalan,” ucap Felix.

“Hm.”

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Di depan sini, Felix tidak akan tahan jika hanya diam saja seperti supir taksi. Dari kaca spion yang menggantung di atas, Felix diam-diam menatap Vivian.

“Apa itu kekasihmu?”

“Hm.”

“Hah! Aku cemburu di sini,” celetuk Felix dengan suara sedih.

Di belakang, Vivian tampak mencibirkan bibirnya. Mata itu tampak jengah melihat kelakuan Felix yang semakin menjengkelkan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel