Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Diam Diam Suka

“Aku sudah di toko. Ada apa?”

…..

“Terserah kamu.”

…..

“Aku baik-baik saja. Tidak perlu mengkhawatirkanku.”

Panggilan berakhir diikuti dengan helaan napas. Vivian menutup wajahnya beberapa saat sambil menunduk. Dia menarik napas lagi, lalu menghembuskannya ketika wajahnya sudah terangkat.

“Apa ada masalah?”

Dengan cepat Vivian menoleh. Wajah yang semalam ia jumpai dan berhasil membuat panik, sekarang berdiri di di dekat Vivian. Pria itu menenteng beberapa buah buku dan mulai menatanya di rak urutan ke dua.

“Kenapa tidak menjawab?”

“Bukan urusan kamu,” acuh Vivian.

Vivian memasukkan ponselnya, lalu bergeser ke samping dia kembali meraih buku catatan yang tadi ia letakkan di atas barisan buku. Dia menyangga buku yang terbuka itu lalu mulai menulis sesuatu di sana. Dia sedang mengecek buku apa saja yang sudah masuk minggu ini.

Felix ikut bergeser sekarang. dia sengaja mengikuti langkah Vivian meskipun wajah itu sama sekali tidak berniat untuk diajak berbincang.

“Tidak bisakah kamu bersikap ramah denganku? Kamu seperti melihat hantu ketika dekat denganku.”

“Memang.”

Felix menegakkan badan kemudian sedikit menahan nafas beberapa detik sebelum melepaskannya. “Kita ini teman kerja. Seharusnya kamu bisa bersikap ramah.”

“Bukankah aku sudah melakukan itu?” Vivian menjawab, tapi dia enggan menoleh. Hingga sampai di rak lain, Vivian masih belum juga fokus pada pekerjaannya meskipun tetap menjawab jika Felix mengajaknya bicara.

“Felix!” panggil Pete. “Kemari sebentar. Aku butuh bantuan.”

“Oke”

Felix menatap sejenak kearah Vivian yang masih acuh, sebelum kemudian berlalu pergi. Bukan perkara mudah untuk mendekati Vivian saat ini.

Sampai di tempat Pete, Felix langsung disuguhi beberapa lembar kertas yang hendak dijilid. Mungkin ada sekitar seratus jumlahnya jika nanti sudah tersusun menjadi sebuah buku.

“Baru lagi?”

Pete mengangguk. “Pelanggan minta selesai di tanggal delapan nanti.”

“Menyerobot antrean?”

“Ya, tapi berani membayar lebih.”

“Bisa begitu ya?”

“Entahlah. Ini perintah atasan.”

Felix mengangguk saja sekarang dan mulai membantu Menyusun. Semua sudah dikerjakan mesin tentunya, akan tetapi memang harus dalam pengawasan dan juga harus di pantau. Selesai dijilid mereka juga harus mempersiapkan untuk segera dibungkus dengan rapi satu persatu.

“Hei, kamu masih mencoba mendekati Vivian?” bisik Pete.

Felix menggeleng. “Tidak juga.”

“Oh ya? Aku lihat kamu sering menggodanya.”

Felix menoleh dengan tatapan tajam. “Diamlah! Untuk apa aku mendekati Wanita galak seperti dia?”

Pete manggut-manggut dan tersenyum miring. Dia sempat melipat kedua bibirnya supaya tidak sampai ada tawa yang ke luar.

“Aku bawa yang ini ke dalam,” ucap Felix setelah beberapa buku selesai dijilid. “Sisanya kamu yang bawa.”

Felix melambai pada teman kerja yang lain. Dia meminta temannya itu untuk menunggu di tempat percetakan, sementara dirinya menyusul Felix ke ruang packing.

“Apa kamu sudah tahu kalau Vivian akan menikah?”

Felix menjatuhkan setumpuk buku yang hendak di packing ke atas lantai. Tidak berantakan, hanya saja terlihat jelas ada wajah terkejut di sana. Untuk mengalihkan rasa itu, dengan cepat Felix berdehem dan duduk.

“Benarkah?” tanyanya.

“Emm.” Pete menaikkan kening dan mengangguk. “Kupikir kamu sudah tahu.”

“Untuk apa aku harus tahu?”

“Bah! Jangan kira aku tidak tahu.” Pete memutar mata jengah. “Kamu sedang mendekati Vivian akhir-akhir ini.”

“Kamu tahu, aku dan dia tidak pernah sependapat.”

“Memang.”

Mereka berhenti bicara dan mulai membungkus buku dengan plastic. Beberapa kertas dan bubble wrap juga sudah tersedia di depan mereka. Tidak lama setelah mereka memulai packing, Vivian Datang. Dia sudah tidak membawa buku catatan yang tadi, melainkan membawa sebuah resi yang akan ditempel pada buku yang hendak dikirim nanti.

“Pete.”

“Ya.”

“Di mana buku yang sudah selesai dibungkus?”

“Sebelah sana.” Pete menunjuk ke arah tumpukan buku yang sudah rapi dibungkus dengan plastik berwarna merah.

Vivian melangkah maju, lalu dia berhenti ketika saru kaki Felix menghalangi jalan.

“Singkirkan kakimu,” pinta Vivian. “Aku mau lewat.”

“Kamu kan bisa melompat.”

Vivian berdecak kesal. Dia akhirnya melompati kaki itu meskipun jika akan dianggap tidak sopan. Felix sempat mengangkat wajahnya ketika Vivian sudah berada di tumpukan buku itu, tapi hanya beberapa saat karena langsung kembali menunduk.

“Matamu tidak bisa bohong, Sobat.”

“Diamlah!” decak Felix.

Sering kali Felix curi-curi pandang ketika ada Vivian di dekatnya. Meski dari jarak yang cukup jauh, Felix juga sering memandang Vivian dengan senyuman yang terkadang tanpa disadari. Wanita itu memang cantik. Meski menyebalkan, tapi entah kenapa Felix suka di dekat Vivian. Ada berbagai macam cara untuk mengganggu, tidak peduli jika akhirnya Vivian akan kesal.

“Pasang dengan benar,” ceplos Felix tiba-tiba.

Mulanya Vivian mengabaikan ucapan itu, karena dia pikir Felix sedang bicara dengan Pete.

“Kamu sering memasangnya dengan asal. Lain kali pasang kertas itu supaya pengirim dengan mudah membaca alamat yang tertulis.”

Vivian sekarang menoleh. “Kamu bicara padaku?”

“Memang siapa lagi? tidak ada siapa-siapapun di sini selain kita.”

Vivian menatap seluruh ruangan dan menyadari kalau Pete sudah tidak ada di ruangan ini. Vivian menaikkan kening lalu acuh kembali, membuat Felix mengerutkan wajahnya dengan gemas.

“Memang Wanita ini sangat menyebalkan!” lirihnya.

“Kamu bilang apa?”

“Ah, tidak. aku tidak bilang apa-apa,” elak Felix.

Mata Vivian menjuling. Tidak lama setelah itu, ponsel di dalam saku bergetar. Vivian meletakkan barang yang ia pegang, lalu merogoh ponselnya. Mendapati siapa yang menelpon, wajah Vivian langsung berubah datar. Di belakangnya, Felix diam-diam mengamati. Rasa penasaran membuatnya mencoba melebarkan telinga.

“Ada apa?”

….

“Kapan?”

….

“Kenapa mendadak? Aku pulang malam hari ini.”

….

“Kamu bisa bilang lebih dulu padaku seharusnya.”

….

Felix masih menguping dan semakin penasaran sekarang. nada percakapan itu rendah dan terdengar enggan seperti yang Felix dengan pagi tadi. Setelah panggilan terputus bahkan Felix mendengar kalau Vivian berdecak dan mendesah berat.

Sekitar pukul empat sore, beberapa karyawan satu persatu mulai meninggalkan tempat kerja. Gerbang depan juga sudah tertutup Sebagian dan sekarang tersisa Vivian yang masih berada di ruang packing. Di lantai dua, ada Felix yang saat ini tengah mengecek email masuk. Beberapa buku baru datang dan masuk antrian untuk besok.

“Ya Tuhan!” ucap Vivian tiba-tiba. dia menjatuhkan roll kertas resi sampai menggelinding jauh.

Vivian mendesah berat melihat kertas memanjang itu. seharusnya dia selesai sekarang dan akan dilanjutkan besok, tapi dia harus menarik dan menata roll kertas tersebut hingga rapi kembali.

“Kenapa harus jatuh segala!” decak Vivian.

Kreet!

Pintu terbuka, Felix melongo melihat kertas itu berada di atas lantai. Dia mendongak lalu menatap Vivian yang mulai menggulung.

“Kok bisa?”

“Kalau tidak mau bantu, sebaiknya diam.”

Felix membuang mata jengah, lalu merebut kertas gulungan itu dari tangan Vivian. “Biar aku saja.”

“Tidak usah. Aku bisa sendiri.”

“Ini akan sangat lama. Aku harus segera pulang.”

“Kalau begitu, kenapa masih di sini?”

Felix acuh tak acuh dan tidak membiarkan Vivian menyentuh gulungan kertas tersebut. Sekarang, Vivian sudah bergeser dan menunggu sampai Felix selesai menggulung kertas yang tinggal sekitar satu meteran saja. Setelah selesai, Vivian berjalan ke luar lebih dulu meninggalkan ruangan. Dia mengambil tasnya di dalam loker dan segera meninggalkan tempat.

Tidak jauh di belakang, Felix juga sudah ke luar dari ruangan. Mereka sama-sama berada di parkiran yang berada di belakang gedung.

“Aw!” jerit Vivian tiba-tiba.

Felix yang masih di belakang, sontak berlari menghampiri Vivian. “Kamu tidak apa-apa?”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel