Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Wanita galak

Kenapa harus selingkuh? Kenapa harus berkhianat? Di mana perasaan cinta yang pernah diucapkan waktu itu?

Vivian berjalan di bawah gerimis, menyusuri jalanan yang mulai sepi. Kedua kakinya terasa lemas, akan tetapi dia enggan untuk berhenti. Meski tubuhnya basah kuyup, dia tidak peduli andaikata nanti mati lemas di sini.

Dada begitu sakit, isak tangis yang semakin tinggi, membuat nafas semakin tersengal-sengal. Mata yang terkena gerimis, ikut merasakan perih bercampur dengan air mata. Gerimis sepadan dan begitu setia menemani air mata yang terus merosot membasahi wajah.

Langkah semakin terhuyun, Vivian tidak lagi mampu menumpunya. Lututnya gemetaran, dan badan mulai meliuk berpegangan pada tiang lampu. Genggaman tangan itu begitu kuat supaya tidak sampai roboh, tapi nyatanya pandangan mendadak kabur. Kepala terasa sangat pening, berkabut dan tubuh lemas itu tergeletak di sana.

“Vivian! Hei! Bangun!”

Suara-suara panggilan samar-samar terdengar. Suara itu terasa sangat jauh awalnya, namun semakin didengarkan terasa begitu dekat.

“Vivian! Kamu tidak apa-apa?”

Sekarang, terasa sebuah tepukan perlahan tapi sering. Vivian mencoba membuka kelopak matanya yang berat dan berharap pikirannya kembali tersadar. Ada sebuah bayangan tepat di hadapannya sekarang. suara memanggil juga masih terdengar dan semakin jelas.

Ketika mata itu berkedip-kedip, wajah di hadapannya mulai tampak jelas.

“Felix?”

Dengan cepat Vivian membuat mata lebih lebar, lalu menarik mundur dirinya. “Sedang apa kamu di sini?”

Felix tersenyum miring lalu mengalihkan pandangan. Vivian yang belum tersadar sepenuhnya, mengikuti kemana arah Felix memandang. Sekarang Vivian tersadar kalau dirinya bukanlah berada di rumah.

“Di mana ini? kenapa aku bisa di sini?”

Bukan lagi panik, tapi Vivian tampak gelagapan juga. Dia berdiri dengan kedua lutut, dan menoleh ke sana kemari mulai ketakutan.

“Di mana aku?” sekali lagi Vivian bertanya.

“Di rumahku.”

“A-apa?”

Vivian membelalak lalu dengan cepat dia merangkak turun dari atas ranjang. Dia menoleh ke belakang dengan cepat, mencoba untuk menemukan mantel dan juga tasnya.

“Di mana tasku? Aku harus pergi.”

Felix berdecak malas. “Tidak bisakah kamu tenang sedikit. Aku bukan monster.”

“Tapi orang-orang bilang begitu.”

Vivian tidak sabar lagi sekarang. dia sudah menyapu pandangan lalu menemukan tas dan mantelnya ketika dirinya menjawab ucapan Felix.

“Minggir!” perintahnya sambil mendekap erat mantel dan tasnya.

Felix yang berdiri di tengah tepat dengan arah menuju pintu, seketika bergeser saat tubuh Vivian menyerempetnya. Sekarang Wanita itu berjalan cepat mencari pintu ke luar.

Felix melipat kedua tangan ketika melihat Vivian mencoba membuka pintu yang terkunci. Dia mencoba sekuat tenaga menarik gagang pintu, tapi pintu tetap tidak mau terbuka.

“Di luar hujan. Aku tidak akan mengizinkan kamu pergi.”

Masih mencengkeram gagang pintu, Vivian menoleh ke belakang dengan tatapan sinis. “Siapa kamu berani melarangku? Buka pintunya!”

Suara pintu yang ditarik-tarik terdengar semakin keras. Vivian yang setengah takut dan kesal, sampai menendang pintu tersebut karena tidak kunjung terbuka. Mau sekeras apapun berusaha, kalau pintu memang terkunci tentu tidak akan pernah bisa terbuka.

Habis kesabaran Vivian, dia menarik napas dalam-dalam, lalu melepas cengkraman pada gagang pintu. Masih sambil menahan nafas beberapa detik, Vivian berbalik badan. Matanya lurus menatap pria yang masih berdiri santai sambil melipat kedua tangan di bawah dada.

“Buka pintu sekarang juga, atau aku akan teriak!” tekan Vivian sambil menunjuk-nunjuk.

“Di luar masih hujan. Kamu tidak dengar?”

“Aku tidak peduli. Buka pintunya sekarang juga.”

“Dengar …” Felix mendekat lalu meraih tangan Vivian yang justru langsung di balas dengan hempasan cepat.

“Jangan menyentuhku.”

Vivian menajamkan kedua matanya lagi, dan mengacungkan jari telunjuk. “Buka pintunya sekarang juga.”

Felix menyerah. “Oke, oke. Aku buka pintunya. Biarkan aku mengantarmu pulang.”

“Tidak perlu.”

Felix urung membuka pintu meskipun tangannya sudah memasukkan kunci pada lubangnya dengan tepat. Dia menatap dengan kepala menurun pada Vivian. Tatapan itu seperti sebuah penegasan yang tidak bisa dibantah.

Aaargh!

Vivian menggeram saat itu juga. Kedua tangan mengepal lalu detik berikutnya menegakkan dada dan menarik napas dalam-dalam.

“Terserah!” ucapnya kemudian.

Felix langsung memutar arah pandang menatap kunci yang memutar sambil tersenyum. Wajah itu menyimpan sebuah makna yang entah apa maksudnya. Saat pintu terbuka, Felix bergeser untuk memberi jalan pada Vivian. Wajah cantik yang kacau itu, terlihat merengut dan sempat mendengkus tadi.

“Tunggu di sana. Aku ambil mobil dulu.”

“Hm.”

Vivian menunggu dengan malas di teras rumah. Vivian sekarang menyadari kalau ini bukan sebuah rumah, melainkan seperti tempat sewa untuk tinggal. Felix satu tempat kerja dengan Vivian yaitu di sebuah percetakan buku di seberang jalan. Tempat ini tidaklah jauh, karena memang Vivian pernah ke sini beberapa waktu lalu. Bukan ke tempat Felix, tapi ke tempat teman kerjanya yang lain yang juga menyewa rumah ini.

Jika dihitung, mungkin ada sekitar lima belas hunian yang disewakan.

Saat mobil sudah terparkir, Vivian berjalan ke tepian teras. Dia mendongak ke atas, menemukan hujan masih turun dengan deras. Sepertinya ini akan berlangsung sampai besok pagi.

Felix yang semula sudah berada di dalam mobil, berlari ke luar. Terlihat dia mengibaskan rambutnya yang basah ketika sudah sampai di teras.

“Menyeberang sedikit tidak apa, kan? Mobilku tidak bisa mundur lagi.”

Vivian mengangguk, teras hunian ini memang dikelilingi dengan pagar besi. Tidak tinggi memang, tapi mobil dan kendaraan lain hanya bisa terparkir dengan jarak sekitar empat meter dari teras.

Felix membukakan pintu untuk Vivian. Dia tidak peduli jika rambut dan pakaiannya mulai basah. Saat Vivian sudah masuk, Felix berlari cepat memutari mobil, lalu ikut masuk. Vivian sempat melirik ke samping ketika Felox sudah duduk di jok kemudi. Pria itu kebasahan sekarang. Rambutnya yang gondrong di bagian depan, Felix sibakkan ke belakang hingga jidat yang bersih itu terlihat.

“Jangan melihatku begitu. Kamu bisa terpesona nanti.”

Dengan cepat Vivian membuang muka. Dia menaikkan satu ujung bibirnya lalu mendecih. “Percaya diri sekali kamu? Aku bahkan muak melihat wajah kamu.”

“Apa ada yang salah? Banyak Wanita mengantri ingin kencan denganku.”

“Aku tidak peduli.”

Mesin mobil menyala dan mulai melaju dengan kecepatan sedang.

“Ya, kamu bisa mengelaknya sekarang, tapi tidak dengan nanti.”

Vivian membuang mata jengah sekarang. dia menatap kearah jendela dan menyadarkan kepalanya di sudut punggung jok. Tentang apa yang membuatnya kacau seperti ini, sekarang kembali menghantuinya. Dia mengingat kagi dua orang yang berkencan diam-diam. Rasa cinta yang begitu dalam, sekarang sudah dihancurkan.

“Ada apa dengannya?” batin Felix.

Wanita yang selalu Felix temui setiap hari. Wanita yang dia tahu sangat galak dan tidak suka diganggu, sekarang termenung diam.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel