13. Itu Kamu
Felix memeluk Vivian dengan begitu erat. Dia mengecup beberapa kali ujung kepala dengan rambut beraroma wangi itu beberapa kali untuk mencoba menenangkan Vivian. Sementara Vivian sendiri, dia masih terguncang dan terisak hebat. Wajah Cleve yang terlihat beringas, membuat Vivian benar-benar ketakutan. Dia pikir tidak akan lolos tadi. Masih beruntung Felix datang tepat waktu.
Perlahan Felix melepas pelukannya lalu memegang kedua lengan atas Vivian. Vivian masih terlihat sesenggukan sekarang. melihat bagaimana keadaan Vivian saat ini, Felix hampir saja menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja dia terlambat datang, entah apa yang mungkin terjadi pada Vivian.
Velix beralih menangkup wajah Vivian sekarang. dia membingkai wajah basah itu, lalu jarinya mulai mengusap air mata yang masih mengalir.
“Kita pulang sekarang.”
Vivian langsung menggeleng.
Felix sedikit membungkuk sampai wajahnya sejajar dengan wajah Vivian. “Pulang ke tempatku.”
Vivian tidak merespon, namun ketika Felix merangkulkan tangan pada pundaknya, Vivian diam saja. Sampai di tempat di mana motornya terparkir, Felix melepas rangkulannya.
“Tidak apa-apa kalau naik motor, kan?”
Vivian mengangguk.
Felix menyibakkan pelan helaian rambut Vivian yang sempat menutupi wajah. Setelah itu, Felix memakaikan helm dan memasang talinya dengan pas. Vivian masih diam saja. Wajahnya terlihat kacau sekarang. dia juga masih sesenggukan, membuat Felix semakin tidak tega.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai di tempat Felix. Mungkin hanya sekitar lima menit dengan mengendarai motor.
Felix turun lebih dulu dan melepas helmnya sebelum membantu Vivian turun dan juga melepas helmnya. Sekarang, mereka berdua masuk ke dalam. Beberapa lampu di rumah sewa sebelah sudah menyala, akan tetapi tampak sepi. Penghuninya mungkin ada di dalam atau mungkin sedang ke luar.
Vivian menjauhkan pandangannya dari sana sekarang, dan menatap lurus untuk masuk ke dalam rumah Felix. Tempat ini yang sekarang menjadi tujuan Vivian untuk pulang. Vivian termenung, meskipun diam-diam hatinya berkata saat kedua kakinya sudah menapak di dalam rumah tersebut.
“Kamu duduk di sini. Aku ambilkan minuman dulu,” ucap Felix.
Felix meninggalkan Vivian sendirian di ruang tamu. Dia pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minuman hangat. Gingger beer mungkin akan sedikit membantu untuk menghangatkan tubuh.
“Minumlah dulu.” Felix duduk lalu menyodorkan minuman yang ia bawa. “Kamu terlihat kedinginan sekarang.”
“Terima kasih.”
Felix harus menunggu beberapa menit sampai akhirnya berani untuk membuka suara lagi. dia yang duduk dengan jarak sangat dekat, sekarang sudah menatap Vivian dalam-dalam.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia bisa berbuat kasar padamu?”
Vivian meletakkan gelasnya di atas meja, lalu duduk memangku kedua tangannya. Felix termasuk orang yang peka. Dia melepas jaketnya sekarang, lalu pemakaiannya pada Vivian.
“Kamu kedinginan.”
“Terima kasih.”
Felix tidak bertanya lagi, melainkan hanya menatap menunggu Vivian mau buka suara untuk bercerita. Saat Vivian membalas tatapan itu, Felix langsung tersenyum. Sebuah senyuman yang mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.
“Aku sudah putus dengannya.”
Wajah Felix yang semula biasa saja, terlihat langsung terkejut. Kedua tangan yang menekan tepian sofa sempat terangkat dan wajahnya spontan maju.
“Dengan Cleve maksudmu?”
Vivian mengangguk.
Felix ikut prihatin. Melihat raut wajah Vivian yang penuh dengan kekecewaan, tentunya membuat Felix kasihan. Namun, disisi lain Felix juga merasa lega. Entah kenapa meski sekarang hanya sebatas teman ranjang yang tentunya tidak memiliki perasaan, tetap saja membuat Felix merasa lega.
“Dia berbuat kasar padamu?” tanya Felix.
Vivian menggeleng. “Sebelumnya tidak. dia cukup perhatian denganku.”
“Lalu?”
“Sepertinya dia menemukan yang baru.”
“Oh.”
Felix memasang wajah sedih, tapi ada sedikit senyum yang tersembunyi. Bukan itu yang sekarang Felix pikiranya sebenarnya, akan tetapi dia khawatir dengan keadaan Vivian saat ini. mengenai hal yang tadi, Vivian pasti ketakutan dan sangat terguncang.
“Mau kuantar ke kamar. Sepertinya kamu harus istirahat. Kamu juga harus ganti pakaian.”
Vivian mengangguk.
Felix berdiri lebih dulu, lalu mengulurkan tangan membantu Vivian berdiri. Felix melempar senyum berharap Vivian segera melupakan kejadian tadi.
“Kamu duduk dulu. Aku akan ambilkan baju.”
Sementara Vivian sudah duduk ditepi ranjang, Felix beranjak menuju lemari pakaiannya yang terbuka. Ada beberapa baju yang menggantung di hanger di sana. Felix memilih satu persatu sampai benar-benar menemukan yang cocok untuk dipakai Vivian.
Dari posisinya, Vivian diam-dia tersenyum. Punggung yang lebar itu terlihat cukup jelas karena memang hanya memakai kaos pendek. Vivian juga pernah melihat itu semua, bahkan menyentuhnya. Ya, itu sangat bagus. Vivian tidak memungkiri akan hal itu. otot kuat dan besar, memeluk dengan hangat.
No Vivian! Ingat, ini bukan soal perasaan yang sebenarnya. Ini hanya sebatas teman kencan saja. Ya kamu tahu itu, Vi.
Vivian mengusap dadanya sambil mengatur nafas dalam-dalam. Dia tidak mau perasaannya sampai jatuh karena yang ia lakukan dengan Felix sekarang hanyalah sebatas teman ranjang.
“Kamu coba pakai ini. maaf … aku hanya menemukan kaos ini.”
Vivian tersenyum. “Tidak apa-apa sebenarnya tidak ganti pakaian tidak masalah untukku. Aku tidak berkeringat sekarang.”
“Oke, terserah padamu saja. Kamu buat dirimu nyaman,” ucap Felix. “Aku ke luar sebentar. Aku siapkan makan malam.”
“Felix.”
Felix yang baru saja memutar tumitnya seketika berbalik lagi. dia memiringkan kepala dan menaikan alis.
“Kenapa?”
Vivian terlihat bingung. Entah bingung atau mungkin malah gugup. Dia sempat menggigit bibirnya lalu memilin-milin jemarinya.
“Em … bolahkan kamu tetap di sini saja.” Wajah sayu itu terlihat memohon. “Aku butuh teman di sini.”
Felix terpaku beberapa detik lalu mendadak membulatkan bibir mengeluarkan kata ‘oh’ lalu menggaruk tengkuknya. “Baiklah …”
Felix menyingkirkan selimut yang ada di ujung ranjang, lalu dia duduk di samping Vivian. Tidak lama setelah itu, Vivian memiringkan badan dan menjatuhkan kepalanya pada pundak Felix.
“Apa menurutmu semua pria sama?”
Felix menunduk sampai bibirnya menyentuh rambut Vivian. Rambut itu begitu halus dan wangi.
“Sama dalam artian yang bagaimana?”
“Selalu main di belakang.”
“Aku rasa tidak. aku mengenal Pete cukup lama, dan dia sangat setia pada istrinya.”
“Benarkah?” Vivian mendongak.
Felix menatap mata yang membulat itu, lalu mengangguk. “Hemm. Aku mengenal dia sangat baik.”
“Lalu, bagaimana denganmu?”
Felix meringis sekarang. dia menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. “Sebenarnya aku tidak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun.”
“Bagaimana dengan para Wanita yang sering kamu bicarakan denganku?”
“Haha, tentang itu, mereka juga hanya main-main. Wanita yang bersamaku hanya sekedar mencari kesenangan saja. Tidak ada yang pernah serius.”
“Jadi … kamu tidak pernah jatuh cinta?”
Felix terkesiap lalu menatap Vivian cukup lama tanpa berkedip. Tidak lama setelah itu, wajah Felix perlahan menunduk lebih dekat. Dia bergeser mendekati telinga Vivian.
“Bagaimana kalau itu kamu?”
Dua mata Vivian membulat sempurna bersamaan dengan wajah yang tertarik ke belakang. Dia berkedip lalu mengerutkan dahi. “Kamu sedang bermain-main denganku, kan?”
“Tidak. tentu saja aku sedang serius.”
Felix maju lagi sampai Vivian terpentok pada sandaran ranjang. Cukup beberapa detik menatap dengan senyum miring, tiba-tiba Felix mengecup singkat bibir merah muda Itu.
***
