14. Bermain Dengan Sempurna
Pakaian itu tersingkap ke atas, memudahkan tangan Felix menyelusup ke dalam. Telapak tangan lebar itu merayap ke atas sampai menemukan sebuah benda yang membuat Vivian menggigit bibir ketika dipegang. Ukurannya tidak begitu besar, tapi sangat pasa dalam genggaman. Ini sangat menyenangkan untuk Felix. Semua yang tersentuh tangannya, menjadi sesuatu yang membuat kepalanya terasa panas. Miliknya di bawah sana, bahkan sudah sedari tadi tergugah menunggu untuk melihat yang lebih.
Ini terlalu sempurna. Beberapa Wanita yang ia kencani, tidak ada yang seindah milik Vivian. Semua terlalu brutal seolah tidak membiarkan Felix untuk bermain sesuka hati.
Felix merayap lebih ke atas, lalu menurunkan tubuh Vivian sampai tepat berada dalam kungkungannya. Dia menarik bantal, lantas meletakkan tepat di bawah kepala Vivian hingga wajah itu terangkat semakin dekat. Satu kecupan mendarat di sana. Sebuah hidung yang mancung menjadi tempat utama lidah Felix menyapu dengan lembut.
Dua mata Vivian terpejam dengan erat. Bulu mata yang lentik, mengundang Felix untuk mengecup sebentar di sana.
“Aku akan mengundangmu ke sini setiap hari,” ucap Felix seraya meniup pelan belakang telinga Vivian. “Sepertinya aku harus mengatur jadwalnya.”
Vivian mendorong tubuh Felix dengan cepat. Dia lalu menepuk bagian kuat dengan memasang wajah masam. “Apa maksud kamu? Kamu pikir aku akan datang setiap hari?”
Felix meringis. “Tentu saja. Kamu yang memintaku untuk menjadi temanmu. Ayo kita buat perjanjian sekarang.”
Felix beranjak lalu dengan cepat meraih tubuh Vivian. Ia jatuhkan tubuh setengah polos itu di atas pangkuannya. Felix merasakan benda halus mendarat sempurna di atas pahanya yang masih mengenakan celana panjang. Dua tangan Felix sekarang memegang pinggang Vivian, sementara matanya menatap dengan senyum nakal.
Sepertinya tangan Felix tidak akan pernah bisa diam sekarang. setelah menjauh dari area pinggang, Felix beralih mengusap wajah sendu itu. ia mendorong helaian rambut panjang itu ke belakang, lalu menyentuh telinga yang mengenakan anting dengan bentuk lingkaran.
“Aku tidak akan bisa menahannya. Kamu harus datang padaku setiap hari.”
Sekali lagi Vivian menepuk lengan Felix. Dia membulatkan mata dengan bibir mencebik. “Apa kamu berniat membunuhku?”
“Mungkin. Tapi … aku rasa kamu tidak akan sampai terbunuh. Mungkin hanya pingsan.”
Dua mata Vivian semakin membulat dan hampir saja tangan itu mendarat kuat pada lengan Felix lagi. Felix sudah bisa menebak, jadi dia menangkap tangan itu lalu mengecup di bagian punggung telapak tangan.
Vivian diam membiarkan Felix berbuat sesukanya sekarang. entah bagian mana saja yang Felix sentuh, Vivian hanya cukup merasakannya. Sang kekasih selingkuh. Untuk apa bersedih? Cukup lama Vivian berpegang teguh pada kesetiaan jika ia jatuh cinta. Namun, pada kenyataannya, dia berakhir menjadi Wanita yang dikhianati. Lalu sekarang? untuk apa memikirkan tentang cinta? Untuk apa memikirkan tentang kesetiaan?
Vivian menarik rambut Felix dengan cepat. Wajah mereka bertemu dan cumbuan itu berlanjut lebih intens. Vivian tidak canggung seperti sebelumnya. Dia menikmati segala Gerakan yang terjadi menyatu dengan tubuhnya saat ini. hentakan demi hentakan, mengeluarkan suara yang bergema ke seluruh ruangan. Suasana yang semula terasa dingin, sekarang memanas diselimuti peluh kenikmatan.
Ingatan tengan Cleve, semua Vivian coba hilangkan. Rasa sakit dan kecewa atas pengkhianatan, membuat Vivian menggila sekarang. dia bergerak tanpa henti menikmati segala yang terjadi. Bagaimana Vivian saat ini, beruntung karena Felix bisa mengimbanginya.
“Apa sangat sakit?” tanya Felix saat Vivian sudah tergeletak tidak berdaya.
Vivian menggeleng.
Felix duduk lalu menoleh ke bawah di mana Vivian masih berbaring. “Maksudku, tentang kamu dan mantanmu itu?”
Vivian memalingkan wajah menatap ke langit-langit. Dia mendesah terdengar seperti sebuah penyesalan dan juga kelegaan.
“Haruskah aku menjawab?”
“Boleh.”
“Aku sudah merelakan dia.”
Felix mengangguk-angguk paham. Kalau saja pantas, sebenarnya Felix ingin bersorak sekarang. namun, sepertinya hal itu hanya akan terjadi di dalam hatinya saja.
“Besok, kamu tidak perlu pulang sendiri.”
“Kenapa?”
“Bagaimana kalau pria brengsek itu datang lagi?”
“Aku rasa tidak. pukulanmu itu mungkin sudah membuatnya kapok.”
Felix beranjak lalu mengenakan kembali kaos dan boxernya. Dia berjalan menuju gantungan untuk mengambil jubah handuknya.
“Kamu mau mandi?”
Vivian mengangguk. “Apa ada air hangat?”
Felix tersenyum dan berkedip setengah mengangguk. Dia yang begitu peka, langsung datang menghampiri Vivian. Membungkukkan badan dan mengulurkan tangan,
“Mau mandi bersamaku?”
Reaksi itu membuat Vivian terkekeh. Dia sampai menutup mulutnya dan menunduk, membuat rambut depan menutup wajahnya.
“Kenapa tertawa?”
Vivian menarik napas lalu mendongak. “Tidak. wajahmu sangat lucu.”
Felix membuang mata jengah lalu melenggak ke luar meninggalkan kamar.
“Hei, apa kamu marah padaku?” seru Vivian.
“Ya. Aku marah sekarang!” sahut Felix dari luar.
Vivian kembali terkekeh. Dia sampai menggelengkan kepala sebelum kemudian turun dari ranjang. Dia meraih kaos big size milik Felix yang tadi tergeletak, lantas mengenakannya tanpa memakai apapun dibaliknya.
Vivian berjalan mendekati meja panjang di dekat ranjang. Dia tidak menemukan tasnya di sana. Ketika diingat-ingat, tas sepertinya masih berada di ruang tamu. Vivian berhenti lebih dulu di depan cermin. Dia terdiam sejenak seraya merapikan rambut panjangnya yang awut-awutan. Setelah itu, dia berjalan ke luar meninggalkan kamar.
Sampai di luar, Vivian tidak menemukan keberadaan Felix. Tidak ada siapa pun di sini. Namun, semakin melangkah, Vivian mendengar suara gemericik dari dalam kamar mandi. Sepertinya Felix sedang berendam di dalam sana.
Vivian berpaling dari pintu kamar mandi, lalu menoleh ke arah ruang tamu. Dia berjalan ke sana, dan melihat tasnya ada di atas sofa bagian sudut.
Vivian duduk menyilang kaki. Tas itu ia pangku lalu tangannya masuk ke dalam untuk mengambil ponselnya. Cukup terkejut ketika melihat ponselnya. Ada sekitar tiga puluh panggilan tak terjawab dari dua nomor yang berbeda. Wajah Vivian yang lelah semakin terlihat lesu sekarang.bukan hanya sebuah panggilan yang terabaikan, melainkan beberapa pesan yang masuk.
Satu persatu Vivian membukanya. Wajah itu terlihat tersenyum getir. Sebuah pesan ancaman, makian ia dapatkan. Ibu dan ayah mengirim pesan dengan isi yang sama. Semakin enggan untuk pulang ke rumah setelah membaca pesan tersebut.
“Ada apa?”
Felix baru saja ke luar dari kamar mandi. Pria itu hanya mengenakan jubah handuk dengan dada terlihat. Rambut basah yang belum dikeringkan, membuat pria itu terlihat gagah.
“Tidak ada,” jawab Vivian singkat.
Felix berjalan mendekat sambil menggosok-gosok rambut basahnya menggunakan handuk yang tadi ia tenteng di tangan.
“Apa mantanmu?” tanyanya.
Vivian menggeleng.
“Ayo mandi.” Felix mengulurkan tangannya. “Kamu pasti sangat lengket.”
Seringaian dari wajah Felix, membuat Vivian yang tadi bermuka masam, sedikit menampilkan senyum tipis.
“Berikan handukmu.”
“Oke.”
“Hei, bukan itu!” decak Vivian dengan cepat saat melihat Felix hendak melepas jubah handuk yang dipakai.
Felix tertawa lalu menyodorkan handuk yang semula ia gunakan untuk menggosok rambutnya yang basah.
***
