Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

12. Dia Bermain Dibelakangku

Semua sudah pulang sekitar pukul empat sore, seperti biasanya. Di dalam hanya ada Vivian dan Ginnie yang sedang merapikan ruang tengah yang penuh dengan potongan kertas-kertas. Lampu di setiap ruangan masih menyala, Vivian yang beranjak untuk mulai mematikan satu-persatu. Sementara Ginnie tengah mengangkut kantong kresek berisi potongan kertas yang baru saja ia sapu.

“Kamu sudah mau pulang?” tanya Ginnie ketika melihat Felix tengah menyalakan motornya di belakang.

Felix mengangguk.

Pria itu cukup kesulitan ketika harus menyela motornya yang mendadak lemot. Mungkin karena waktu kapan hari sempat kehujanan dan belum juga diservis beberapa bulan ini.

“Biasanya kamu pulang paling akhir?”

“Pekerjaanku sudah beres dari tadi. Aku harus pulang dulu. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan.”

“Oke.” Ginnie mengacungkan ibu jari ke arah Felix yang sudah duduk di atas motornya sekarang. dia hanya tinggal memakai helm saja.

Saat motor sudah menyala dan Ginnie hendak masuk setelah memasukkan kantong kresek ke dalam tong sampah, Felix berseru. Dia memanggil Wanita itu hingga ujung melangkah.

“Vivian masih di dalam, kan?””

“Ya. Kenapa?”

“Bilang padanya. Tunggu aku jangan pulang dulu.”

“Kenapa?” Kening Ginnie berkerut.

Felix berpikir sejenak supaya tepat memberi jawaban untuk Ginnie. Dia tidak boleh sampai curiga.

“Vivian tidak bawa mobil hari ini. aku mana tega membiarkannya pulang sendiri. Kamu kan beda arah.”

Ginnie menjulingkan mata dengan bibir mencebik. “Kamu hanya kasihan dengan Vivian, tapi tidak denganku.”

“Hei, kamu kan preman jalanan. Semua orang jahat juga akan kabur ketika bertemu kamu.”

“Sialan!” decak Ginnie dengan wajah cemberut. “Okelah, nanti aku sampaikan. Sudah sana, pergi!”

Felix memakai helmnya lalu melajukan motornya dengan cepat. Hanya beberapa detik saja, motor dan penumpangnya itu sudah tidak terlihat.

“Kamu bicara dengan siapa?” tanya Vivian yang sekarang berpindah tengah mengelap meja dapur.

Ginnie masuk setelah menutup pintu belakang. “Felix.”

“O, dia belum pulang? Kupikir dia sudah pergi dari tadi?”

“Motornya bermasalah.”

“Oh.”

Ginnie melenggak masuk kemudian berjalan menuju wastafel. Dia berdiri tidak jauh dari posisi Vivian sambil menekan botol sabun lalu mencuci tangannya sampai bersih. Setelah membasuh tangan, Ginne menoleh, seraya meraih kain lap yang tersampir di pundak Vivian.

“Felix akan ke sini lagi nanti,” ujarnya.

“Kenapa?”

“Dia mau mengantarmu pulang/ kamu disuruh menunggu.”

Vivian termenung beberapa saat, mengingat kembali ucapannya siang tadi. Dia berjanji akan datang ke tempat Felix. Masalahnya, kenapa pria itu harus pulang lebih dulu. Apa ini artinya Vivian harus ke sana sendiri?

“Kenapa diam saja?” wajah Ginnie tiba-tiba mendekat. Kening itu berkerut lalu menatap Vivian penuh tanda tanya. “Apa ada sesuatu yang kalian sembunyikan?”

“Apa sih!” umpat Vivian. “Memang apa? aku juga tidak tahu kalau dia mau mengantarku.”

Ginnie menarik diri mundur. “Apa pacarmu tidak menjemputmu? Aku sudah lama tidak melihatnya datang ke sini.”

“Dia sangat sibuk sekarang.”

“Oh.”

Ginnie tidak bertanya lagi setelah itu. dia melenggak menuju tiang gantungan di ujung lemari besar untuk mengambil tasnya. Setelah itu, dia kembali pada Vivian.

“Aku tinggal tidak apa-apa, kan?”

Vivian mengangguk. “Santai saja. Aku biasa sendiri di sini.”

“Oke, aku pulang dulu.” Ginnie memeluk Vivian lebih dulu sebelum beranjak pergi lewat pintu belakang.

Sekarang, Vivian kembali membersihkan bagian dapur lain yang masih kotor. Untuk sampah-sampah, semua sudah dibuang oleh Ginnie, Vivian hanya tinggal mengelap dan meniriskan gelas-gelas yang sudah kering di dekat wastafel.

Dari posisinya sekarang, samar-samar Vivian mendengar suara ponsel berdering. Dia menyampirkan kain lap, lalu berjalan menuju asal suara dering ponsel itu. semakin dekat, Vivian menyadari kalau itu bunyi ponsel miliknya sendiri.

Wajah yang lelah seharian bekerja, terlihat datar sekarang. wajah itu begitu pias melihat layar ponselnya yang masih menyala kedip-kedip. Sebelum menjawab panggilan itu, Vivian sempat menarik nafas dalam-dalam menandakan dia tidak cukup suka dengan panggilan tersebut.

“Ya, Bu. Ada apa?”

“Kamu tanya ada apa! kamu memang benar-benar ya!”

Suara di seberang sana menyalak, membuat telinga Vivian berdengung. Ponsel sudah menjauh beberapa detik sampai Vivian selesai menggaruk telinganya. Saat ponsel kembali menempel pada telinga, suara itu kembali menyalak lebih keras.

“Kamu jangan main-main, Vi! Katakana kalau kamu tidak benar-benar putus dengan Cleve?”

Vivian menghela nafas sampai kedua matanya terpejam beberapa detik. Setelah mata itu kembali terbuka, Vivian bahkan masih mendengar sang ibu berceloteh menyalak—melempar pertanyaan.

“Vi! Jawab Ibu!”

“Ya, aku putus dengannya,” jawab Vivian mantap.

“Gila. Memang gila kamu Vi.” Kamu jangan main putus begitu saja. Semua sudah diatur.”

Vivian tahu resikonya seperti saat ini. ini hanya pembicaraan di telepon, belum nanti ketika bertemu secara langsung. Itu sebabnya untuk saat ini Vivian benar-benar malas untuk pulang.

“Bukan aku yang mengatur semuanya, kan? Itu ibu dan ayah.”

“Diam kamu, Vi! Ibu melakukan ini juga karena alasan. Kamu jangan konyol. Temui Cleve dan perbaiki hubungan kalian.”

“Apa-apaan ibu ini? aku mana mungkin berbaikan dengan dia. Aku sudah memutuskan semuanya. Jangan memaksaku lagi.”

“Hei, kamu sendiri sangat mencintai Cleve. Ibu tahu itu.”

“Memang,” sahut Vivian. “Sebelum dia main di belakangku.”

“Apa itu penting, Vi?”

“Apa maksud ibu?” Vivian menurunkan kedua alisnya. “Apa menurut ibu, perbuatan Cleve benar?”

“Oh ayolah Vivian! Jangan terlalu mempermasalahkan hal itu. keluarga kita bergantung pada keluarga Cleve sekarang.”

“Aku tidak peduli.”

Vivian mematikan panggilan begitu saja. Dia mencengkeram ponselnya dengan kuat, lalu memejamkan mata kuat-kuat. Dia ingin berteriak sekarang. namun, tidak ia lakukan dan akhirnya hanya bisa menghela napas dalam-dalam.

Vivian buru-buru mengambil tasnya dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Dia buru-buru meninggalkan kantor dengan perasaan dongkol. Dia bukan akan pulang ke rumah, melainkan ke tempat di mana mungkin akan membuatnya merasa nyaman malam ini.

Sampai di luar gedung, Vivian celingukan untuk beberapa saat. Suasana di depan sini cukup sepi malam ini. Ada beberapa orang yang melintas, tapi di ujung sana, di mana ada sebuah mini market yang masih buka.

Vivian tidak tahan lagi jika menunggu. Dirinya akan semakin bosan dan frustasi jika berdiri terus di sini. Setelah mengamati sekitar, akhirnya Vivian memutuskan untuk berjalan kaki saja.

“Vi!” panggil seseorang tiba-tiba.

Vivian menaikkan selempang tasnya lalu menoleh. Dia melihat seseorang keluar dari dalam mobil yang sekarang terparkir di tepi jalan.

“Cleve,” ucapnya pelan.

“Kita harus bicara,” ucap Cleve. Sebelum Vivian menjawab, Cleve sudah lebih dulu menarik tangan Vivian dengan kuat. Dia membuka pintu mobilnya, lalu mendorong Vivian ke dalam dengan paksa.

“Cleve, apa yang kamu lakukan! Lepaskan aku!” Vivian berontak.

“Tenang, Vi, aku hanya ingin bicara. aku tidak mau hubungan kita berakhir.”

“Lepaskan aku!” seru Vivian sambil mencoba menarik kedua tangannya yang dicengkeram oleh Cleve.

Posisi Vivian yang setengah berbaring di bawah Cleve, membuatnya kesulitan untuk melepaskan diri.

“Kita harus bicara. aku minta kamu tenang, atau aku akan memperkosamu!”

Vivian mulai menangis sekarang. dia masih mencoba melepaskan diri, meskipun merasakan kedua tangannya mulai sakit. Ketika Cleve sempat mengendus leher dan bibir Vivian, hal itu membuat Vivian semakin terisak.

“Brengsek! Lepaskan dia!” dari arah belakang, seseorang menyeret Cleve dengan cepat. Dia kemudian mencengkram kerah Cleve dan mulai memberi sebuah pukulan di bagian perut.

“Dasar sialan!” sambungnya lagi dengan pukulan terakhir, membuat Cleve ambruk menyentuh jalanan.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel