11. Datang Kerumahmu
Satu hari setelah hubungan usai, Vivian tampak lebih ceria. Ada senyum yang merekah ketika menyapa teman kerjanya. Ketika berjalan, dia juga begitu antusias dan semangat.
“Hei, Hei … ada apa ini?” tegur Ginnie sambil menyikut lengan Vivian. “Wajahmu terlihat lebih cerah hari ini.”
Vivian terkekeh sampai kedua matanya menyipit. “Bukannya aku memang seperti ini biasanya?” tanyanya.
“Memang. Tapi beberapa hari ini kamu terlihat membosankan sekali.”
Vivian tersenyum. “Namanya juga manusia.”
Sungguh sebuah jawaban yang sangat menjengkelkan.
“Ada apa ini? kenapa kalian mengobrol di tengah jalan?” tegur Pete. Dia menyerobot, berdiri di antara Vivian dan Ginnie. “Apa ada gosip baru?” Pete menatap keduanya bergantian.
Vivian sudah melengos lebih dulu, lalu disusul Ginnie yang berbelok menuju ruang print. Tadi, saat bertemu dengan Vivia, Wanita itu memang hendak menuju ruang print, mengambil beberapa buku undangan pesanan orang yang mau diambil hari ini oleh pemiliknya.
Pete celingukan beberapa saat, namu kemudian dia menyusul Vivian yang menuju ruang packing. Ya, hampir setiap hari mereka ada di ruangan tersebut.
Sampai di dalam sana, sudah ada Felix yang sedang menghitung jumlah buku yang harus selesai dibungkus plastik bening. Ketika melihat Vivian datang, wajah itu langsung memamerkan senyum yang mempesona.
“Hei, kamu sudah datang?”
“Hm.”
Vivian meletakkan tasnya di atas meja. Seharusnya di menuju loker dulu untuk menyimpan tasnya, akan tetapi dia malas menuju ruangan yang ada di paling ujung itu. tidak lama setelah itu, Pete muncul dengan cengiran yang khas. Felix yang niatnya hendak berdiri menghampiri Vivian setelah selesai menghitung, seketika gagal. Dia hanya menghela nafas dan membuang mata jengah.
“Ada apa denganmu?” tanya Pete. “Kenapa wajahmu masam begitu?”
“Bukan urusan kamu!” ketus Felix.
Pete mencebik lalu angkat bahu menghampiri Vivian. “Hei, Vi,” panggilnya.
Bukan hanya Vivian yang menoleh, tapi Felix juga. Sebelum Pete mengeluarkan suaranya, wajah Felix terlihat sangat serius dan membuka pendengarannya lebar-lebar.
“Sepertinya kamu hari ini sedang senang? Kenapa?”
Vivian menghembuskan napas dan tersenyum. Sambil menjawab, dia mulai membuka laci untuk mengambil selotip dan juga gunting.
“Tidak ada apa-apa. aku hanya sedikit merasa lega hari ini.”
“Kenapa? Kamu menang lotre kan?”
“Bukan lah! Mana mungkin? Aku tidak ikut begituan.”
“Lalu?”
Felix merasa gemas melihat tingkah Pete yang saking penasarannya sampai harus mengikuti kemana Vivian bergerak. Dia yang dengan cepat menyelesaikan hitungannya, sekarang sudah berdiri sambil menahan nafas beberapa detik sebelum akhirnya lepas bersamaan dengan kakinya yang melangkah.
“Hei, kenapa kamu ingin sekali tahu? Itu bukan urusan kamu, Pete.”
Pete memanyunkan bibir lalu mendaratkan pantat pada tepian meja bersangga dua tangan ke belakang. “Bukan ingin tahu, aku hanya penasaran.”
“Cih! Apa bedanya?”
Pete meringis lalu menggaruk tengkuknya. Vivian yang berdiri di samping Pete, hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sekarang, Felix ikut duduk seperti posisi Pete saat ini. dia menatap Vivian dengan kening berkerut, lalu tersenyum dengan bibir yang mengatup.
“Sepertinya memang hari ini kamu dalam mood yang baik?”
Pete yang masih di posisinya, langsung mengulurkan tangan ke samping—melewati depan wajah Vivian—lalu meneleng kepala Felix.
“Kamu sendiri juga penasaran, kan?”
Felix yang sudah mendengkus, sekarang menjulingkan mata. “Terserah aku lah.”
“Memang menyebalkan sekali kamu, Felix.”
Vivian yang sekarang membuang mata jengah. Dia yang semula sibuk mengamati kertas catatan beberapa jumlah pesanan, sekarang sudah berbalik badan dan menyingkir dari mereka berdua. Vivian beralih duduk di karpet untuk mulai menempelkan kertas alamat pada buku yang sudah dikemas.
Sebelum Pete ikut duduk, Felix sudah lebih dulu melompat ke atas karpet. Dia duduk dengan jarak sekitar tiga puluh senti saja dengan Vivian. Sementara Pete yang juga ingin ikut duduk, terpaksa ke luar setelah mendapat panggilan dari karyawan lain untuk membeli beberapa kertas untuk pengemasan yang habis.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Felix.
Vivian mengangguk.
Felix terdiam beberapa saat sambil mengamati jemari Vivian yang begitu lincah menempelkan kertas pada kemasan buku di depannya. Sesekali Felix melirik ke samping tepat menatap Sebagian wajah Vivian yang cantik. Wajah ini sangat bersih tanpa noda. Felix hanya menemukan satu tahi lalat di bagian dagu.
“Jadi … ada apa?” tanya Felix lagi sambil membungkukkan badan dan memiringkan kepala menatap Vivian. “Apa kamu memenangkan lotre?”
Vivian spontan duduk tertegak dan menahan nafas beberapa detik lalu mengembuskannya dengan desahan kesal.
“Sudah aku bilang, aku tidak ikut begituan.”
“Hehe.” Felix nyengir lalu kembali duduk tegak, jemarinya yang sedari tadi menganggur, sekarang ikut membantu Vivian menempelkan kertas alamat.
“Hei, Vi …” bisik Felix.
Vivian mengerutkan dahi sambil menarik diri ke samping.
“Tentang itu … boleh aku bertanya?”
“Tentang apa?”
Felix menghela napas lebih dulu sebelum bicara. “Entahlah, aku hanya merindukan malam kemarin.”
Kening Vivian kembali berkerut. Wajah itu terlihat bingung dengan ucapan Felix. “Apa maksud kamu?”
“Tidak jadi. Aku pikir kamu nanti akan marah.”
Vivian tersenyum miring. Melihat tingkah Felix, bukan perkara sulit untuk bisa menebaknya. Vivian mungkin tidak banyak mengenal pria, namun mengenai pikiran kebanyakan pria, Vivian akan tahu. Bukan sekali dua kali Vivian melakukannya, ya meskipun jujur saja semua dilakukan dengan sang kekasih. Yang sekarang atau pun yang sudah menjadi mantan.
Tunggu dulu. Mengenai hal itu, bukan berarti Vivian selalu melakukannya setiap waktu. Dia hanya akan melakukannya sesuai dengan mood atau keinginan sip ria.
“Boleh nanti aku datang ke tempatmu?”
“Em … ha?” Felix ternganga sempurna. Melihat reaksi Vivian yang langsung membuang mata jengah, sekarang Felix spontan berdehem. “Maaf.”
“Jadi … bagaimana?”
“Oh, itu .. aku …” Felix mendadak tergagap tidak bisa berbicara dengan lancar.
“Baiklah, aku akan langsung pulang nanti.”
“Hei, tidak begitu. Tentu saja kamu boleh datang. Aku hanya tidak yakin kamu sungguh-sungguh akan datang.”
Vivian menekan kertas pada bungkusan buku itu lebih kuat, lalu setelahnya beranjak. “Baiklah, aku akan datang lain kali saja.”
Grep!
Dengan cepat Felix meraih tangan Vivian. Menarik lengan itu yang pada akhirnya membuat Vivian terjatuh di atas pangkuan Felix. Felix memeluk bagian pinggang dengan cukup erat.
“Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Kamu yang mau, jadi jangan ditarik kembali.”
“Lepaskan aku! Bagaimana kalau ada yang masuk?” Vivian menggerak-gerakkan tubuhnya supaya bisa lepas.
Felix tersenyum miring, sementara tangannya enggan untuk melepaskan tubuh yang saat ini masih berada di pangkuannya.
“Felix!” hardik Vivian dengan suara pelan. “Lepaskan aku! Ada orang nanti. Lepaskan, atau aku akan teriak.”
Ancaman itu terlihat menggemaskan untuk Felix. Wajah yang memberi peringatan dan mata yang membulat tajam, akhirnya membuat Felix menarik dan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Vivian yang sudah memasang wajah penuh peringatan, dengan cepat beranjak berdiri. Vivian berjalan mundur meninggalkan ruangan sambil mengacungkan jari seolah memberi peringatan keras supaya tidak main-main.
***
