Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Semua Sudah Usai

Ponsel di atas meja bergetar dan berdering, membuat seseorang yang masih terlelap terbangun. Dua mata itu terbuka dengan sempurna dan langsung menyeret diri duduk pada dinding ranjang.

“Ow!” celetuknya tiba-tiba ketika dirinya menyadari tidak memakai apa pun.

Vivian celingukan, lalu menarik selimut dengan cepat untuk menutupi tubuhnya. Dia mencengkeram erat di bagian dada barulah kemudian meraih ponselnya. Dia menelan ludah begitu melihat layar ponselnya.

Sebelum menjawab, Vivian lebih dulu menyiapkan diri supaya bisa bicara dengan tenang. Rambutnya yang masih berantakan, ia sibakkan ke belakang, dan juga menyelipkan helaian depan ke belakang telinga.

“Ya, Halo …”

Seseorang di seberang sana langsung memberondong pertanyaan, membuat Vivian sempat menarik Ponselnya menjauh. Setelah yang di sana diam, Vivian langsung menarik napas dalam-dalam dan menyahut.

“Kita harus bicara. temui aku di jembatan siang ini.”

Panggilan langsung tertutup dan Vivian meletakkan ponselnya di atas meja kembali. Dia bersandar dan mendesah di sana dengan mata terpejam.

“Pacarmu?”

Seketika mata itu terbuka dan badan terduduk tegak. Beruntung Vivian masih sadar memegang ujung selimut menutupi badannya.

“Dia mencarimu?”

Vivian mengangguk.

Felix meletakkan piring berisi dua potong sandwich di atas meja, kemudian berbalik lagi untuk mengambil pakaian Vivian yang masih tergeletak di atas lantai.

“Mau pakai ini atau bajuku?” Felix mengangkat baju itu ke arah Vivian. “Tapi ini sudah sangat bau.”

Vivian membuang mata jengah. “Memang aku harus pakai apa? tidak mungkin aku memakai bajumu.”

“Memang kenapa? Sepertinya muat untukmu. Badanmu sangat kecil, pasti akan longgar.”

“Aku tidak kecil, tapi kamu yang besar.”

“Oh, tentu saja punyaku besar.”

Felix berkacak pinggang sambil membusung dada. Dia menyeringai sambil sesekali memainkan mata menunjuk ke bawah. Mengerti apa yang Felix maksud, Vivian langsung mendecit dan melengos.

“Aku tidak bicara tentang itu. otakmu memang mesum.”

Felix tersenyum lalu berbalik badan menuju lemari. Dia membuka pintu lemari dan mulai memilih kemeja untuk dikenakan Vivian. Dari ranjang, Vivian diam-diam melihat punggung lebar itu. otot-otot yang terbentuk, sangat sempurna dan kekar. Oke, saat ini Felix hanya memakai celana pendek selutut dan tanpa pakaian atas. Rambutnya basah, mungkin saja baru selesai mandi.

Felix tidak akan tahu kalau Vivian sudah menelan ludah beberapa kali sedari tadi. Ketika Felix berbalik badan, dengan cepat Vivian membuang pandangan ke arah lain. Vivian berdehem, mengatur diri supaya tidak gugup.

“Pakai ini saja,” ucap Felix. “Hany aini yang sepertinya cukup untuk menutupi sampai ke lutut.”

“Hm.” Vivian menerima kemeja itu.

Melihat Felix masih diam di tempat, Vivian menaikkan satu alisnya. Dia menatap, memberi kode dengan gerak mata supaya Felix segera beranjak.

“Apa? kamu bisa ganti sekarang. toh aku sudah melihat semuanya.”

Dasar brengsek! Menyebalkan sekali dia.

Vivian mengerutkan bagian bibir lalu mendengkus. Dia menggigit ujung selimut, lalu kedua tangannya membuka lubang baju dan memasukkan ke kepala. Masih dengan menahan gigitan pada selimut, sekarang Vivian memasukkan kedua tangan bergantian sampai baju itu terpakai dengan sempurna.

Felix sudah menggelengkan kepala sedari tadi sejak Vivian mulai mengenakan baju. Felix terlalu berharap kalau dia akan melihat lagi tubuh indah itu, sayangnya Vivian begitu pandai menutupinya.

“Sarapan dulu.” Felix meraih piring berisi sandwich yang sedari tadi dianggurkan.

Memang sekarang Vivian sangat lapar. Semalam dia hanya minum sampai tidak memperdulikan rasa laparnya. Dan sekarang, baru saja Felix mengulurkan piring ke arahnya, sesuatu di dalam perutnya berbunyi.

Felix spontan tertawa. “Sepertinya kamu memang kelaparan.”

“Diamlah!”

***

Vivian tidak pulang ke rumah lebih dulu, melainkan langsung pergi menemui Cleve di jembatan sekitar pukul sepuluh pagi. Dia mengenakan kemeja milik Felix yang untungnya menutupi sampai ke bawah lutut. Vivian tidak memakai apa-apa di dalam sana selain celana dalam. Dia terlalu pusing untuk memikirkan hal itu apakah penting atau tidak. intinya, sekarang, dia hanya ingin bertemu dan bicara dengan Cleve.

“Vi, kamu …”

“Hai, Cleve.” Vivian tersenyum, sementara Cleve terbengong melihat tampilan Vivian.

“Vi, kamu pakai baju siapa?” Cleve langsung mendekat dan mulai memeriksa.

Sebelum Cleve menyentuh area lain, Vivian sudah lebih dulu menyingkir. Hal itu membuat Cleve sempat merasa terheran-heran.

“Ada apa?” tanya Cleve.

Vivian tersenyum getir. “Tidak ada apa-apa.”

Cleve tidak akan percaya dengan jawaban itu ketika raut wajah Vivian terlihat jelas sedang menyembunyikan sesuatu. Cleve menatap dengan jeli, tanpa suara untuk beberapa saat, sebelum kembali melangkah mendekat lagi.

“Kamu kenapa? Apa ada yang salah?”

Vivian menepis tangan Cleve yang hendak menyentuh pipinya. “Jangan menyentuhku.”

“Kenapa?”

Cleve terus mencoba untuk mendekat, sampai akhirnya Vivian terpentok pada pembatas jembatan. Vivian bersandar dengan kedua tangan ke samping berpegangan di sana. Dia membiarkan sejenak Cleve untuk menatap bahkan hampir bisa dikatakan memepetnya.

“Kamu kenapa? Kenapa seperti menjauhiku? Semalam kamu juga tidak pulang. Kemana?”

Vivian tersenyum miring. “Aku kemana, itu bukan urusan kamu.”

“Tentu saja menjadi urusanku. Kamu calon istriku, Vi. Tentunya a—”

“Tidak lagi,” jawab Vivian dengan cepat.

“Apa maksud kamu?”

Vivian mendorong Cleve lalu dengan cepat dia berbalik menghadap ke pantai di sebelah sana. Dia mencengkeram tepian jembatan, merasakan angin yang terus menyapu rambutnya hingga berterbangan.

“Tidak ada hubungan lagi di antara kita. aku selesai di sini.”

“Hei, apa maksud kamu?” Cleve memutar tubuh Vivian dengan cepat. “Bicara yang jelas.”

Vivian mendongak lalu kembali tersenyum getir. Cukup berat melakukan ini karena memang rasa cinta untuk Cleve sudah sangat dalam. Namun, jika berdiam diri menerima bagaimana kelakuan Cleve di belakang sana, justru akan membuat Vivian semakin menderita.

“Bukankah sudah jelas?” ucap Vivian. “Aku ingin mengakhiri hubungan kita. aku selesai di sini.”

Cleve menggeleng dengan cepat. “Tidak, tidak. kamu tidak bisa melakukan itu. kita tidak akan pernah berakhir, Vi.”

Suara angin yang semakin kencang, membuat tubuh yang lelah ini terasa hampir terhempas jauh ke sana. Deburan ombak yang terus terdengar, rasanya seperti tengah menemani hati yang sakit dan kecewa yang dirasakan oleh Vivian.

Vivian menyelipkan rambut ke belakang telinga lagi. angin begitu kencang, membuat rambutnya terus menutupi wajahnya yang menghadap ke arah Cleve.

“Intinya hubungan kita sudah berakhir. Jika kamu tanya kenapa, kamu bisa tanya pada dirimu sendiri.”

Setelah berkata demikian, Vivian langsung berbalik badan. Namun, dengan cepat Cleve meraih dan menarik tangan itu sampai membuat Vivian berbalik dengan cepat dan jatuh menabrak dada Cleve.

“Aku tahu kamu sedang main-main, Vi. Kamu tidak serius tentang ini.”

Vivian terdiam dalam dekapan Cleve beberapa saat. Ini sebuah pelukan yang sebelumnya sering Vivian rasakan. Dekapan hangat, sebuah kecupan, lalu menikmati cumbuan. Namun, semua tentang percintaan panas itu, sekarang menjadi hambar. Untuk mengingatnya saja, Vivian merasa muak.

“Lepaskan aku.” Vivian mendorong tubuh Cleve sampai membuat pelukan itu terlepas. “Jangan temui aku lagi.”

Vivian menyibakkan rambutnya lalu, lalu berjalan di antara sapuan angin yang belum juga mereda. Dia berjalan menunduk, menatap kedua kakinya di bawah sana yang mungkin sudah terkena debu yang berterbangan.

“Vi, sebentar lagi kita menikah. Kamu tidak bisa seenaknya seperti ini!”

Vivian sama sekali tidak menoleh ketika Cleve berteriak di belakang sana. Vivian terus berjalan lebih cepat, sampai tidak terasa air matanya tumpah membasahi wajahnya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel