Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Trapped In Deception

Kayshila duduk terjepit di kursi belakang mobil, tak bisa bergerak bebas karena kedua pria besar yang duduk di sampingnya. Meskipun keheningan di dalam mobil terasa berat, pikirannya lebih kacau daripada yang terlihat di luar. Banyak pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, tapi tak ada satu pun yang keluar dari mulutnya.

Jantungnya berdegup keras, semakin tak terkendali. Mereka hanya diam, tak ada kata-kata yang keluar dari ketiga pria itu. Kayshila berusaha untuk menenangkan diri, meskipun perasaan takutnya semakin menggunung. Kemana mereka akan membawanya? Siapa yang mengirim pria besar itu untuk menjemputnya? Jaminan apa yang diberikan?

Setelah beberapa saat, mobil berhenti dengan suara rem yang mengerikan. Kayshila mendongak, melihat ke luar jendela, dan terbelalak ketika melihat sebuah mansion mewah berdiri di depan mereka. Gerbang besi hitam yang tinggi terbuka otomatis saat mobil mendekat, dan pengawal yang berjaga segera memberi jalan. Di luar mobil, tampak taman yang luas dan terawat dengan sempurna, lampu-lampu berkilauan menghiasi setiap sudut.

"Ini... tempat apa ini?" Kayshila akhirnya beranikan bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun, pria besar di sebelahnya tetap tak menggubris, seolah pertanyaannya tak layak untuk dijawab. Mereka keluar dari mobil, dan Kayshila diinstruksikan untuk mengikuti mereka, masih dalam kebingungan.

Langkah demi langkah, ia dibawa masuk ke dalam mansion yang mengesankan ini.

Langit-langit tinggi dengan lampu kristal menggantung di atas, lantai marmer yang bersinar, dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan mahal. Namun, keindahan itu tidak mengalihkan perhatian Kayshila dari perasaan gelisah yang semakin memuncak. Setiap langkah yang ia ambil semakin membebani pikirannya.

Mereka berhenti di depan sebuah pintu yang tersembunyi di balik sebuah dinding besar. Tanpa banyak bicara, pintu itu dibuka, dan Kayshila disuruh masuk. Begitu masuk, ia merasakan perubahan yang drastis—dinding batu yang basah, udara lembab yang menyesakkan, dan pencahayaan yang sangat minim. Ruangan ini, dengan suasana suram dan mencekam, jauh berbeda dengan kemewahan yang baru saja ia lihat.

Kayshila tidak dapat melakukan apapun saat dirinya diinstruksikan semakin masuk ke dalam. Entah ruangan apa ini, namun lorong sempit yang mereka lewati terasa semakin lama semakin mengerikan. Dinding-dindingnya penuh dengan retakan besar, dan udara di dalamnya terasa lebih lembab, seakan ruangan itu sudah lama tidak terjamah cahaya matahari. Langkah kaki mereka bergema di sepanjang lorong yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari lampu-lampu kecil yang menggantung dari langit-langit yang rendah.

Ketika mereka sampai di ujung lorong, sebuah pintu besi besar terbuka dengan suara berderit yang menusuk telinga, seakan memberi peringatan akan sesuatu yang jauh lebih menakutkan di baliknya. Begitu pintu itu terbuka sepenuhnya, Kayshila melihat tangga besi yang berkarat dan gelap di depannya. Tangga itu menurun tajam ke bawah, dan setiap langkah yang harus dia ambil terasa semakin menegangkan. Karat yang menempel di tangga besi berderak saat Kayshila melangkah turun, menciptakan suara-suara mengerikan yang mengisi keheningan.

Udara di bawah terasa lebih dingin, seakan menelan setiap kehangatan yang ada. Langkah Kayshila yang terseok-seok menuju dasar tangga membuatnya semakin merasa terperangkap. Begitu sampai di bawah, suasana berubah menjadi lebih suram. Ruangan bawah tanah itu sangat luas, namun sepi dan gelap, hanya diterangi oleh beberapa lampu kecil yang menggantung di langit-langit yang tinggi dan penuh karat. Dinding-dinding batu yang lembab dipenuhi lumut hijau, dan lantainya kasar, dipenuhi serpihan-serpihan batu yang sudah hancur.

Ruangan itu terasa penuh dengan bau karat dan kelembaban yang menyesakkan, udara yang terasa seperti tidak bergerak. Setiap langkah yang diambilnya terdengar keras, menciptakan gema yang tak kunjung hilang. Di satu sisi ruangan, ada beberapa pintu berat yang tertutup rapat, menghadap ke arah yang tak bisa Kayshila lihat. Pintu-pintu itu tampak seperti pintu yang tak pernah dibuka dalam waktu yang lama, dengan gagang besi yang berkarat dan tampak tak terawat.

"Masuk!" Salah satu penjaga mendorong tubuhnya dengan kuat ke dalam sebuah ruangan.

Suara pintu besi yang tertutup rapat menggema di seluruh ruangan, membuat Kayshila tersentak. Dengan panik, ia berlari ke arah pintu, tangannya yang lemah menghantam besi dingin itu berulang kali.

"Tolong! Kumohon, keluarkan aku dari sini!"

Tidak ada jawaban.

“Kumohon siapa pun itu!”

Hanya keheningan yang menyelimuti.

Tangannya masih gemetar saat ia kembali menghantam pintu besi itu, lebih keras kali ini, bahkan menendangnya dengan sisa tenaga yang ia miliki. Namun, benda itu bahkan tidak bergeming sedikit pun.

"Hei! Siapa pun kalian! Aku bukan orang yang kalian cari!"

Suaranya bergema di dalam ruangan kosong itu, lalu menghilang begitu saja tanpa balasan. Napasnya mulai memburu, dadanya terasa sesak, rasa takut menjalari seluruh tubuhnya.

Kayshila berbalik, matanya liar mencari sesuatu—apa pun—yang bisa membantunya keluar. Namun, ruangan itu benar-benar kosong. Tidak ada perabotan, tidak ada celah di antara dinding batu yang lembab dan dingin, hanya ada ventilasi kecil di sudut atas yang tampak seperti satu-satunya harapan.

Dia menelan ludah, menatap ventilasi itu dengan saksama. Itu terlalu tinggi, tapi tetap saja...

Mungkin dia bisa mencapainya.

Dengan langkah tertatih, Kayshila berjalan ke sudut ruangan, tangannya menyentuh dinding kasar, mencari pegangan. Dengan susah payah, dia mencoba meraih tembok, lalu menjejakkan kaki ke dinding untuk mendorong tubuhnya ke atas.

Namun, dinding itu terlalu licin.

Tangannya tergelincir, tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan ia jatuh keras ke lantai.

Sebuah jeritan kesakitan lolos dari bibirnya saat siku dan lututnya terbentur permukaan yang kasar. Rasa perih menjalar, tetapi Kayshila tidak peduli. Dengan napas terengah, dia mencoba bangkit lagi.

Dia tidak boleh menyerah.

Dengan gigih, ia mencoba lagi. Kali ini, ia menendang dinding untuk mendapatkan dorongan yang lebih kuat. Tangannya terulur ke atas, jari-jarinya hampir menyentuh ujung ventilasi itu. Namun sebelum ia bisa menggenggamnya, kakinya kembali tergelincir.

Tubuhnya terhempas ke lantai untuk kedua kalinya.

"Sial!" Dia menekan dahinya yang kini berdenyut nyeri, rasa frustasi menguasai dirinya.

Suaranya serak karena kelelahan, dan tubuhnya gemetar. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah. Sekujur tubuhnya sakit, kakinya lemas, dan napasnya tak beraturan.

Tidak... dia tidak bisa keluar.

Lambat laun, tubuhnya kehilangan tenaga. Kayshila menyeret dirinya ke sudut ruangan, punggungnya bersandar pada dinding dingin. Matanya memerah, dadanya naik turun dengan cepat, dan akhirnya... ia pasrah.

Air matanya jatuh, membasahi pipinya.

Tidak ada jalan keluar.

Tidak ada harapan.

Dalam keputusasaan yang menyakitkan, ia memeluk lututnya, menggigil di tengah ruangan yang dingin dan sunyi. Rasa takut, lelah dan kantuk menyerangnya begitu saja, membuatnya terlelap dalam keadaan penuh kesakitan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel