Beneath The Deception
"Mana orang itu?" Suara beratnya menggema di kediamannya yang baru saja ia masuki.
"Dia ada di ruangan khusus, Sir."
Tanpa berkata lagi, pria itu melangkah mantap, derap sepatunya bergema di koridor yang sepi. Tujuannya jelas—ruangan bawah tanah. Dengan satu gerakan tangan, ia memberi isyarat pada anak buahnya. Pintu besi berderit terbuka, memperlihatkan pemandangan yang suram di dalamnya.
Tatapannya yang tajam segera menangkap sosok yang meringkuk di lantai dingin, tubuhnya melingkar seolah berusaha mengecilkan diri dari dunia.
"Apa dia orangnya?" Suaranya terdengar dingin, tak tergoyahkan. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, sikapnya begitu santai, namun bahaya merayap di sekelilingnya.
"Yes, Sir."
Langkahnya kembali bergema saat ia mendekat. Namun, tiba-tiba ia berhenti. Matanya menyipit, berpaling menatap pria berkepala plontos yang berdiri sepuluh langkah darinya. Sorot matanya menusuk—tajam, penuh tanda tanya yang tak perlu diucapkan.
"Are you f**ing kidding me? She’s a girl." Suaranya terdengar tajam, penuh ketidakpercayaan, namun juga diliputi amarah yang terpendam.
"Dialah pelakunya, Sir," ujar pria berkepala plontos dengan nada tegas. "Polisi telah mengkonfirmasi bahwa wanita ini adalah tersangka. Sepertinya dia bagian dari komplotan mereka."
Keheningan menyelimuti ruangan. Pria itu tidak langsung merespons, hanya menatap dalam-dalam ke arah wanita yang disebut sebagai pelaku. Rahangnya mengeras, napasnya berat. Ada sesuatu yang terasa janggal—entah pada situasi ini atau pada wanita yang tergeletak di hadapannya.
Pria itu berdiri tegak, menatap datar wajah wanita yang tertidur pulas di depannya. Sorot matanya sulit diartikan—apakah itu kemarahan, ketidakpercayaan, atau sesuatu yang lebih dalam?
"Apa yang harus kita lakukan, Sir?" Suara anak buahnya memecah keheningan.
Sejenak, pria itu tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada wanita yang terbaring tak berdaya. Lalu, tanpa mengubah ekspresinya, ia berucap pelan, "Let her sleep first."
Tanpa menunggu respons, ia berbalik, melangkah keluar dari ruangan bawah tanah itu. Jejak langkahnya bergema di sepanjang lorong hingga akhirnya ia tiba di ruangannya sendiri. Dengan gerakan tenang, ia menjatuhkan diri di kursi kebesarannya, menyandarkan punggung, lalu menatap pria yang berdiri di hadapannya.
"Bagaimana dengan pengembangan proyek itu?" Suaranya kini lebih dingin, menandakan bahwa pikirannya telah beralih ke hal lain—setidaknya untuk saat ini.
Jack—asisten pribadinya—melangkah mendekat dengan langkah mantap. "Ini adalah diagram perkembangan proyek itu, Sir."
Tanpa sepatah kata, Adrik menerima iPad yang diulurkan padanya. Tatapannya sekilas menyapu layar, namun hanya dalam hitungan detik, ia menghela napas panjang. Dengan kasar, ia meletakkan iPad itu di atas meja, bunyinya menggema di ruangan yang sunyi. Punggungnya bersandar ke kursi kebesarannya, sementara jemarinya memijit pelipisnya dengan gerakan lambat—seakan mencoba meredakan sesuatu yang berkecamuk dalam pikirannya.
"Are you okay, Sir?" Jack bertanya hati-hati.
Tak ada jawaban. Adrik hanya diam, kepalanya terangkat sedikit, menatap kosong ke high ceiling di atasnya. Sorot matanya menerawang, seolah pikirannya tengah berkelana ke tempat yang jauh—tempat yang tak bisa dijangkau siapa pun.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya menghela napas sekali lagi, lalu tanpa peringatan, bangkit dari kursinya. Langkahnya tegas, tanpa keraguan, meninggalkan ruangan itu begitu saja.
Pintu besi itu terbuka dengan derit panjang yang menusuk telinga. Kayshila, yang melihat kesempatan itu, langsung berlari sekuat tenaga, berusaha menerobos keluar. Namun, harapannya hancur seketika. Sebuah tangan kuat menangkis tubuhnya dengan kasar, membuatnya terhuyung mundur.
"Lepas!" teriaknya panik, memberontak sekuat tenaga.
Namun, Adrik tak peduli. Dengan mudah, ia mengangkat tubuh mungil Kayshila layaknya karung beras, lalu tanpa ampun menghempaskannya ke lantai beton yang dingin dan keras. Benturan itu membuat tubuhnya mengejang, ringisan kesakitan lolos dari bibirnya.
Kayshila mengangkat wajahnya, matanya menyala penuh amarah saat menatap pria rupawan di depannya-wajahnya begitu sempurna, tetapi dipenuhi kebengisan.
"Siapa kau? Apa maumu?" desisnya dengan suara bergetar, antara marah dan takut.
Adrik tidak langsung menjawab. la berjongkok perlahan, mensejajarkan wajahnya dengan Kayshila, tatapannya menusuk tajam.
"Who put you up to it?" Suaranya rendah, dingin, namun penuh ancaman terselubung.
Kayshila mengernyit, tak memahami maksud pria itu. "Apa maksudmu?"
Adrik tidak berkedip. "Sekali lagi aku tanya, siapa yang menyuruhmu melakukan ini?" Suaranya terdengar lebih tegas, lebih berbahaya, seakan menembus langsung ke dalam bola mata Kayshila.
Kayshila menggeleng, napasnya memburu. "I really don't know what you mean. Aku bahkan tidak tahu siapa kau sebenarnya!"
Seketika, sudut bibir Adrik terangkat, membentuk seringaian yang membuat bulu kuduk berdiri. Matanya penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—bahaya yang nyata, kekejaman yang mendebarkan.
"Benarkah?" Suaranya terdengar hampir seperti bisikan. Adrik mendekat, begitu dekat hingga Kayshila bisa merasakan napasnya yang hangat namun mengancam.
"Kau akan mengenalku... detik ini juga!”
Tanpa aba-aba Adrik menarik kuat rambut Kayshila dan membenturkannya ke tembok. Satu kali? Tentu saja tak cukup puas bagi seorang Adrik.
Wanita itu meronta, meraung kesakitan dan berusaha keras agar bisa lepas dari genggaman pria berhati bengis itu. Namun, sia-sia.
"Aku mohon lepaskan aku!"
Sekuat apapun kau memohon, bagi Adrik itu terdengar seperti sebuah melodi yang indah, mengusik jiwa liarnya.
Air mata tak terbendung lagi, bahkan darah segar kini mengucur deras dari pelipis, pucuk kepala, dahi, dan sudut bibirnya.
Dengan kasar Adrik menarik kembali rambut Kayshila untuk berdiri. Tak ada jarak antara wajah Adrik dan Kayshila, mata mereka saling beradu pandang.
"Ini belum seberapa dari apa yang sudah kalian perbuat?"
Kayshila menatap bola mata abu-abu itu dengan air mata yang terus berderai. Wajahnya penuh dengan luka lebam.
"Apa salahku padamu? Aku bahkan tak pernah berbuat salah padamu."
Adrik menatap Kayshila begis. Tangannya semakin kuat menarik rambut wanita itu hingga rasanya kulit kepala Kayshila mau lepas dari tempatnya.
“Berhentilah berpura-pura b***h. Kau tengah berhadapan dengan orang yang salah. Beraninya kalian bermain-main denganku menggunakan wanita yang aku sayangi."
Kayshila menggeleng. Dia bersumpah, dia tidak tahu apapun. Bermain-main? Bermain-main apa maksudnya? Perosotan?
"Apa maksudmu?” tanyanya dengan intonasi suara yang tinggi. Luka pada sudut bibirnya kian mengeluarkan darah segar. “Wanita siapa yang kau maksud, sialan?”
Sialan? Beraninya dia mengumpati Adrik.
“Awww!” Kayshila kembali mengaduh saat tangan Adrik semakin kencang menarik rambutnya.
"Kylie!" Deru napas Adrik memburu. Ingin rasanya dia membunuh sundal sialan ini. Tapi, itu bukanlah gaya Adrik. Dia lebih suka bermain-main terlebih dahulu sebelum menghabisi mangsanya. "Kylie Abraham adalah adikku. Adrik Abraham. Wanita yang sudah kau lukai hingga koma di rumah sakit, sialan.”
“Tidak.” Kayshila menggeleng. Menyanggah, tentu saja.”Bukan aku pelakunya. Aku sama sekali tidak pernah menyakiti apalagi sampai melukainya."
Adrik mencengkram kuat dagu juga rambut Kayshila. Membidik bola mata kecoklatan miliki wanita itu.”Stop pretending, b***h. Aku tidak akan segang-segang membunuh sundal sialan sepertimu.”
Kayshila kembali menggeleng, kristal bening semakin merebak keluar dari lacrima gland-nya. “Aku bersumpah bukan aku pelakunya. Aku–” Bibirnya bergetar kuat.”Tidak sengaja menemukan tubuhnya tergeletak tak sadarkan diri malam itu.”
Adrik bungkam, matanya mengamati lekat mata sembab wanita dalam kungkunganya. Sudah banyak wanita yang pernah bermain-main, menjadikan mereka sebagai penghangat ranjanganya, tapi belum pernah dia melihat mata indah seperti mata wanita ini. Mata yang mengisyaratkan kejujuran. Adrik menggeleng, dia tidak akan terkecoh seperti dulu lagi.
"Sir!" Adrik menoleh menatap tajam pria kurang ajar yang masuk tanpa permisi itu.
"Tuan Abercio datang. Dia sedang menunggu Anda di ruang Anda."
Adrik melepas kasar kungkungannya, hingga membuat Kayshila tersungkur jatuh di atas acian semen. "Urusi wanita ini.”
