Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Behind Bars

Dingin. Itulah yang pertama kali Kayshila rasakan saat langkahnya memasuki sel tahanan. Bau lembab bercampur aroma besi berkarat memenuhi udara, membuat dadanya terasa sesak. Dinding-dinding beton kusam, dipenuhi coretan kata-kata kotor dan tanda-tanda yang mungkin ditinggalkan oleh para tahanan sebelumnya. Cahaya redup dari lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan-bayangan samar di lantai yang kotor dan penuh noda.

Jeruji besi yang memisahkan sel-sel berkarat, beberapa bagian bahkan tampak hampir lepas dari engselnya. Suara langkah sepatu bot para penjaga bergema di sepanjang koridor sempit, sesekali diiringi suara teriakan atau tawa kasar dari para tahanan lain. Beberapa dari mereka duduk di sudut sel, menatap kosong ke arah dinding, sementara yang lain berdiri di balik jeruji, memperhatikan Kayshila dengan tatapan yang sulit diartikan—ada yang penuh rasa ingin tahu, ada yang sinis, dan ada yang jelas menunjukkan niat buruk.

Di dalam selnya, hanya ada satu dipan besi dengan kasur tipis dan selimut lusuh yang sudah penuh bercak. Sebuah toilet tanpa pintu berdiri di pojokan, memberikan nol privasi bagi siapa pun yang menggunakannya. Kayshila merasakan bulu kuduknya meremang saat suara tawa serak dari seorang perempuan di sel sebelahnya terdengar, diiringi suara gesekan sesuatu di lantai.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengabaikan rasa takut yang perlahan merayapi tubuhnya. Bagaimana mungkin hidupnya berubah secepat ini? Kemarin dia masih seorang mahasiswi yang hanya peduli dengan nilai dan tugas kuliahnya. Sekarang, dia mendekam di tempat yang lebih buruk dari neraka, dituduh melakukan sesuatu yang bahkan tak pernah terlintas di pikirannya.

Kayshila duduk di sudut selnya, lututnya ditarik ke dada sementara matanya berusaha tetap fokus pada lantai yang dingin dan kotor. Setiap suara di sekitar membuatnya semakin gelisah-gemerisik langkah, suara erangan, dan tawa sinis dari napi lain yang terdengar samar di balik jeruji.

Suara decitan pintu besi terbuka, lalu tertutup lagi dengan dentuman keras. Kayshila mengangkat kepalanya sedikit. Dari sudut matanya, dia melihat tiga wanita berjalan ke arahnya. Langkah mereka pelan, tapi penuh keyakinan.

Salah satu dari mereka berhenti tepat di depan Kayshila. Wanita itu tinggi, bertubuh kekar, dengan rambut pendek berwarna coklat kusam dan tatapan tajam seperti elang yang siap menerkam.

Lengannya penuh tato, dan ada bekas luka panjang di pipi kirinya. Dia menyeringai, menampakkan giginya yang menguning.

"Kau anak baru, ya?" Suaranya serak, penuh nada mengejek.

Kayshila tidak menjawab.

Wanita itu jongkok di depan Kayshila, memperhatikan wajahnya dengan penuh minat. "Huh, cantik sekali. Sayang sekali, di tempat ini kecantikan tidak akan menyelamatkanmu “

Tawa kecil terdengar dari dua wanita lain yang berdiri di belakangnya. Salah satunya, perempuan berambut merah kusut, bersandar pada jeruji sel dengan tangan terlipat di dada. Yang satunya lagi, perempuan dengan wajah penuh bekas luka, menggerakkan jari-jarinya seperti sedang menghitung sesuatu.

Kayshila menelan ludah. Jantungnya berdetak lebih cepat.

Wanita bertato itu menyodok bahunya dengan jari telunjuk. "Dengar, bocah. Penjara ini punya aturan. Kalau kau ingin bertahan hidup, kau harus tahu siapa yang berkuasa di sini."

Kayshila tetap diam, tapi dalam kepalanya, dia mulai berpikir. Apa yang akan terjadi jika dia menolak? Apa mereka akan memukulinya? Atau lebih buruk lagi?

Wanita itu menghela napas dramatis. "Aku benci orang yang diam saja seperti tikus ketakutan." Seketika tangannya mencengkeram dagu Kayshila, memaksanya mendongak. "Aku tanya sekali lagi. Apa kau paham?"

Tatapan Kayshila bertemu dengan mata dingin wanita itu. Ada ketakutan di dadanya, tapi juga ada sesuatu yang lain -kemarahan. Dia tidak bersalah. Dia tidak seharusnya ada di tempat ini.

Dengan sisa keberaniannya, Kayshila menepis tangan wanita itu dari wajahnya. "Aku tidak peduli siapa yang berkuasa di sini.”

Wanita bertato itu sempat terdiam, lalu menyipitkan mata. Ruangan terasa semakin sempit ketika ia mencondongkan tubuhnya ke depan, bayangan tubuhnya menutupi wajah Kayshila.

"Berani juga kau, ya," gumamnya, suaranya seperti bisikan ular yang melingkar di leher mangsanya.

Tangannya bergerak cepat, mencengkeram bahu Kayshila dengan kuat. Jemarinya yang kasar mencengkram cukup keras hingga Kayshila meringis. Dua wanita di belakangnya tertawa kecil, seolah menikmati pemandangan ini.

"Kudengar kau dicurigai sebagai pembunuh," lanjutnya dengan nada mengejek. "Tapi melihatmu seperti ini, aku ragu kau punya keberanian untuk membunuh siapa pun. Kau bahkan tidak bisa membela dirimu sendiri."

Dia mengangkat tangannya, hendak menampar Kayshila, tapi…..

Suara kunci berputar menggema di lorong. Jeruji sel terbuka dengan suara berdecit tajam.

"Tahanan 2817, ikut aku.” Suara berat seorang pria terdengar.

Wanita bertato itu langsung menghentikan gerakannya dan menoleh. Seorang penjaga tahanan berdiri di depan sel, ekspresinya dingin. Matanya tertuju pada Kayshila, sama sekali tak memedulikan tiga wanita yang berdiri di sekelilingnya.

"Apa urusannya?" tanya wanita bertato dengan nada tidak senang.

Penjaga itu tidak menjawabnya. Ia hanya menatap tajam, memperingatkan tanpa kata-kata. Wanita itu mendengus sebelum akhirnya melepas cengkeramannya dari bahu Kayshila.

"Sepertinya kau beruntung hari ini," katanya sinis.

Kayshila tidak membalas. Dengan hati-hati, ia bangkit dan melangkah keluar sel. Lututnya sedikit lemas, tapi ia berusaha tetap tegak.

Penjaga tahanan itu menutup kembali jeruji sel dengan suara berdentang, lalu memberi isyarat agar Kayshila mengikutinya.

Langkahnya berat saat melewati lorong sempit dan gelap itu. Napasnya masih belum teratur, jantungnya masih berdetak kencang akibat ketegangan tadi.

"Kemana kita pergi?" tanyanya akhirnya.

Penjaga itu tidak menjawab.

Kayshila menggigit bibirnya, mencoba menebak. Apa ini interogasi lagi? Atau… ada sesuatu yang lebih buruk yang menantinya?

Kayshila merasakan ketegangan semakin menyelimuti tubuhnya, jantungnya berdetak semakin cepat seiring langkah penjaga yang membawanya menyusuri lorong sempit dan gelap. Udara pengap bercampur dengan aroma lembap dari dinding batu yang tampaknya sudah puluhan tahun tak tersentuh. Setiap langkahnya dipenuhi dengan kecemasan, dan ia terus memindahkan pandangannya ke segala arah, waspada terhadap apapun yang bisa mengancam.

Mereka berhenti di depan pintu besar yang terbuat dari besi tebal. Penjaga itu mengetuk pintu, lalu membukanya tanpa memberi Kayshila kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Begitu pintu terbuka, sebuah ruangan luas terbentang di depannya, dan di tengah ruangan itu, duduk seorang pria berbadan besar dan kekar. Sosoknya terlihat semakin menakutkan dengan cahaya redup yang menyinari tubuhnya. Wajahnya yang tegas tak menunjukkan ekspresi apapun, namun matanya yang tajam memperhatikan Kayshila tanpa berkedip.

Kayshila merasakan udara seolah berhenti mengalir. Setiap inci tubuhnya terjaga, matanya tak lepas dari pria itu. Semua inderanya terjaga—dari suara langkahnya yang terdengar nyaris tidak ada hingga detak jantungnya yang terus menggebu, meresap dalam ruang hampa yang penuh dengan ketegangan.

Penjaga itu memberi isyarat untuk maju, dan Kayshila dengan hati-hati melangkah masuk, tak membiarkan satu inci pun ruang di sekelilingnya terlewat dari pengamatannya. Ketegangan di sekelilingnya begitu pekat hingga seolah-olah Kayshila bisa mendengar suara napasnya sendiri yang terengah-engah.

Pria besar itu tetap diam, matanya terus menilai Kayshila dengan penuh kewaspadaan. Kayshila merasa seolah dirinya sedang dihakimi, setiap detail dirinya dipindai dengan tajam. Waspada, ia menahan napas sejenak sebelum akhirnya mengangkat suaranya, berusaha agar tidak terdengar gemetar.

"Siapa Anda?" tanyanya dengan nada hati-hati. "Kenapa saya dibawa ke sini?" Matanya bergerak mencari jalan keluar, tapi semua sudut ruangan tampak tertutup rapat.

Pria itu tidak segera menjawab. Hanya tatapannya yang semakin tajam, penuh perhitungan. Kayshila merasakan peluh mulai membasahi tengkuknya. Jika ia salah melangkah, entah apa yang akan terjadi padanya.

"Aku tidak suka pemborosan waktu," kata pria itu akhirnya, suaranya dalam dan datar, tanpa ekspresi sedikit pun. "Ikuti aku."

Kayshila menelan ludah, merasa semakin terjepit. "Kenapa saya harus ikut?" Suaranya terdengar lebih gugup dari yang ia inginkan. "Siapa Anda? Dan apa yang Anda inginkan dari saya?"

"Seseorang sudah membuat jaminan agar kau keluar," jawabnya singkat, lalu tanpa perasaan, dia melanjutkan. "Dan kau punya dua pilihan. Kau ikut aku, atau tetap tinggal di sini, menjadi bulan-bulanan ketiga wanita tadi.”

Kayshila merasakan darahnya mendingin. Tiga wanita itu—mereka tidak akan berhenti menganggunya. Tetapi, pria besar ini... siapa dia? Apa jaminannya?

Ia merasa terpojok, hatinya berdegup keras, setiap pilihan terasa salah. Namun, yang lebih menakutkan lagi adalah kenyataan bahwa bertahan di sini berarti lebih banyak bahaya menanti.

Dengan napas yang tertahan, Kayshila akhirnya mengangguk, meskipun keraguan masih mengisi pikirannya. "Saya ikut," katanya dengan suara pelan, hampir berbisik.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel