Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Crimson Chains

"Apa kau sudah menemukan keparat itu?" Suara Adrik terdengar dingin dan penuh ketegasan saat ia beranjak dari posisi santainya, lalu menjatuhkan dirinya ke kursi kebesarannya dengan gerakan angkuh. Matanya yang tajam kini sepenuhnya tertuju pada pria yang berdiri tegak di hadapannya, menunggu jawaban tanpa kesabaran.

Abercio melangkah mendekat, sorot matanya tetap tenang saat menyerahkan beberapa lembar foto ke tangan Adrik. Seketika, senyum penuh kepuasan tersungging di bibir pria itu begitu matanya menangkap gambar-gambar yang terpampang jelas—seseorang yang babak belur, dipukuli tanpa ampun, tubuhnya penuh luka dan darah yang mengering. Dari caranya tergeletak tanpa perlawanan, bisa dipastikan bahwa pria dalam foto itu telah kehilangan nyawanya.

"Bagaimana dengan barangnya?" Suara Adrik terdengar datar, namun penuh ketegasan. Matanya tetap terpaku pada foto-foto di tangannya, seolah menikmati setiap detail penderitaan yang tergambar di sana.

"Sudah aman di tempat biasa," jawab Abercio tanpa ragu. "Sepertinya mereka berencana menyelundupkannya ke Bolivia."

Adrik terdiam. Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, ritme konstan yang mencerminkan pikirannya yang tengah bekerja. Pandangannya kosong, tetapi sorot matanya tajam, memikirkan sesuatu yang hanya bisa ia pahami sendiri.

"Apa yang akan kau lakukan dengan benda-benda itu?" tanya Abercio, nada suaranya mengandung ketertarikan yang samar.

Adrik menyandarkan punggungnya ke kursi, ekspresinya tetap dingin saat sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas. "Tentu saja," ucapnya perlahan, menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Memberi makan para zombie kelaparan itu."

Senyap sejenak. Kemudian, tawa rendah dan gelap meluncur dari bibirnya, memenuhi ruangan dengan aura dingin yang menyesakkan.

"Adrik, kita sudah tidak lagi melakukan transaksi soal—"

"I know," potongnya tajam, tanpa sedikit pun melirik Abercio. Matanya tetap terarah lurus ke depan, dingin dan penuh perhitungan. "Itu sebabnya... aku akan memberi mereka makanan gratis."

Nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti lelucon. Tapi Abercio mengenalnya terlalu baik—tak ada yang benar-benar gratis dari seorang Adrik Abraham. Dan ketika pria itu akhirnya menoleh, seulas senyum licik terukir di wajahnya. Senyum yang, bagi banyak orang, adalah pertanda maut.

Abercio menghela napas berat, merasakan firasat buruk mulai merayapi dirinya. "Terserah kau saja. Oh iya..." Ia menatap Adrik dengan sedikit ragu. "Aku dengar Kylie masuk rumah sakit. Apa yang terjadi?"

Seketika, suasana berubah. Rahang tegas Adrik yang dihiasi brewok itu menegang, seolah menahan sesuatu yang siap meledak. Abercio bisa melihatnya—gurat amarah yang membara dalam manik mata sang atasan, nyaris seperti badai yang siap menghancurkan segalanya.

"Apa kau sudah menemukan keparat itu?" tanyanya lagi, suaranya terdengar lebih tajam kali ini. Ada nada tak sabar dalam setiap kata yang meluncur dari bibirnya.

Namun, Adrik tetap diam. Tak sedikit pun memberi jawaban. Seolah pertanyaan itu hanyalah angin lalu—tak layak mendapat perhatian.

Abercio menggeram pelan, tapi tak melanjutkan. Ia tahu, saat Adrik seperti ini, lebih baik menunggu daripada memaksa.

Perlahan, Adrik bangkit dari kursinya. Langkahnya tenang, namun membawa aura yang begitu menekan. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan menuju partisi kaca besar yang menghadap ke halaman luas mansion mewahnya.

Tatapannya tajam, nyaris seperti pisau yang siap merobek siapa pun yang berani menghalangi jalannya. Pemandangan di luar sana—halaman luas dengan hamparan rumput yang tertata sempurna, mobil-mobil mahal terparkir rapi di garasi megah—tak benar-benar ia lihat.

"Apa kau ingin aku menyuruh anak buahku mencarinya?" tawar Abercio, mencoba membaca situasi.

Adrik tak langsung menjawab. Bahunya menegang, matanya masih terpaku pada pemandangan di luar jendela—namun pikirannya jelas berada di tempat lain.

Lalu, dengan suara rendah namun sarat ancaman, ia akhirnya berbicara, "Tidak perlu!"

Ia berbalik perlahan, menatap Abercio dengan sorot mata gelap yang membuat udara di ruangan terasa lebih berat.

"Orang itu sudah ada dalam genggamanku," lanjutnya, suaranya nyaris seperti bisikan maut. "Dan aku sendirilah yang akan memastikan hidup dan matinya."

Sebuah senyum samar muncul di sudut bibirnya—bukan senyum bahagia, tetapi senyum yang penuh kebengisan. Senyum seorang pria yang siap menyeret musuhnya ke dalam neraka.

Abercio menahan napas. Ia sudah lama mengenal Adrik, tetapi ada sesuatu dalam sorot mata pria itu kali ini—sesuatu yang lebih gelap, lebih kejam.

"Kapan?" tanyanya, suara beratnya nyaris seperti gumaman.

Adrik menoleh, menyampirkan tangannya di saku celana. "Malam ini."

Abercio mengangkat sebelah alis. "Dan kau akan melakukannya sendiri?"

Sekali lagi, senyum itu muncul di wajah Adrik—dingin, penuh arti. Ia melangkah mendekati meja, jari-jarinya mengetuk permukaan kayu dengan ritme lambat dan terukur.

"Aku ingin melihat ketakutan di matanya sebelum semuanya berakhir."

Abercio mendengus pelan, meski di dalam hatinya ia tahu ini bukan sekadar ancaman kosong. Jika Adrik sudah berbicara seperti ini, berarti orang yang malang itu benar-benar sudah di ujung hidupnya.

Ia melipat tangan di dada, bersandar pada sofa dengan ekspresi santai, meskipun jauh di dalam pikirannya, ia bertanya-tanya siapa sebenarnya orang yang telah cukup gila untuk menantang Adrik Abraham.

"Terserah kau saja," ujarnya akhirnya. "Tapi jangan buat kekacauan yang sulit dibersihkan."

Adrik tertawa kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam suara itu. "Siapa bilang aku akan meninggalkan jejak?"

Abercio menghela napas panjang, mencoba menekan rasa penasaran yang semakin mengusiknya. Tatapannya tetap terarah pada Adrik, mencari petunjuk dari ekspresi pria itu.

"Baiklah," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih hati-hati. "Lalu, di mana orang itu sekarang?"

Adrik tidak langsung menjawab. Sebuah senyum tipis—begitu samar, namun dipenuhi dengan kebengisan—menghiasi wajahnya. Matanya yang tajam berkilat dingin saat ia menatap Abercio, seolah menikmati ketegangan yang mengisi udara di antara mereka.

Kemudian, dengan nada rendah yang mengandung ejekan sekaligus ancaman tersembunyi, ia menjawab, "Menurutmu, di mana tempat sampah seharusnya dibuang?"

Ruangan itu seketika terasa lebih dingin. Abercio menelan ludah, menyadari bahwa jawaban itu bukan sekadar kiasan.

Di dalam ruangan gelap nan pengap itu, seorang wanita terduduk lemah di lantai dingin yang berbau apek. Tangannya terbelenggu rantai besi yang berat, begitu pula kakinya, membatasi setiap gerakannya. Setiap kali ia mencoba bergerak, suara gemerincing rantai menggema, menciptakan irama suram yang menambah keputusasaan dalam dirinya.

Jantungnya berdebar kencang, bukan karena kelelahan, tetapi karena ketakutan yang terus mencengkeramnya. Ruangan ini begitu sempit, dindingnya terasa menekan, seolah ingin menelannya hidup-hidup. Udara yang ia hirup pun terasa berat, bercampur dengan bau karat dan keringat yang menguar di sekelilingnya.

Entah dosa apa yang telah ia perbuat hingga terperangkap dalam nasib yang lebih buruk dari mimpi terburuknya. Tubuhnya lelah, jiwanya lebih lelah, dan harapan telah lenyap, ditelan oleh ruang pengap ini.

Matanya yang lelah tertuju pada pintu, berharap—meskipun hanya untuk sesaat—akan ada seseorang yang datang untuk membebaskannya. Namun yang muncul justru lebih buruk dari segala bayangannya.

Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok yang sudah cukup lama menghantui setiap sudut pikirannya. Adrik. Wajah dinginnya, senyumnya yang penuh kebengisan, dan tatapan yang tak pernah menunjukkan sedikitpun belas kasihan.

Pintu ruangan itu tertutup kembali begitu Adrik melangkah masuk, dengan tenang ia menarik kursi yang terletak tepat di depan wanita itu. Kursi itu terdengar keras saat diseret, seolah untuk memastikan bahwa tak ada yang bisa melarikan diri dari momen ini.

Dia duduk, berjarak dua langkah dari wanita yang terbelenggu itu, dan menatapnya dengan mata penuh es, tanpa sedikitpun rasa kasihan.

"Berapa orang itu membayarmu?" tanyanya, nadanya datar, tetapi penuh ancaman yang begitu jelas.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel