Crimson Vendetta
Bola mata Kayshila bergerak, menatap Adrik dengan penuh kebencian yang membara. Setiap detik dalam tatapannya adalah ungkapan dari amarah yang ia tahan begitu lama, namun tak bisa ia lepaskan.
"Apa sebenarnya maumu, sialan?" Suaranya terdengar serak, penuh kebencian yang tak tertahankan.
Alih-alih meradang atau tersinggung, Adrik justru terkekeh geli. Senyumnya melengkung licik, seolah menikmati setiap detik kekesalan yang ada di hadapannya. Ia menggerakkan tubuhnya lebih dekat, memperkecil jarak antara mereka.
Wajah tampannya semakin mendekatkan dirinya pada wajah Kayshila yang pucat, hingga ia bisa merasakan napasnya yang semakin berat.
"Aku tidak suka mengulang kata, Lady. Seperti yang kukatakan, I want you—" kata-katanya terhenti ketika Kayshila dengan cepat meludah, tepat mengenai wajahnya.
Air liur Kayshila membasahi pipi Adrik, seketika membuat wajah tampannya tercoreng oleh penghinaan yang tak terduga. Adrik mengusap cairan bening yang mengalir di wajahnya, tatapannya berubah dingin. Sepertinya wanita ini masih belum merasa cukup atas penderitaan yang dia timbulkan. Baiklah, jika itu yang dia inginkan.
Dengan sekali lirik, senyum yang sempat muncul di wajahnya memudar. Tanpa ragu, Adrik menarik rambut Kayshila dengan kasar, membuat wanita itu mengaduh kesakitan. Matanya yang merah menatap tajam ke atas, bertemu dengan tatapan Adrik yang penuh amarah.
"Beraninya kau, wanita j******g sepertimu, meludahiku!" Suaranya serak, tegang, penuh kebencian.
"A--ap salahku padamu?" Suara Kayshila tercekat, pipinya dihiasi bulir bening yang terus jatuh, tak mampu dibendung lagi.
Kayshila benci dirinya menjadi lemah seperti ini, seakan kehormatan dan harga dirinya terinjak-injak di hadapan pria itu.
"Sepertinya benturan keras di kepalamu belum cukup untuk membuatmu mengingat dan menyadari apa yang sudah kau lakukan terhadap wanitaku," ujar Adrik dengan suara rendah, mengerikan.
"AKU BERSUMPAH BUKAN AKU PELAKUNYA!" Kayshila berteriak dengan sekuat tenaga, suaranya menggema tepat di depan wajah Adrik.
"Beraninya kau berteriak, b***h," desis Adrik dengan nada penuh ancaman. Tanpa ampun, tangan bebasnya mencengkram kuat rahang Kayshila, mengguncang wajahnya dengan kekuatan yang membuatnya terengah.
Kayshila terisak, dadanya terasa sesak, dipenuhi oleh tangis kesakitan yang tak bisa ia tahan lagi.
"Demi Tuhan, bukan aku pelakunya... Aww..." Jeritannya hampir terhenti, terhalang rasa sakit yang tak terkira.
Amarah Adrik semakin membara, membakar setiap nadi yang ada dalam dirinya. "Beraninya mulut sialanmu itu menyebut nama Tuhan, saat kau sudah melakukan dosa, huh?” Suaranya penuh kebencian, seakan setiap kata adalah sembilu yang menancap di hati.
Bagaimana lagi Kayshila harus menjelaskan kalau bukan dia pelakunya? Setiap usaha untuk menjelaskan rasanya sia-sia, terbungkam oleh kekejaman yang terus menghimpitnya.
"Baiklah," jawab Adrik datar, anggukan kepalanya seperti sebuah keputusan yang sudah ditetapkan. "Mari kita lihat bagaimana caramu menyakiti wanitaku." Ia melepaskan genggamannya, berdiri tegak, dan memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celananya. Matanya terfokus pada Kayshila, memandanginya dengan tatapan yang sulit dipahami, seolah menganalisis setiap inci dari tubuh wanita yang tak berdaya di depannya.
Kemudian, tanpa ekspresi, Adrik berteriak memanggil nama salah satu penjaga yang berjaga di depan ruangan. "Suruh maid mendandaninya." Perintah itu terucap dengan nada yang dingin.
"Yes, Sir." Suara penjaga itu terdengar tegas, dan tubuh Kayshila segera diseret paksa keluar dari ruangan tersebut menuju ruang lain. Beberapa maid mendekatinya, membawa Kayshila masuk ke dalam kamar mandi dengan kasar.
Kayshila meringis, merasakan sakit yang luar biasa saat air dingin membasahi sekujur tubuhnya yang penuh dengan luka. Setiap tetes air terasa seperti jarum yang menembus kulitnya, mengingatkan akan penderitaan yang baru saja ia alami.
Setelah dimandikan, tubuh mulus yang kini terdapat banyak jejak luka itu diobati lalu maid tersebut memapah pelan tubuh rapuhnya ke meja rias, wajahnya yang lebam dipolesi oleh foundation dan bedak tebal, serta bibirnya yang alami diberi lipstik merah cabe, rambutnya dibiarkan tergerai.
Kayshila menolak keras saat para maid itu menyerahkan sebuah gaun merah kurang bahan.
"Tolong, jangan mempersulit keadaan. Percayalah, Tuan Adrik bisa melakukan lebih dari yang kamu terima tadi."
Para maid tersebut pergi meninggalkan kamar mewah itu, saat setelah tugas mereka selesai, meninggalkan Kayshila seorang diri.
Kesempatan itu tak ia sia-siakan. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, mata lelah Kayshila terbuka lebar, menyapu sekeliling dengan cepat, mencari celah untuk kabur. Setiap inci ruangan itu dipandanginya dengan cermat, seolah berharap menemukan titik kelemahan yang bisa membebaskannya. Tatapannya jatuh pada kaca yang mengelilingi kamar tersebut, bersinar dingin namun tak memberi harapan. Meskipun ia telah berusaha berkali-kali memecahkannya, semua itu sia-sia. Kaca itu sepertinya bukan kaca biasa.
Kayshila mengacak kasar rambutnya, frustasi menghantam hatinya. Matanya yang dipenuhi keputusasaan mulai bergerak liar, mencari jalan keluar yang tak kunjung datang. Apa yang harus dia lakukan? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, namun jawabannya tak kunjung muncul.
Belum sempat ia menemukan solusi, suara yang tak pernah ia inginkan untuk didengar lagi menggelegar, menghancurkan ketenangannya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Suara itu—suara yang akan terus menghantui hidupnya, membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
Kayshila segera memutar tubuhnya, menelan ludahnya dengan susah payah. Matanya bertemu lagi dengan mata pria brengsek itu, yang kini tengah menatapnya dengan penuh ketegasan, sambil bersandar di pintu. Adrik seolah menjadi bayang-bayang yang mengekang setiap gerakan dan pikirannya.
Dengan langkah perlahan, Adrik mendekat, setiap langkahnya seperti menghentakkan bumi, menambah rasa takut yang sudah membekap Kayshila. Wanita itu mundur perlahan, mencoba menjaga jarak, namun tubuhnya mulai gemetar.
"Jangan mendekat!" Suaranya tercekat, matanya bergerak lincah mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan untuk melawan. Tatapannya jatuh pada pecahan vas bunga yang tergeletak tak jauh darinya. Ia berharap bisa menggunakannya sebagai senjata, namun sekali lagi, Adrik lebih cepat. Sebelum sempat meraihnya, tubuh kecil Kayshila sudah berhasil ditarik dengan keras, terhimpit dalam cengkeraman tangan Adrik yang tak memberi ruang untuk melarikan diri.
"Mau mencoba lari, hm?" Suara Adrik terdengar penuh tantangan, seolah mempermainkan ketakutan yang mulai merayap di tubuh Kayshila.
Kayshila memberontak dengan keras dalam kungkungan tubuh Adrik, berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari dekapannya yang semakin menekan. "Lepaskan aku, brengsek!" teriaknya, napasnya tersengal-sengal, namun kata-kata itu tak mampu mengurangi cengkeraman pria itu.
Adrik tersenyum dingin, ekspresinya berubah mengerikan. "Kau juga akan merasakan apa yang wanitaku rasakan," katanya dengan suara berat, penuh ancaman. Tanpa ampun, ia menarik pinggang Kayshila hingga tubuh wanita itu menempel erat pada tubuhnya, seperti lem perekat yang tak bisa dilepaskan. Matanya yang tajam menatap tajam ke mata kecoklatan milik Kayshila, penuh dengan kebencian.
"Mata dibayar mata, tangan dibayar tangan, dan ya, nyawa dibayar nyawa, right?" ucap Adrik dengan nada datar, namun setiap kata-katanya menggetarkan seolah mengancam hidup Kayshila.
Kayshila menelan ludah dengan kasar. Bohong jika dia berkata tidak takut—jantungnya berdetak tak beraturan, sementara matanya kini sudah berkaca-kaca, dipenuhi ketakutan yang tak bisa disembunyikan.
Namun, belum sempat ia menyahut atau mencari cara untuk melarikan diri, tangannya sudah lebih dulu ditarik dengan kasar. Seketika tubuhnya terhempas ke atas ranjang tanpa ampun, membuat udara di paru-parunya seolah terhenti sesaat.
"Aku mohon, tolong jangan lakukan ini," suaranya bergetar, penuh ketakutan. Napasnya mulai memburu, keringat dingin merayap di setiap inci tubuhnya, menambah rasa gentar yang tak tertahankan.
Tatapan tajam Adrik menusuk langsung ke arahnya, tak berpaling sedetik pun. Mata itu gelap, dingin, dan penuh kehendak yang tak bisa ditebak. Semakin lama, semakin dalam rasa takut dan kecemasan menggerogoti Kayshila, seolah ia hanyalah mangsa yang terjebak dalam cengkeraman pemangsanya.
Tubuh Kayshila sontak bergerak mundur saat Adrik semakin mendekat. Namun, itu hanya upaya sia-sia. Memberontak? Percuma. Tenaganya tak ada apa-apanya dibandingkan dengan iblis berwujud manusia yang kini berdiri di hadapannya.
Lihatlah! Dengan mudah, Adrik kembali mengungkung tubuh kecilnya, menjebaknya di antara tubuh kekarnya. Udara di sekitar mereka terasa menyesakkan, mencekam, seolah ruangan itu menutup segala jalan keluar bagi Kayshila.
Di bawah kungkungannya, Adrik menurunkan wajahnya perlahan, hingga napas panasnya terasa membelai kulit halus Kayshila. Bibirnya hampir menyentuh daun telinganya, sebelum akhirnya ia berbisik dengan nada rendah dan sensual.
"Berapa harga yang dibayar orang itu padamu?"
