Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sepi yang Menggantung di Langit-langit

Amara duduk di pinggir tempat tidurnya, diam. Handuk basah melingkar di tubuhnya, namun dinginnya bukan karena air melainkan karena hening yang tiba-tiba menyayat.

Tangannya menyentuh sisi meja rias. Ada bingkai foto kecil, nyaris terbenam di tumpukan kertas dan botol skincare. Di dalam bingkai itu, seorang perempuan paruh baya tersenyum samar, mengenakan kerudung cokelat pucat. Mata yang sama seperti Amara.

Ibunya.

"Bu... aku pulang telat lagi," gumam Amara pelan. "Tapi rumah tetap sepi, ya."

Ia tersenyum kecil, getir. Sejak ibunya meninggal seminggu lalu karena komplikasi ginjal, rumah ini berubah jadi tempat persinggahan, bukan rumah. Dani mungkin pikir Amara adalah gadis kuat, dewasa, dan bebas. Tapi hanya dinding-dinding inilah yang tahu, betapa sering Amara bangun tengah malam, mendapati dirinya menangis dalam tidur.

Pagi tadi, ketika ia terperosok ke got itu, ada sesuatu yang menggedor dalam kepalanya yakni sebuah rasa takut. Bukan takut mati. Tapi takut dilupakan. Takut tenggelam dalam hidup yang tak pernah benar-benar membaik.

Ponselnya menyala. Sebuah pesan dari Dani.

“Sudah mandi? Aku belum bisa lupa senyum pagimu.”

Amara tak langsung membalas. Ia menatap layar itu lama, lalu mengunci ponsel dan memeluk lututnya. Entah kenapa, manisnya perhatian Dani justru menyakitkan malam ini.

“Aku nggak sebaik itu, Dan...” bisiknya pelan.

Ia ingat betul malam terakhir ibunya di rumah sakit. Kata-kata terakhir yang terucap dengan napas yang tersengal: “Jangan cari cinta yang cuma tahu tubuhmu. Cari yang ngerti lukamu, Mar...”

Tapi sekarang ia bingung. Apakah Dani mengerti? Atau hanya melihat sisi liar yang ia tunjukkan semalam dan di kamar mandi.

Tiba-tiba matanya panas. Satu tetes air mata jatuh di lututnya.

Lalu yang lain.

Dan yang lain lagi.

Ia tak menangis karena menyesal, tapi karena lelah. Lelah jadi wanita yang harus selalu tampak kuat. Yang selalu tersenyum di kantor, bercanda di chat, dan menggoda di ranjang. Padahal, hatinya masih duduk di makam itu. Di samping nisan ibunya. Diam, sendirian.

Sudah seminggu sejak hari itu. Sejak Amara pulang dalam keadaan berlumur lumpur dan sisa-sisa rasa yang tak ia pahami. Dani masih mengirim pesan, kadang menelepon, sesekali datang ke depan rumahnya dan menunggu di motor. Tapi Amara belum pernah keluar menemuinya lagi.

Bukan karena marah.

Bukan karena benci.

Tapi karena ada sesuatu dalam dirinya yang patah dan ia belum tahu bagaimana cara menyusunnya kembali.

Setiap pagi, ia berangkat kerja seperti biasa. Mengenakan blazer dan heels, menyapa satpam kantor dengan senyum tipis, lalu duduk di meja kerjanya sambil pura-pura sibuk. Tapi dalam ruang kecil hatinya, ada yang terus-menerus bertanya:

“Kamu sebenarnya bahagia, Mar?”

Jawabannya selalu berputar dengan kalimat," Nggak tahu"

Di rumah, apartemen kecil warisan ibunya kini lebih senyap dari biasanya. Hanya suara kulkas dan detak jam dinding yang mengisi malam-malamnya. Ia belum mencuci seprai sejak hari itu. Belum menyentuh cermin besar di kamarnya. Bahkan belum memutar musik kesayangannya. Seakan setiap benda di rumah ini menyimpan sisa memori yang ingin ia kubur.

Sore itu, hujan turun lagi. Tak deras, tapi cukup untuk membuat langit gelap lebih cepat.

Amara duduk di lantai, membongkar satu kardus besar yang selama ini ia simpan di atas lemari. Di dalamnya ada buku-buku lama, surat-surat dari ibu, dan sebuah scarf tipis beraroma bedak bayi. Ia mendekap scarf itu, lalu membuka sebuah surat dengan tulisan tangan yang mulai pudar:

Untuk Amara:

Maaf kalau Ibu dulu terlalu keras. Ibu cuma ingin kamu kuat.

Tapi kuat itu bukan berarti harus sendiri.

Boleh kok, lelah. Boleh sedih.

Yang penting jangan hilang dari dirimu sendiri.”_

Tangisnya pecah di sana.

Tanpa suara.

Tanpa sandaran.

Ponselnya kembali berbunyi. Nama Dani muncul. Lagi.

Amara menatapnya, jari telunjuk nyaris menyentuh tombol hijau. Tapi ia urungkan.

Sebaliknya, ia menulis pesan:

“Dan... aku butuh waktu. Aku suka kamu, tapi aku belum pulih dari diriku sendiri. Jangan tunggu aku, kalau itu terlalu berat.”

Pesan itu belum dikirim. Ia menatapnya lama. Lalu menghapus.

Ia memilih diam.

Bukan karena tak mau jujur, tapi karena takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum benar-benar ia miliki.

Besoknya, Amara bangun lebih pagi.

Untuk pertama kalinya, ia membuka tirai kamar.

Cahaya pagi masuk perlahan, mengenai wajahnya yang polos tanpa riasan.

Hari ini, mungkin... ia akan mencoba bicara. Bukan dengan Dani, bukan dengan siapa pun. Tapi dengan dirinya sendiri.

Memaafkan.

Melepaskan.

Dan menerima, bahwa luka tak perlu disembunyikan agar disebut kuat.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel