Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Langkah Kecil Menuju Diri Sendiri

Amara berdiri di depan cermin untuk pertama kalinya setelah tujuh hari. Rambutnya masih berantakan, matanya sembab, namun tak ada lagi usaha menyembunyikannya. Ia tak lagi mengangkat concealer atau foundation. Hanya dirinya yang seutuhnya.

Ia menarik napas dalam-dalam. Cermin itu, selama ini seperti musuh. Tapi pagi ini, ia ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Ia meraih scarf lama milik ibunya dari atas meja, melilitkannya pelan di leher.

“Aku masih di sini, Bu,” katanya pelan. “Dan aku akan coba... jalan lagi.”

Hujan semalam menyisakan udara yang segar. Ia melangkah keluar dari apartemen, menenteng tas kerja dan thermos kecil berisi kopi hitam yang ia buat sendiri. Ini pertama kalinya ia benar-benar menikmati aroma kopi tanpa tergesa-gesa. Di halte bus, Amara berdiri tenang, tak membuka ponsel, tak tergoda scroll media sosial. Ia hanya melihat jalan, melihat langit, melihat hidup.

Sampai seorang ibu tua di sebelahnya menatapnya sambil tersenyum.

“Kamu tampak tenang,” kata si ibu.

Amara tersenyum kecil, agak kikuk. “Lagi belajar.”

Ibu itu mengangguk, lalu naik ke bus yang datang lebih dulu. Amara tak langsung naik. Ia memilih menunggu yang berikutnya.

**

Sesampainya di kantor, suasana tetap sama. Dini tertawa keras di ruang pantry. Mas Reza mengeluh soal traffic. Tapi ada satu hal yang berbeda: Amara tak lagi pura-pura.

Ketika Tia dari divisi sebelah menanyakan, “Kamu kok agak beda ya hari ini?”

Amara menjawab dengan jujur, “Aku baru beresin kardus lama. Nemu surat Ibu. Jadi kepikiran banyak hal.”

Tia sempat terdiam. Lalu mengangguk. Tak perlu dibahas panjang. Tapi dari sana, Amara tahu: kejujuran kadang bukan tentang membuka semua luka. Cukup sepotong kecil yang tulus. Itu sudah cukup.

Siangnya, Dani mengirim pesan lagi. Kali ini pendek:

“Kalau kamu belum siap ketemu, nggak apa-apa. Aku di sini aja. Tapi kalau kamu butuh diam bareng, kabarin, ya.”

Amara membaca pesan itu sambil memegang bibir cangkir tehnya. Ada rasa hangat mengalir, entah dari minuman atau dari kata-kata itu. Tak ada tekanan. Tak ada paksaan. Hanya sebuah tawaran hening. Dan itu... terasa nyaman.

Ia tidak membalas. Tapi kali ini, bukan karena ingin lari. Hanya karena ia ingin menikmati rasa tenang itu lebih lama.

---

Malamnya, ia duduk di balkon kecil apartemen, mengenakan hoodie lama milik ibunya yang sudah longgar. Di pangkuannya, buku catatan baru. Halaman pertama masih kosong, kecuali satu kalimat yang baru saja ia tulis:

“Ini bukan tentang melupakan. Ini tentang berjalan sambil tetap ingat.”

Ia memandangi kalimat itu lama.

Besok mungkin ia akan kembali menangis. Atau tersenyum. Atau merasa hampa lagi. Tapi malam ini, ia bisa duduk dengan damai. Dan itu, bagi Amara, adalah kemenangan kecil.

Dari kejauhan, suara azan berkumandang. Ia menunduk pelan. Lalu tersenyum.

“Terima kasih, Bu,” bisiknya. “Aku pelan-pelan, ya. Tapi aku jalan.”

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel