Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kopi Pahit dan Pertemuan Pelan-Pelan

Sudah tiga belas hari sejak pemakaman. Tiga belas hari sejak dunia Amara bergeser diam-diam, tanpa suara ledakan, tapi dengan gemuruh yang terus mengendap di dalam dada.

Hari ini, untuk pertama kalinya, Amara membalas pesan Dani.

“Besok sore, di warung kopi depan taman. Kalau kamu bisa.”

Balasan Dani datang cepat, seperti sudah menunggu di ujung harapan.

“Jam berapa pun kamu mau. Aku datang.”

Amara menatap layar ponsel cukup lama sebelum mematikan notifikasi. Tidak ada jantung yang berdebar, tidak juga rasa panik. Yang ada hanyalah... ragu yang perlahan-lahan dilepas.

---

Taman sore itu lembap setelah hujan kecil. Warung kopi sederhana di pinggirnya, yang biasanya ramai oleh suara tawa anak muda dan lagu-lagu indie lokal, sore ini sepi. Hanya ada pemilik warung yang setia menyeduh air panas dan seorang laki-laki yang duduk di pojok, menatap ke luar.

Dani.

Ia terlihat lebih kurus dari terakhir Amara lihat. Rambutnya agak berantakan, kemeja birunya kusut di bagian lengan. Tapi senyum itu tetap sama: ragu-ragu dan tulus.

Amara datang tanpa banyak suara. Ia duduk di hadapannya, membawa segelas kopi hitam dari bar kecil.

“Hai,” katanya, pelan.

Dani tak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, seolah memastikan bahwa ini nyata, bahwa Amara benar-benar datang.

“Mar,” katanya akhirnya. “Aku takut ini mimpi.”

Amara tersenyum kecil. “Kalau mimpi, kamu udah megang tangan aku dari tadi.”

Dani ikut tersenyum, lebih lega. Tapi tak ada yang menyentuh lebih dulu. Hanya tatapan yang saling mencari irama.

Lalu hening. Lama. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih seperti jeda dari sebuah lagu yang hampir selesai dimainkan.

“Aku takut,” kata Amara akhirnya.

Dani mengangkat alis, menunggu.

“Aku takut kamu hanya suka versi aku yang ‘asik’... yang seksi, yang bercanda, yang genit,” lanjutnya. “Bukan yang kayak gini. Yang kosong, rapuh, dan lagi nggak bisa banyak ngomong.”

Dani menunduk, menimbang kata. Lalu menjawab pelan.

“Kalau aku cuma suka tubuhmu, Mar... mungkin aku udah pergi waktu kamu berhenti bales chat. Tapi aku di sini, duduk, karena aku nunggu kamu. Bahkan kalau kamu datang cuma buat duduk doang, aku oke.”

Amara menatapnya, matanya basah, tapi tidak jatuh. Ia mencoba mempercayai kata-kata itu. Mungkin ini bukan tentang langsung yakin. Tapi tentang memberi ruang.

“Kamu nggak harus nunggu,” bisiknya. “Aku belum selesai... nyusun ulang semua ini.”

Dani mengangguk. “Tapi kalau kamu izinkan, aku bisa duduk di sampingmu. Bukan buat bantu nyusun, tapi biar kamu nggak ngerasa sendirian.”

Amara menggigit bibirnya. Lalu berkata, “Kamu pernah nangis waktu nyuci piring?”

Dani terkejut, lalu tertawa kecil. “Pernah. Waktu nonton video anjing diselamatin dari selokan.”

Mereka tertawa bersama. Untuk pertama kalinya, tawa yang ringan. Tak dibuat-buat.

Lalu, tanpa aba-aba, Amara menggeser kursinya. Duduk di sebelah Dani. Tak ada sentuhan. Hanya kehadiran.

Matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan taman. Langit berwarna jingga kusam. Dani menatap Amara, lalu berkata,

“Aku nggak janji akan ngerti semua lukamu. Tapi aku mau denger.”

Amara menarik napas dalam. Lalu, tanpa menoleh, ia berkata, “Satu hal dulu, ya. Tentang emmmm.... ibu.”

Dan di sanalah, sore itu, untuk pertama kalinya, Amara bicara. Tentang malam terakhir ibunya. Tentang ketakutan bangun sendirian. Tentang got yang membuatnya merasa hancur.

Dan Dani, hanya diam. Mendengarkan. Bukan sebagai kekasih, bukan sebagai penyelamat. Tapi sebagai seseorang yang mencoba tinggal, meski badai belum reda.

Dan itu, cukup untuk hari ini. Amara dan Dani melepas kepenatan, meski ada satu atau dua cumbuan mesra, keduanya asyik sendiri.

"Aku mencintaimu," ucap lirih Dani, yang membuat Amara salah tingkah.

**

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel