Chapter 8: Dalam Jerat Kebencian
Mateo mengertakkan giginya, mencoba menahan amarah yang kembali membara. Kenangan pahit yang selama ini dia kubur dalam-dalam terpaksa dia ungkapkan demi membuat Serina menjauh darinya.
"Beberapa kali mereka menjebakku, memaksaku terlibat dalam tindak kriminal. Mereka juga mengikatku selama lebih dari sebulan di sebuah ruangan gelap," suaranya rendah dan penuh kebencian. "Tak ada makanan, hanya sebotol air setiap kali mereka datang. Tak ada izin untuk keluar, bahkan sekadar untuk buang air. Akibat perlakuan mereka, aku nyaris jatuh ke dalam kondisi vegetatif setelah dirawat dengan diagnosa malnutrisi yang parah."
Serina merasakan getaran di bibirnya, menahan rasa ngeri yang mulai merayap saat membayangkan keadaan menyedihkan itu. "Kenapa mereka melakukan semua itu?" tanyanya.
"Apa lagi alasannya? Mereka ingin aku bicara, ingin menjebakku dengan tuduhan-tuduhan palsu yang sudah mereka rancang."
Serina mengepalkan tangannya erat, berusaha agar tak terpengaruh oleh kata-kata Mateo yang mungkin hanyalah manipulasi. Bisa saja Mateo berkata demikian hanya untuk menggagalkan niatnya mendekat.
Keheningan yang tercipta membuat Mateo tak dapat menahan seringai di bibirnya. "Kau benar-benar tak tahu, kan? Itulah sebabnya aku bilang kau masih wartawan kecil, masih baru dan tak berpengalaman."
Penghinaan itu menusuk, tapi Serina menahan diri untuk tak bereaksi. Tak ada gunanya melawan jika dia tak memiliki informasi yang cukup tentang kehidupan Mateo. Untuk saat ini, dia harus menyimpan kemarahannya dan mencari tahu lebih dalam.
Ketika keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, suara sirene mendadak memecah keheningan, bersamaan dengan kehadiran Hillary yang datang dari arah belakang.
"Kalian sangat keterlaluan!" seru Mateo, nadanya penuh amarah. Dia menuding wajah Serina dengan tatapan tajam. "Ini adalah peringatan terakhir. Jangan pernah mengusik hidupku lagi, atau aku akan memastikan kalian menyesal seumur hidup!"
"Serina!" panggil Hillary dari belakang.
Mateo tahu, waktu sudah habis. Dia harus segera pergi sebelum polisi datang. Tanpa berpikir dua kali, dia lekas menjauh.
Meskipun The Pearl Villa memiliki tingkat keamanan yang tinggi, Mateo Paiton bukanlah orang biasa. Dia mengenakan penutup kepala, lalu menghajar penjaga. Meskipun sudah lama tak bertarung, dia selalu melatih kemampuannya setiap ada kesempatan.
Mateo menjatuhkan lawan-lawannya dengan cepat, hanya butuh lima menit untuk keluar dari vila, tepat saat polisi mulai bermunculan.
Sementara itu, Hillary terengah-engah setelah berlari mengejar sahabatnya. Dia tak peduli dengan para polisi yang menerobos masuk ke vila, yang penting baginya hanya keselamatan Serina.
"Kau baik-baik saja, Will? Dia tak menyakitimu, kan?" tanya Hillary, memeriksa tubuh sahabatnya untuk memastikan tak ada luka.
Serina melihat vila yang biasanya tenang kini dipenuhi polisi. "Kau yang menghubungi mereka?"
"Ya! Aku langsung menghubungi mereka setelah berhasil lepas dari selimut yang menyebalkan itu!"
Serina mendesah kesal. "Seharusnya kau tak melakukan itu," ucapnya, mengacak-acak rambut dengan frustrasi. Kepercayaan Mateo yang tinggal sedikit lagi berhasil dia raih sudah hancur berantakan berkat tindakan Hillary.
"Apa maksudmu?"
"Kau harus meminta mereka untuk segera keluar dari sini!"
Raut wajah Hillary tampak tak setuju. "Aku akan meminta mereka berjaga di sekitar vila beberapa hari ke depan agar pria berbahaya itu tak lagi bisa masuk!"
"Apa kau lupa kalau kita yang mengundangnya?"
Hillary terdiam sejenak, menyadari kebenaran ucapan Serina. "Tapi untuk ke depannya, dia tak pantas lagi menginjakkan kaki di sini. Dan ingat, aku hanya mengizinkannya karena permintaanmu!"
Serina mengangguk, lalu merangkul sahabatnya sambil melangkah masuk. "Baiklah, baiklah. Aku akan ingat itu dan mencatatnya di setiap sudut otakku."
***
Mateo tak membuka kedai makanannya hari itu. Dia sengaja libur untuk menghindari perhatian polisi yang mungkin datang mencarinya. Selama berurusan dengan hukum, terutama yang sudah melibatkan publik, dia tak bisa mempertaruhkan kehidupan orang-orang di sekitarnya.
"Kakak!"
Mateo yang duduk termenung di kursi pelanggan langsung tersentak mendengar suara Meera. Dia tak menyadari kehadiran adiknya karena terlalu asyik dengan pikirannya sendiri.
Meera terkekeh melihat wajah terkejut sang kakak. "Kenapa jogingnya lama sekali? Aku hampir saja membuka kedai ini sendiri. Tapi, mengingat kejadian di malam tahun baru, aku terlalu takut menghadapi pelanggan raksasa itu sendirian."
"Itu bagus. Jangan pernah membukanya jika aku tak ada."
Meera mencebik, lalu menarik kursi untuk duduk di samping kakaknya. "Lalu, kenapa hanya duduk diam di sini? Masih ada waktu untuk mendapatkan pelanggan. Dari lantai atas, aku melihat beberapa kali ada yang datang memastikan kedai kita sudah buka atau belum."
"Kita takkan membukanya untuk beberapa hari ke depan."
"Kenapa?"
Mateo berpikir sejenak, mencari alasan agar Meera tak curiga. "Aku merasa tak enak badan."
"Kakak sakit?" tanya Meera khawatir.
"Ya, sedikit. Aku butuh istirahat beberapa hari, dan aku tak bisa membiarkanmu bekerja sendiri. Jadi, biarkan kedai ini tutup sementara."
Mateo pun bangkit dari duduknya, beranjak untuk menghindari lebih banyak pertanyaan dari adiknya yang mungkin sulit dia jawab.
Meera yang tak ingin membiarkan kakaknya pergi begitu saja segera menyusul hingga ke anak tangga terakhir. "Apa Kakak ingin aku belikan sesuatu untuk dimakan?"
"Tak perlu. Kau cukup di rumah saja. Aku akan memikirkannya nanti setelah beristirahat," ucap Mateo yang tak menghentikan langkahnya menuju lantai atas.
Tak lama, suara pintu tertutup terdengar, menandakan bahwa Mateo sudah masuk ke kamarnya. Sementara Meera yang masih berada di bawah tangga hanya menatapnya dengan raut wajah cemas.
"Dia benar-benar perlu menikah agar ada yang mengurusnya," gumam Meera. "Bagaimana bisa dia memikirkan makanan setelah beristirahat? Kalau begitu, dia akan lama sembuhnya!" Meera menghela napas panjang. "Tetap saja aku tak bisa tinggal diam. Aku harus menyediakan makanan dan juga obat untuknya."
